Sistem peradilan pidana di Indonesia, telah dirancang dengan sedemekian rupa, agar dalam prosesnya, benar-benar menjamin hak asasi dari setiap pihak yang terlibat didalamnya. Hal ini dibuktikan dengan adanya suatu lembaga yang bertugas untuk melakukan suatu pengawasan secara horizontal terhadap seluruh upaya paksa yang dilakuan oleh pihak penyidik. Dalam perkembangannya, seringkali terjadi suatu penyimpangan dalam pelaksanaan peradilan pidana di Indonesia, terutama terkait dengan perkara praperadilan. Hal ini dibuktikan dengan putusan perkara praperdilan dengan nomor register perkara 24/Pid/Pra/2018/PN.JKT.SEL, dimana dalam perkara tersebut hakim praperadilan mengeluarkan suatu putusan yang isinya memerintahkan agar pihak termohon melanjutkan proses hukum dan menetapkan status tersangka kepada beberapa pihak yang diduga terlibat dalam kasus korupsi bank century. Sebagaimana diketahui, kewenangan lembaga praperadilan diatur dalam pasal 1 angka 10 jo. Pasal 77 KUHAP, yaitu untuk menyatakan sah atau tidaknya upaya paksa yang dilakukan oleh penyidik, penghentian penyidikan atau penuntutan, dan ganti rugi dan rehabilitasi. Lembaga praperadilan tidak berwenang untuk memerintahkan salah satu pihak agar menetapkan status tersangka terhadap seseorang. Oleh karena itu, penulis akan melakukan peneletian terhadap kasus tersebut dengan metode perbandingan, dimana penulis akan melakukan membandingkan sistem lembaga praperadilan Indonesia, dengan sistem praadjudikasi negara Belanda, Amerika Serikat, dan Perancis. Selanjutnya, penulis juga akan meneliti apakah putusan perkara praperadilan tersebut sejatinya telah sesuai dengan perkembangan peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia. The criminal justice system in Indonesia has been designed in such a way, so that in the process, it truly guarantees the human rights of every party involved in it. This is evidenced by the existence of an institution whose task is to carry out a horizontal supervision of all forced efforts carried out by the investigators. In its development, there is often a deviation in the implementation of criminal justice in Indonesia, especially related to pretrial cases. This is evidenced by the pretrial case verdict with the case register number 24/Pid/Pra/2018/PN.JKT.SEL, wherein the case the pretrial judge issued a decision which ordered that the defendant party continue the legal process and determine the status of the suspect to some allegedly involved in a century bank corruption case. As is known, the authority of the pretrial institution is regulated in article 1 number 10 jo. Article 77 of the Criminal Procedure Code, namely to declare the legitimacy of forced efforts by investigators, termination of investigations or prosecutions, and compensation and rehabilitation. A pretrial institution is not authorized to order one party to determine the suspect's status against someone. Therefore, the authors will examine the case with a comparative method, where the author will compare the Indonesian pretrial system, with the pre-adjudication system of the Netherlands, the United States and France. Furthermore, the author will also examine whether the pretrial case verdicts are in fact in accordance with the development of legislation in force in Indonesia. |