Divergent masculinities: Spider-Man: Homecoming (2017) and Spider-Man: Into the Spider-Verse (2018) = Maskulinitas Berlainan: Spider-Man: Homecoming (2017) dan Spider-Man: Into the Spider-Verse (2018)
Nurani Salikha;
Adriana Rahajeng Mintarsih, supervisor; Tambunan, Shuri Mariasih Gietty, examiner; Manneke Budiman, examiner
(Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2019)
|
Walaupun komik pahlawan super sudah ada di Amerika Serikat sejak awal pertengahan abad ke-20, para pahlawan super tersebut baru benar-benar menjadi figur yang signifikan dalam budaya populer di abad ke-21. Hal ini terbantukan oleh dibuatnya film-film berdasarkan tokoh-tokoh tersebut di layar lebar. Salah satu pahlawan super yang paling menonjol adalah Spider-Man. Spider-Man: Homecoming (2017) dan Spider-Man: Into the Spider-Verse (2018), secara berurutan, adalah franchise ke-3 dan ke-4 dari film Spider-Man dalam kurun waktu 17 tahun.Popularitas Spider-Man menjadikannya objek yang menarik untuk diteliti, karena berarti pengaruhnya besar dalam memproduksi dan mereproduksi norma-norma tertentu dalam masyarakat. Artikel ini ditulis dengan tujuan melihat bagaimana film-film tersebut mengikuti atau menolak norma hegemonic masculinity. Dengan menggunakan analisis tekstual dan semiotik, studi ini menemukan bahwa Spider-Man: Into the Spider-Verse (2018) lebihprogresif dalam representasi maskulinitasnya daripada Spider-Man: Homecoming (2017). Hal ini dihubungkan dengan adanya varian yang lebih beragam dalam wacana maskulinitasnya. Studi ini diharapkan dapat mendukung pergerakan yang menginginkan adanya representasiyang lebih beragam dalam genre film pahlawan super. Even though American comic book superheroes have existed since the late 1930s, it is in the 21st century that they have become truly prominent icons of popular culture. This rise inpopularity is helped greatly by their adaptation into the big screen. One superhero that stands out is Spider-Man. Spider-Man: Homecoming (2017) and Spider-Man: Into the Spider-Verse(2018) are the third and fourth respective iterations of the Spider-Man movie franchise within the span of 17 years. Spider-Mans popularity makes it an interesting case study, as it has asignificant influence in producing and reproducing certain societal ideas. This article aims to examine how those movies conform to or resist hegemonic masculinity in their portrayal of themale lead characters masculinities. Incorporating textual and semiotic analysis, this study has found that Spider-Man: Into the Spider-Verse (2018) represents a more progressive portrayal of masculinity than Spider-Man: Homecoming (2017), attributing it to its inclusion of diversity in the discourse of masculinity. This study is intended to come in support of the movement of calling for more diverse representation in the superhero movie genre. |
TA-nurani salikha.pdf :: Unduh
|
No. Panggil : | TA-pdf |
Entri utama-Nama orang : | |
Entri tambahan-Nama orang : | |
Entri tambahan-Nama badan : | |
Subjek : | |
Penerbitan : | Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2019 |
Program Studi : |
Bahasa : | eng |
Sumber Pengatalogan : | LibUI eng rda; |
Tipe Konten : | text |
Tipe Media : | computer |
Tipe Carrier : | online resource |
Deskripsi Fisik : | 23 pages : illustration ; 28 cm |
Naskah Ringkas : | |
Lembaga Pemilik : | Universitas Indonesia |
Lokasi : | Perpustakaan UI, Lantai 3 |
No. Panggil | No. Barkod | Ketersediaan |
---|---|---|
TA-pdf | 16-20-283682499 | TERSEDIA |
Ulasan: |
Tidak ada ulasan pada koleksi ini: 20494489 |