Sabung Ayam atau adu ayam dalam antropologi adalah tradisi di mana manusia bersaing sabung ayam mereka dengan satu sama lain untuk kepentingan pribadi atau budaya. Banyak penelitian tentang sabung ayam yang masih antroposentris hanya fokus pada aspek budaya. Bahkan hubungan timbal balik antara manusia dan alam dan unsur-unsur alami (hewan) adalah diabaikan. Oleh karena itu, penelitian ini akan fokus pada perspektif baru, yaitu multispesies Perspektif antropologis yang menganggap manusia dan non-manusia sama analisis. Penelitian ini dilakukan pada beberapa pria di Kampung Laut, Cilacap, Jawa Tengah. Data diambil dengan wawancara mendalam dan observasi partisipan. Berdasarkan temuan di lapangan, pria dari Kampung Laut telah lama hidup berdampingan dengan sabung ayam. Ini dibuktikan oleh fakta bahwa tradisi sabung ayam telah ada sejak Kampung Laut masih di Segara Anakan. Dari dulu sampai sekarang, para pejuang ayam yang bertarung dalam adu ayam di Kampung Laut tidak pernah mati. Bukti ini bahwa para lelaki di Kampung Laut menyadari jika sabung ayam juga merupakan makhluk hidup, maka harus demikian diawetkan. Interaksi antara pria dan sabung ayam menciptakan perasaan emosional diantara mereka. Perlakuan baik laki-laki terhadap sabung ayam menciptakan kebalikan hubungan dalam mutualisme simbiosis. Pria mendapat manfaat karena adu ayam, dan juga sebaliknya sebaliknya, sabung ayam juga mendapat manfaat dari sabung ayam. Apalagi, sabung ayam jugaberkontribusi bagi masyarakat Kampung Laut. Saya berpendapat bahwa etnografi multispecies Perspektif yang digunakan dalam penelitian ini akan memberikan kerangka kerja baru dalam membuat holistik penjelasan tentang hubungan manusia dengan unsur-unsur alam dan hewan. Karena dalam penelitian ini, manusia bukan satu-satunya subjek utama, tetapi begitu juga sabung ayam. Spesies non-manusia juga memiliki hak dan hak yang sama dengan manusia. Cockfighting or cockfighting in anthropology is a tradition where humans compete their cockfights with one another for personal or cultural interests. Many studies of cockfighting that are still anthropocentric only focus on cultural aspects. Even the mutual relationship between humans and nature and natural elements (animals) is ignored. Therefore, this research will focus on a new perspective, namely anthropological perspectives that consider humans and non-humans the same analysis. This research was conducted on several men in Kampung Laut, Cilacap, Central Java. Data were collected by in-depth interviews and participant observation. Based on findings in the field, men from Kampung Laut have long lived side by side with cockfights. This is evidenced by the fact that the cockfighting tradition has existed since Kampung Laut is still in Segara Anakan. From the beginning until now, the chicken fighters who fought in chicken fights in Kampung Laut have never died. This evidence is that the men in Kampung Laut realize that cockfights are also living things, so they must be preserved. The interaction between men and cockfighting creates emotional feelings between them. The good treatment of men towards cockfighting creates the opposite relationship in symbiotic mutualism. Men benefit from cock fighting, and vice versa on the contrary, cockfights also benefit from cockfights. Moreover, cockfighting too contribute to the Kampung Laut community. I argue that the ethnographic multispecies perspective used in this study will provide a new framework for making holistic explanations about the relationship of humans with the elements of nature and animals. Because in this study, humans are not the only main subject, but so are cockfights. Non-human species also has the same rights and rights as humans. |