Tulisan ini membahas Film The Act of Killing. Persoalan yang diteliti adalah relasi kekerasan, kekuasaan, dan banalitas kejahatan melalui pemikiran Hannah Arendt. Arendt melihat kekuasaan harus dibebaskan dari kekerasan, sebab penggunaan kekerasan dalam kekuasaan mendorong negara terperangkap dalam totalitariasnime. Kekerasan demi kekerasan dalam masyarakat berpotensi memunculkan ketakutan, hilangnya ruang publik, dan intersubjektivitas. Akibatnya, bagi masyarakat kejahatan akan dilihat sebagai hal biasa yang dalam istilah Arendt sebagai banalitas kejahatan. Hasil penelitian memperlihatkan bahwa tendensi totalitarianisme tampak ketika negara memutuskan untuk melakukan pembantaian atas pengikut PKI dan etnis Cina melalui kekuasaan yang mengedepankan kekerasan. Kebersatuan antara kekuasaan dan kekerasan dalam film dokumenter ini tidaklah memperlihatkan relasi yang ideal. Para pelaku pembantaian (Anwar Congo dan Adi) adalah algojo-algojo negara yang memandang dan melakukan kejahatan (pembantaian) sebagai hal yang biasa. Sikap demikian menunjukkan dengan jelas terwujudnya banalitas kejahatan dimana keberpikiran, pertimbangan nurani, sebagai akibat kepatuhan buta terhadap kebijakan negara menghilang. This paper discusses The Act of Killing Film which focused on the issue of violence, power, and banality of crime through the thoughts of Hannah Arendrt. Arendt sees violence must be released from power, because the use of violence in power will encourage the state to be caught up in totalitarianism. Violence for the sake of violence that occurs in society will create fear, loss of public space, and intersubjectivity. As a result, crime for the community will be seen as a normal thing so that it will easily to act as a banal criminal, namely the situation of ignorance, the emergence of obedience to blindness and death of conscience. The results of the study shows that the tendency of totalitarianism was apparent when the state decided to carry out massacres of PKI followers and Chinese ethnic through power that promoted violence. The unity between power and violence in this film does not show an ideal relationship. The perpetrators of the massacre (Anwar Congo and Adi) are state executioners who view crime as a normal thing. Such an attitude shows clearly the realization of a banality of crime where the thought, conscience, is lost due to blind obedience to state policy. |