ABSTRAK Tulisan ini dimaksudkan untuk menawarkan cara pandang baru dalam memahami pertautan intrinsik antara agama dan seni yang seringkali tumpang tindih dalam diskursus sosial budaya di Indonesia. Pertautan keduanya terletak pada ketergelaran, yakni wilayah kecenderungan rasa, yang disebut rasa keagamaan dan citarasa estetika. Kedua hal tersebut sebenarnya merupakan hasrat yang dibentuk oleh dan melalui kecenderungan pengalaman pengalaman ketubuhan dan penginderaan. Hasrat dan selera penting di dalam pembentukan etos tertentu, karena tidak hanya memotivasi orang untuk terus datang ke pergelaran, memilih jenis pergelaran, maupun mempergelarkan praktik seni dan agama tertentu, tetapi juga terus menerus menciptakan suatu kecenderungan menikmati, mengalami, dan mempersepsi. Kecenderungan menikmati inilah yang disebut sebagai praktik konsumsi, yakni sebentuk hasrat akan suatu kebutuhan yang dengan pemenuhannya ia berkaitan dengan pengalaman ketubuhan dan penginderaan. Dalam hal ini, pengalaman pengalaman inderawi berdasar atas intensionalitas terhadap apa yang dilihat, dirasakan, didengarkan, diraba, disentuh, atau lebih tepatnya apa yang selayaknya dialami dan dipersepsi. Hasrat tersebut berkaitan dengan (re)produksi ingatan ingatan, sensasi, dan rasa tertentu yang (di)hadir(kan) dari dan dalam praktik sehari hari. |