Munculnya ruang-ruang interaksi baru di internet memungkinkan terciptanya computer-mediated discourse, mencakup penggunaan bahasa dalam berbagai bentuk percakapan. Tulisan ini akan mendeskripsikan bagaimana diskursus berkembang dalam komunitas permainan roleplay di Twitter sebagai sebuah discourse community untuk mencapai tujuan kolektif. Secara umum, terdapat tiga sub-kelompok berdasarkan penggunan bahasa dalam komunitas roleplay ini, meliputi roleplay Bahasa, roleplay English, dan roleplay bilingual. Fokus tulisan ini mengarah pada penggunaan Bahasa Inggris dan Bahasa Indonesia pada kelompok roleplay bilingual. Merujuk pada istilah yang dicetuskan oleh Jaworska (2015), yakni digital code play, tulisan ini menjelaskan praktik bahasa yang dilakukan oleh kelompok roleplay bilingual dengan memanfaatkan sumber daya tekstual dan visual yang tersedia di internet serta menciptakan kode-kode dalam berbagai situasi percakapan secara kreatif untuk menjalankan perannya. Salah satu aspek yang berkontribusi dalam kode ialah online proxemics, meliputi pengaturan ruang dan jarak sosial untuk melakukan peralihan bahasa. Praktik bahasa ini juga dilandasi oleh ideologi bahasa terkait dikotomi in-context dan out-of-context dalam permainan roleplay, di mana penggunaan Bahasa Inggris seringkali diasosiasikan dengan kondisi in-context, yakni ketika pemain benar-benar terbenam dalam karakter artis. Sebaliknya, penggunaan Bahasa Indonesia seringkali merepresentasi kondisi out-of-context, yaitu ketika pemain melepaskan diri dari karakter artis tersebut untuk menunjukan aspek-aspek diri mereka di kehidupan nyata. Kendati demikian, kedua sisi bertentangan ini nampak melebur dalam pembentukan identitas pemain roleplay bilingual yang tercermin pada diskursus "decent roleplayer". Oleh karena itu, tulisan ini juga mengeksplorasi hubungan antara praktik bahasa dengan identitas melalui cara-cara pemain roleplay memposisikan dirinya dalam interaksi. The rise of new interaction spaces on the internet opens to creation of computermediated discourse, which includes language use in various forms of conversation. This paper describes how discourse is developed by role-playing game community on Twitter as a discourse community to achieve their goals. Generally, there are three different subgroups base on the language they use, comprises Bahasa role-players, English roleplayers, and bilingual role-players. Focus of this paper directs to the use of English and Bahasa Indonesia among bilingual role-players. Referring to the term digital code play pioneered by Jaworska (2015), this paper examines the language practice performed by bilingual role-players by utilizing both textual and visual resources available on the internet as well as creatively developing codes in various speech situations through which they play their roles. One of the contributing aspects of these codes is online proxemics, which involves arrangement of space and social distance for speakers to switch between languages. This language practice also stands on language ideologies regarding a dichotomy of "in-context" and "out-of-context" in role-playing game that the use of English is commonly associated with "in context" situation in which players are entirely immersed into their character. On the other hand, the use of Bahasa Indonesia often represents "out-of-context" condition in which players detach themselves from their character to show some aspects of their self in real life. However, these opposing poles seem to merge in the identity construction of bilingual role-players as reflected on "decent role-player" discourse. Therefore, this paper also explores the relationship between language practice and identity through the ways bilingual role-player position themselves in interactions. |