ABSTRAK Prevalensi stunting di Indonesia dilaporkan meningkat sebanyak 37.2% pada tahun 2013 dimanasebelumnya prevalensi stunting berada pada posisi 35.6% di tahun 2010 (Mayasari et al., 2018).Riskesdas 2018 menunjukkan angka stunting atau anak tumbuh pendek turun dari 37,2%pada Riskesdas 2013 menjadi 30,8% pada tahun ini. Namun jika melihat RPJMN tahun 2015-2019 angka tersebut masih belum sesuai target dimana penurunan angka yang ditargetkanoleh pemerintah adalah sebesar 28%. Sebagai salah satu upaya menangani stunting, pemerintahIndonesia melalui kebijakan Permendes PDTT No 16 Tahun 2018 mengenai prioritas Penggunaan DanaDesa Tahun 2019 menyatakan bahwa dana desa dapat digunakan untuk penanganan stunting.Pemerintah memilki target untuk memperluas program dan kegiatan nasional pencegahan stuntingke 160 Kabupaten/Kota pada tahun 2019 dan ke 390 Kabupaten/Kota di tahun 2020 mendatang. Salahsatu wilayah yang menjadi fokus pemerintah adalah 10 kabupaten yang terletak di kota Bogor, ProvinsiJawa Barat. Dalam studi ini, peneliti mengkaji implementasi kebijakan prioritas Penggunaan Dana DesaTahun 2019 dalam hal penanganan masalah stunting di Kabupatan Bogor. Hasil penelitianmenunjukkan bahwa pada realisasi dana desa tahun 2019 belum ada besaran dana yang secara khususdigunakan untuk menangani stunting. Namun, ada beberapa program yang sudah dijalankan olehperangkat desa di Kabupaten Bogor, diantaranya program penyediaan air bersih dan sanitasi,pemberian makanan tambahan dan bergizi untuk balita, pelatihan pemantauan perkembangan danpemeriksaan kesehatan berkala melalui kegiatan posyandu untuk ibu menyusui, dan pengembanganketahanan pangan di desa. Selain itu, ditemukan hambatan berupa kurangnya pemahamam perangkatdesa mengenai stunting beserta langkah-langkah pencegahan dan penanggulangannya yangberpengaruh kepada alokasi dana desa untuk menangani stunting. Peneliti merekomendasikanadanya penjelasan lebih lanjut (dalam bentuk sosialisasi ataupun edukasi) baik kepada pemerintahdesa maupun ke kader-kader kesehatan terkait stunting itu sendiri, mengingat pada hasil penelitianini masih ditemukannya pemerintah desa yang belum mengetahui secara jelas tentang stunting. ABSTRACT The prevalence of stunting in Indonesia was reported to increase for around 37.2% in 2013 comparedto around 35.5% in 2010 (Mayasari et al., 2018). Meanwhile, the report by Riskesdas in 2018 presentedthat there was a decrease in the prevalence of stunting to around 30.8% compared to the one in 2013.But, the reducing number of prevalence did not necessarily solve the issue since it was still above 28%--the standard set by the government. As one of the stepping stones to solve this health problem,Indonesia Government released a policy, named Permendes PDTT No 16 Tahun 2018 in whichexplained that resolving stunting should be one of the top priorities that run by the village governmentthrough village funding. The central government aimed to enhance the national prevention programsof stunting that would be conducted in 160 districts in 2019 and 390 districts in the following year.One of the priority areas was 10 districts that located in Bogor, West Java province. Hence, this studyaims to evaluate the implementation of village funding policy to tackle stunting issues in 10 districtsthat located in Bogor City in 2019. The findings showed there was not any village that have allocatedspecific budget from the village funding to tackle stunting. However, there were some programs whichmight be related to the prevention of stunting, such as sanitation and water supply, nutritious foodsupply for toddler, training and monitoring the health status of newly mothers, and village's foodresilience programs. On the other hand, there were some challenges in implementing the villagefunding policy, including the knowledge amongst the village government towards the definition ofstunting as well as the prevention and strategies that should be done to resolve this health issue.Based on these problems, the researcher highly recommend that education and socialization ofstunting should be conducted to both village government and health personnel in the village's primarycare (Puskesmas). |