:: UI - Disertasi Membership :: Kembali

UI - Disertasi Membership :: Kembali

Apakah undervaluation nilai tukar efektif dalam mendorong ekspor manufaktur? kasus Indonesia = Does exchange rate undervaluation effective in encouraging manufacturing exports? The case of Indonesia

Rasbin; Mohamad Ikhsan, promotor; Beta Yulianita Gitaharie, co-promotor; Yoga Affandi, co-promotor; Maria Goreti Arie Damayanti, supervisor; Sugiharso Safuan, examiner; Muliadi Widjaja, examiner; Kacaribu, Febrio Nathan, examiner; Edi Prio Pambudi, examiner (Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2020)

 Abstrak

Disertasi ini mempunyai dua tujuan. Tujuan pertama untuk mengetahui apakah nilai tukar Indonesia mengalami misalignment atau tidak. Untuk mengukur misalignment nilai tukar riil, nilai tukar keseimbangan diestimasi dengan pendekatan SCM (synthetic control method) menggunakan beberapa variabel dan tiga jenis treatments pada periode 1987-2015. Pendekatan SCM adalah pendekatan untuk mengetahui dampak suatu treatment terhadap variabel outcome dengan cara membandingkan antara unit yang mengalami treatment dengan beberapa unit kontrol yang tidak mengalami treatment tersebut. Pendekatan SCM memiliki beberapa keunggulan. Pertama, variabel-variabel dari semua teori penentuan nilai tukar keseimbangan dapat dimasukkan ke dalam pendekatan SCM. Namun, model tentang penentuan nilai tukar keseimbangan tetap agnostik. Kedua, pendekatan SCM lebih mengedepankan identifikasi treatment effect dalam menjelaskan determinan nilai tukar riil dibandingkan penjelasan melalui contemporaneous variables.
Tujuan kedua adalah untuk mengetahui bagaimana pengaruh undervaluation nilai tukar riil terhadap ekspor manufaktur baik aggregat maupun disaggregat. Untuk mengetahui pengaruh undervaluation nilai tukar riil terhadap ekspor manufaktur baik aggregat maupun disaggregat, disertasi ini menggunakan spesifikasi model empiris hasil modifikasi terhadap model yang dikembangkan oleh Dekle, Jeong, dan Ryoo (2010). Modifikasi tersebut dilakukan dengan cara mengubah model empiris Dekle, Jeong, dan Ryoo (2010) untuk level perusahaan menjadi model empiris untuk level industri. Spesifikasi model empiris tersebut diestimasi dengan menggunakan metode AMG (augmented mean group) dan data periode 1990-2015.
Secara umum, hasil penelitian dalam disertasi ini menunjukkan bahwa sebagian besar nilai tukar riil Indonesia pada periode 1987-2015 mengalami undervalued. Pada periode 1987-1992, nilai tukar riil Indonesia mengalami undervaluation sekitar 12,3-15,0 persen. Temuan ini lebih besar dibandingkan studi Tipoy, Breitenbach, dan Zerihun (2017) yang menemukan undervaluation nilai tukar riil Indonesia sekitar 5 persen. Periode 1993-1997, nilai tukar riil Indonesia mengalami overvaluation sekitar 0,77-8,12 persen. Mendekati krisis ekonomi 1997/1998, nilai tukar mengalami undervalued sebesar 7,47 persen. Hasil ini sejalan dengan hasil studi-studi sebelumnya seperti Sahminan (2005) dan Jongwanich (2009). Periode 1998-2015, nilai tukar riil Indonesia mengalami undervaluation sekitar 2,38-85,47 persen. Temuan ini sejalan dengan studi Sahminan (2005), Cahyono (2008), Jongwanich (2008), dan Tipoy, Breitenbach, dan Zerihun (2017). Cahyono (2008) menemukan undervaluation nilai tukar sebesar 4,38-11,57 persen, dan Jongwanich (2009) menemukan bahwa nilai tukar Indonesia saat krisis ekonomi 1997/1998 mengalami undervaluation sampai 100 persen.
Hasil penelitian ini juga menemukan bahwa pengaruh undervaluation nilai tukar riil terhadap ekspor manufaktur aggregat tidak signifikan. Begitu juga ketika nilai tukar dinyatakan dalam level, perubahan nilai tukar riil (depresiasi/apresiasi) tidak signifikan mendorong ekspor manufaktur. Ini menunjukkan bahwa nilai tukar yang mengalami undervalued atau depresiasi tidak dapat mendorong peningkatan ekspor manufaktur aggregat secara signifikan. Temuan studi ini sejalan dengan studi Etta-Nkwelle (2007), Ikhsan (2009), Gluzmann, Yeyati dan Sturzenegger (2012), dan Falianty (2015). Namun demikian, ada beberapa determinan ekspor manufaktur yang signifikan memengaruhi ekspor manufaktur. Variabel internal meliputi ekspor manufaktur periode sebelumnya, upah riil, suku bunga domestik, permintaan domestik, produktivitas tenaga kerja, dan pertumbuhan perusahaan. Variabel eksternal meliputi harga luar negeri, permintaan dunia, suku bunga luar negeri, masuknya China dalam keanggotaan WTO, dan krisis ekonomi 1997/1998.
Untuk kasus disaggregat, ada beberapa industri manufaktur yang ekspornya dipengaruhi oleh undervaluation atau depresiasi nilai tukar riil secara signifikan. Mengikuti klasifikasi industri dari Saygili (2010), nilai elastisitas ekspor manufaktur terhadap undervaluation nilai tukar dan perubahan nilai tukar untuk industri capital-intensive lebih elastis dibandingkan industri labor-intensive. Ini mengindikasikan bahwa ekspor dari industri manufaktur capital-intensive lebih sensitif terhadap nilai tukar baik misalignment maupun perubahan nilai tukar pada tingkat level. Selain itu, besaran nilai elastisitas nilai tukar riil pada industri manufaktur capital-intensive dapat digunakan sebagai indikator tingkat ketergantungan impor dari industri-industri manufaktur capital-intensive (Saygili, 2010).
Temuan ini mengindikasikan bahwa nilai tukar bukan merupakan instrumen yang efektif untuk mendorong ekspor manufaktur. Oleh karena itu, kebijakan untuk mendorong ekspor manufaktur harus diluar nilai tukar. Ada beberapa variabel kebijakan yang tampaknya menjadi factor lebih penting untuk mendorong ekspor manufaktur yaitu iklim usaha, dukungan sektor perbankan, biaya logistik, aturan buruh, dan tingkat inovasi (The World Bank, 2012). Kelima faktor tersebut merupakan masalah-masalah struktural yang masih dihadapi oleh industri-industri manufaktur di Indonesia.

The results of the research in this study show that the effect of the real exchange rate undervaluation on exports of aggregate manufacturing is not significant. Likewise, when the real exchange rate is expressed as a level, changes in the real exchange rate (depreciation/appreciation) do not significantly encourage manufacturing exports. This means that the exchange rate undervaluation or depreciation cannot significantly encourage an increase in aggregate manufacturing exports. The findings of this study are in line with the studies of Etta-Nkwelle (2007), Ikhsan (2009), Gluzmann, Yeyati and Sturzenegger (2012), and Falianty (2015). However, there are several determinants of manufacturing exports that significantly influence manufacturing exports. Internal variables include previous period manufacturing exports, real wages, domestic interest rates, domestic demand, labor productivity, and firm growth. External variables include foreign prices, world demand, foreign interest rates, the inclusion of China in WTO, and the 1997/1998 economic crisis.
In the case of disaggregation, there are several manufacturing industries which have exports that are affected significantly by the undervaluation of real exchange rates or the real exchange rate. Following the industry classification of Saygili (2010), the value of manufacturing export elasticity to undervaluation of the exchange rate and changes in the exchange rate for the capital-intensive industry are more elastic than the labor-intensive industry. This indicates that exports from the manufacturing capital-intensive industry are more sensitive to exchange rates both misalignment and exchange rate changes at the level. In addition, the magnitude of the value of the elasticity of the real exchange rate in the capital-intensive industry can be used as an indicator of the level of import dependency of the capital-intensive industry (Saygili, 2010).
This finding indicates that the exchange rate is not an effective instrument to encourage manufacturing exports. Therefore, the policy to encourage manufacturing exports must be beyond the exchange rates. There are several policy variables seem to more important factors to encourage manufacturing exports namely the business climate, banking sector support, logistics costs, labor regulations, and the level of innovation (The World Bank, 2012). These five factors are structural problems that are still faced by manufacturing industries in Indonesia.

 File Digital: 1

Shelf
 D2728-Rasbin.pdf :: Unduh

LOGIN required

 Metadata

No. Panggil : D2728
Entri utama-Nama orang :
Entri tambahan-Nama orang :
Subjek :
Penerbitan : Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2020
Program Studi :
Bahasa : ind
Sumber Pengatalogan : LibUI ind rda
Tipe Konten : text
Tipe Media : unmediated ; computer
Tipe Carrier : volume ; online resource
Deskripsi Fisik : xviii, 170 pages : illustration ; 28 cm + appendix
Naskah Ringkas :
Lembaga Pemilik : Universitas Indonesia
Lokasi : Perpustakaan UI, Lantai 3
  • Ketersediaan
  • Ulasan
No. Panggil No. Barkod Ketersediaan
D2728 07-20-251754093 TERSEDIA
Ulasan:
Tidak ada ulasan pada koleksi ini: 20502353