Kemacetan yang terjadi di Jakarta disebabkan oleh salah satunya persimpangan yang tidak mampu melayani arus lalu lintas, dalam arti yang lain persimpangan tersebut melebihi kapasitas. Kapasitas dapat ditingkatkan dengan berbagai cara, mulai dari membuat aturan prioritas, menjadikan persimpangan bersinyal dan melakukan pemisahan ruang dengan cara membangun flyover dan underpass. Pada persimpangan bersinyal empat lengan umumnya terdapat empat fase pergerakan lalu lintas. Diverging Diamond Interchange (DDI) mengurangi fase pergerakan lalu lintas menjadi hanya dua berkat berkurangnya titik konflik. Persimpangan empat lengan konvensional memiliki 32 titik konflik, sedangkan persimpangan DDI memiliki hanya 14, dua diantaranya merupakan titik konflik berpotongan. (FHWA, 2014). Studi dilakukan di Cawang, Jakarta Timur tempat dimana terdapat sebuah persimpangan conventional diamond interchange. Penelitian ini menggunakan tiga model persimpangan, persimpangan eksisting, persimpangan eksisting teroptimasi dan persimpangan DDI. Evaluasi kinerja simpang dilakukan dengan menggunakan volume lalu lintas yang diperoleh dari survei. Penulis menggunakan rumus MKJI untuk menghitung kapasitas pendekat dan derajat saturasi. Penulis menggunakan Vissim 20 untuk menghitung panjang antrean dan tundaan. Untuk optimasi penulis melakukannya dengan dua tahap, yang pertama dengan menggunakan rumus MKJI dan yang kedua dengan Vissim. Hasil yang diperoleh dari penelitian ini adalah bahwa waktu siklus optimum persimpangan eksisting adalah selama 52 detik dan persimpangan DDI adalah 32 detik berdasarkan volume kendaraan pada saat survei lapangan. Kenaikan kapasitas persimpangan DDI dibandingkan dengan persimpangan eksisting tidak dapat dipastikan sebab beberapa pendekat menunjukkan kenaikan kapasitas sedangkan pendekat lainnya menunjukkan sebalikanya.Akan tetapi, persimpangan DDI mengalami panjang antrean yang cenderung lebih pendek daripada persimpangan conventional diamond interchange. Tundaan rata-rata pada persimpangan DDI lebih kecil daripada tundaan rata-rata pada persimpangan conventional diamond interchange bahkan setelah dilakukan optimasi. Kesimpulan yang dapat ditarik adalah bahwa kaitan antara waktu siklus dengan panjang antrean erat sekali. One of the causes of traffic congestion in Jakarta is the inability of the intersection in carrying traffic, i.e., the intersection is overcapacity. Many approaches can improve capacity of the intersection, from priority-controlled intersection, signalized intersection, and grade-separated intersection with overpass and underpass. A four-legged intersection typically has four signal phases. DDI reduces signal phase into only two phases thanks to the reduced number of conflict points. A conventional four-legged intersection has 32 conflict points, while DDI have just 14 conflict points, two of which are the cutting conflict points. (FHWA, 2014). A research is conducted in Cawang, East Jakarta, at which the conventional diamond interchange is situated. Intersection performance is evaluated by using field traffic flows. MKJI is used to calculate approach capacity and degree of saturation, while Vissim 20 is used to calculate queue length and delay. An intersection is optimized in two steps, first with MKJI and the second with Vissim. The result of this research is that the optimum cycle time of the existing intersection is 52 seconds, and the optimum cycle length of DDI is 32 seconds, based on the field traffic flow. The increase of DDI capacity compared to the optimized existing intersection is uncertain because some approaches show the increase of capacity while the others show the converse. However, queue length of DDI tends to be shorter than conventional diamond interchange. The average intersection delay of DDI is less than those of conventional diamond interchange even after having been optimized. It can be concluded that there is a strong link between cycle length with queue length and delay. |