Skripsi ini menjelaskan mengapa faksionalisme terjadi di Partai Aceh pada Pilkada 2012 dan 2017 dilihat dari relasi antara partai dengan pemilih. Penelitian ini juga menjelaskan bagaimana relasi yang terjalin antara partai dengan pemilih hingga mendorong terjadinya faksionalisme di level elite. Pada Pilkada 2012, muncul dua faksi dari internal Partai Aceh dalam pencalonan Gubernur – Wakil Gubernur, yaitu faksi Irwandi Yusuf dan faksi Zaini Abdullah – Muzakir Manaf. Pada Pilkada 2017, muncul tiga faksi dari internal Partai Aceh yaitu faksi Muzakir Manaf, faksi Zaini Abdullah, dan faksi Zakaria Saman serta faksi Irwandi Yusuf dari eksternal. Penelitian ini menggunakan teori faksionalisme dari Francoise Boucheck untuk menganalisis faksionalisme yang didorong oleh kondisi di pasar pemilih (electoral market) yaitu elastic demand dan inelastic demand. Penelitian ini juga menggunakan konsep the new cleavage dari Pippa Norris dan electoral market change (crisis of party) and party responses dari Peter Mair untuk menganalisis perubahan kondisi di electoral market antara Pilkada 2012 dan 2017. Dengan menggunakan metode penelitian kualitatif, hasil penelitian menunjukkan bahwa Pilkada 2012 terjadi karena kondisi elastic demand, dimana pemilih masih memiliki kepercayaan terhadap Partai Aceh karena mesin politik pada saat itu bekerja maksimal. Sehingga, Irwandi Yusuf sebagai faksi penentang kalah dalam Pilkada dan Partai Aceh yang mengusung Zaini Abdullah – Muzakir Manaf memenangkan Pilkada. Pada Pilkada 2017, faksionalisme terjadi secara tajam akibat kondisi inelastic demand, dimana relasi antara Partai Aceh dengan pemilih mengalami perubahan. Perubahan tersebut disebabkan oleh dua hal yang terjadi pasca 2012 yang melemahkan mesin politik Partai Aceh. Pertama, adanya kegagalan dan ketidakadilan alokasi sumber daya dari Partai Aceh kepada para mantan kombatan GAM sehingga mereka meninggalkan Partai Aceh. Kedua, krisis kader di dalam Partai Aceh karena perpindahan beberapa kader dan tidak diimbangi dengan kaderisasi secara efektif. Hasil Pilkada 2017 menunjukkan kekalahan Partai Aceh yang mengusung Muzakir Manaf. This thesis explains about the factionalism that occurred in the Aceh Party on 2012 and 2017 elections in terms of the relationship between the party and voters. This research also explains how the relations between parties and voters encourage factionalism at the elite level. Two factions from the Aceh Party internally appeared in the 2012 elections in the nomination of the Governor - Deputy Governor, namely the Irwandi Yusuf faction and the Zaini Abdullah - Muzakir Manaf faction. In the 2017 elections, three factions from the Aceh Party emerged, namely Muzakir Manaf faction, Zaini Abdullah faction, and Zakaria Saman faction and Irwandi Yusuf faction from the external. This research uses factionalism theory from Francoise Boucheck to analyze factionalism that driven by conditions in the electoral market called elastic demand and inelastic demand. This research also uses the new cleavage concept from Pippa Norris and electoral market change (crisis of party) and party responses from Peter Mair to analyze changes in conditions of the electoral market between the 2012 and 2017. This research uses a qualitative method with the results of the study showing that the 2012 local election caused by elastic demand, which that voters still had confidence in the Aceh Party because the political machinery at that time worked optimally, so that Irwandi Yusuf, as an opposing faction, was defeated in the Pilkada and the Aceh Party that carried Zaini Abdullah - Muzakir Manaf won the elections. Factionalism occurs sharply due to the inelastic demand conditions in the 2017 elections, where relations between the Aceh Party and voters has changed. The change was caused by two things that occurred after 2012 which weakened the Aceh Party political engine. First, there was a failure and injustice in the allocation of resources from the Aceh Party to former GAM combatants so that they left the Aceh Party. Second, the cadre crisis within the Aceh Party was due to the displacement of several cadres and was not matched with effective regeneration. The results of the 2017 elections showed the defeat of the Aceh Party which carried Muzakir Manaf. |