Dalam hubungan antarnegara sebagai sebuah komunitas internasional yang hidup dalam perdamaian, negara-negara diwajibkan untuk menahan diri dari ancaman dan penggunaan kekuatan bersenjata. Tanggung jawab utama atas pemeliharaan perdamaian dan keamanan internasional diberikan oleh negara-negara anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) kepada Dewan Keamanan. Dalam menjalankan mandat tersebut, Dewan Keamanan memiliki kewenangan yang spesifik untuk mengambil tindakan kolektif yang efektif, sebagaimana dipertegas dalam Bab VII Piagam PBB, termasuk penggunaan kekuatan bersenjata dari negara-negara anggota. Dewan Keamanan telah mengotorisasi penggunaan kekuatan bersenjata pada berbagai kasus, seperti pada Perang Teluk, operasi negara-negara di Afrika, dan intervensi militer di Mali terhadap teroris. Dengan menggunakan metode yuridis-normatif dan data sekunder, penelitian ini berusaha untuk menguraikan kewenangan Dewan Keamanan untuk mengotorisasi penggunaan kekuatan bersenjata oleh negara-negara melalui resolusi yang diadopsi, kemudian mengamati praktik Dewan Keamanan pada kasus-kasus terdahulu, dan pada akhirnya menganalisis penggunaan kekuatan bersenjata pada kasus perang melawan Islamic State of Iraq and Syria (ISIS) di Irak dan Suriah berdasarkan Resolusi Dewan Keamanan No. 2249 (2015). Penelitian ini menyimpulkan bahwa Dewan Keamanan tidak mengotorisasi penggunaan kekuatan bersenjata terhadap ISIS di Irak dan Suriah, namun memberikan perkembangan mengenai teori hak bela diri terhadap aktor non-negara apabila negara teritorial tidak mampu atau tidak mau mengatasi ancaman tersebut. Penelitian ini menyarankan bahwa hendaknya otorisasi Dewan Keamanan tidak serta merta dianggap sebagai cap persetujuan atas operasi militer di negara lain dimana negosiasi dan pembahasan yang panjang akan selalu diperlukan, dan respon militer atas dasar bela diri tetap harus sesuai dengan pembatasan dalam hukum internasional.
In the relationship between states as an international community living in peace, states must refrain from the threat or use of force. The primary responsibility for the maintenance of international peace and security is conferred by the members of the United Nations (UN) on the Security Council. In carrying out its mandate, the Security Council has specific powers to take effective collective measures, emphasized in Chapter VII of the UN Charter, including the use of force of member states. The Security Council has authorized the use of force in many cases, such as in the Gulf War, the state operations in Africa, and the military intervention in Mali against terrorists. By using juridicial-normative method and secondary data, this study attempts to elaborate the power of the Security Council to authorize the use of force by states through adopted resolutions, then examines the practice of the Security Council in the previous cases, and eventually analyses the use of force in the case of war against Islamic State of Iraq and Syria (ISIS) in Iraq and Syria based on Security Council Resolution 2249 (2015). This study concludes that the Security Council did not authorize the use of force against ISIS in Iraq and Syria, but it provides a development on self-defence theory against non-state actors if the territorial state is unable or unwilling to suppress the threat. This study advises that the Security Council authorization should not be considered as approval stamp for military operation in other state, where long negotiations and discussions will always be needed, and that military response as self-defence must be in accordance with the limitations in international law. |