Perkembangan dari produk rekayasa genetik ibarat dua sisi mata uang: ada potensi manfaat, ada juga potensi risiko. Kedua sisi ini sendiri masih sarat dengan ketidakpastian ilmiah. Oleh sebab itu, penting untuk menerapkan prinsip kehatihatian. Dalam Protokol Cartagena, salah satu instrumen yang digunakan untuk mendorong prinsip kehati-hatian adalah kajian risiko. Di Indonesia, instrumen ini digunakan untuk dasar pengambilan keputusan terkait pelepasan dan peredarannya. Agar dapat menjelaskan potensi, kemungkinan, dan konsekuensi dari pemanfaatan dan pelepasan produk rekayasa genetik, maka kajian risiko perlu menggunakan data yang bersifat langsung (direct) sehingga memenuhi posisi ‘risiko’ di kerangka kerja incertitude. Mengingat pentingnya kajian risiko dalam kerangka perizinan atas pelepasan dan/atau peredaran produk rekayasa genetik di Indonesia, maka tulisan ini menganalisis bagaimana penerapan peraturan mengenai produk rekayasa genetik, khususnya terkait kajian risiko terhadap keamanan lingkungan. Dengan menggunakan contoh dari hasil kajian risiko dari jagung event Bt11 dan GA21, tulisan ini juga membahas bagaimana implementasi kajian risiko di Indonesia. Lebih lanjut, tulisan ini juga menjelaskan kualitas dari implemetasi kajian risiko keduanya dengan menggunakan kerangka kerja incertitude. Penelitian ini menemukan kajian risiko sudah diatur dan dilaksanakan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Sayangnya, hasil kajian risiko yang dilakukan tidak menunjukkan posisi atau ranah risiko (risk). Di samping itu, regulasi yang berlaku belum cukup memadai untuk menjadi landasan terciptanya kajian risiko yang berkualitas. Oleh sebab itu, penting untuk menegakkan peraturan yang sudah berlaku, serta melihat alternatif instrumen pengambilan keputusan sesuai dengan posisi incertitude yang dihasilkan. The development of genetically modified organisms brings both potential benefits and risks. This issue is still debatable because of the lack of scientific certainty. Therefore, the precautionary principle plays an important role. One of the instruments used to promote the precautionary principle is risk assessment. In Indonesia, this instrument is used as a basis for decision-making related to its release and/or distribution of genetically modified organisms. In order to explain the potential, likelihood, and outcome of the use and/or release of genetically modified organisms, a risk assessment needs to use direct evidence. Within the incertitude framework, this condition known as 'risk': the expected result that indicates a correct risk assessment. Given the importance of risk assessment for release and/or the distribution of genetically modified organisms in Indonesia, this thesis identifies the regulatory framework and the implementation of risk assessment's regulation, especially on environmental safety, using the RA results from GM Maize (Bt11 and GA21). Moreover, this thesis also examines the quality of both risk assessments quality using an incertitude framework. This research found that the risk assessment has been regulated and carried out based on the governing laws and regulations. Unfortunately, the results of the risk assessment carried out do not show a risk position. It is also concluded that the applicable governing regulations are insufficient as a basis to create a risk assessment. Therefore, it is important to strengthening the governing regulations. It is also suggested to look for more alternative decision-making instruments according to the incertitude position. |