Perkara litigasi perubahan iklim kini semakin berkembang dan dapat diidentifikasidalam berbagai yurisdiksi, termasuk Indonesia. Namun, karakteristik khusus dariisu perubahan iklim yang berbeda dengan permasalahan lingkungan hidupkonvensional telah membawa berbagai isu hukum dalam litigasi perubahan iklim.Salah satu isu yang muncul dalam litigasi perubahan iklim yang ditemukan adalahkedudukan hukum sebagai hambatan prosedural. Dalam perkara Izin LingkunganPLTU Celukan Bawang yang merupakan perkara litigasi perubahan iklim terkaitAmdal pertama di Indonesia, gugatan Penggugat ditolak oleh PTUN Denpasarkarena dinilai tidak memiliki kedudukan hukum. Penelitian ini akan melihatbagaimana kedudukan hukum dalam perkara litigasi perubahan iklim di Indonesiamuncul sebagai hambatan dengan membandingkan dengan Perkara Earthlife v.MoE dan Border Power Plant v. DoE dan BLM . Lebih jauh lagi, Penelitian iniakan melihat bagaimana PTUN Denpasar mempertimbangkan isu emisi GasRumah Kaca sebagai elemen penting dalam litigasi perubahan iklim. Penelitianini berkesimpulan bahwa kedudukan hukum dapat menjadi hambatan bagi litigasiperubahan iklim apabila terdapat inkonsistensi interpretasi terkait kedudukanhukum di Pengadilan. Selain itu, PTUN Denpasar belum dapat melihatkekhususan dari emisi gas rumah kaca yang merupakan karakteristik isuperubahan iklim. Padahal, dengan kerangka hukum yang ada di Indonesia, perkaraini memiliki potensi besar untuk mendorong pembaruan hukum. Climate change litigation cases have been growing in numbers and identified invarious jurisdictions, including Indonesia. However, the characteristic on climatechange issues that differ from conventional environmental problems lead toseveral legal issues arise in climate change litigation. One of them is legalstanding as the procedural barrier on climate change litigation. On Indonesia’sfirst EIA related climate change litigation case, Celukan Bawang Coal-FiredPower Plant, PTUN Denpasar rejected the plantiff’s claim as they failed to fullfillthe legal standing criteria. This study will examine how is standing provision inIndonesia arises as a procedural barrier by comparing the case with two othercases in two different jurisdictions,such as Earthlife v. MoE and Border PowerPlant v. DoE and BLM. Furthermore, this study will examine PTUN Denpasar’sconsideration on greenhouse gases emission as one of the core characteristics ofclimate change issue. This study concludes that standing provision in Indonesiamay pose a procedural barrier for climate change litigation if interpretedinconsistently by the court. In addition, PTUN Denpasar has failed to show anadequate understanding on greenhouse gasses as the core of climate change issue.Reflecting on Indonesia’s current legal framework, this case used to have a hugepotential on promoting legal reform. |