Kepailitan merupakan salah satu jalan yang dapat ditempuh untuk menyelesaikan permasalahan utang piutang antara debitor dan para kreditor, upaya kepailitan yang demikian sering juga ditempuh oleh para kreditor terhadap perusahaan-perusahaan pertambangan batubara yang ada di Indonesia. Hal demikian wajar adanya, namun di antara pailitnya perusahaan-perusahaan tambang tersebut, ada kurator yang mengupayakan agar perusahaan pertambangan batubara yang telah dinyatakan pailit oleh Pengadilan Niaga Indonesia tersebut tetap dilanjutkan olehnya (going concern) demi meningkatkan nilai harta pailit guna melunasi utang-utang yang dimiliki oleh debitor pailit tersebut. Akan tetapi, upaya going concern tersebut ialah bertentangan dengan hukum, karena berdasarkan Pasal 33 ayat (3) UUD 1945, serta asas dan ketentuan yang terkandung di dalam UU Pertambangan Mineral dan Batubara, dan juga teori tentang barang yang mengandung makna kepentingan publik (public interest) berupa public ownership, diketahui bahwa batubara merupakan sumber daya alam tak terbarukan milik bangsa Indonesia atau dalam hal ini ialah milik seluruh rakyat Indonesia, yang penggunaan dan pemanfaatannya tidaklah boleh berorientasi kepada kepentingan individu atau golongan semata, namun harus berorientasi kepada kepentingan bangsa untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Maka dari itu, batubara yang masih ada di dalam perut bumi Indonesia ataupun yang iuran produksi atau royaltinya belum dibayarkan lunas sebelum perusahaan pertambangan batubara tersebut dinyatakan pailit tidaklah dapat dianggap sebagai kekayaan dari debitor pailit dalam konteks kekayaan yang sudah ada maupun dalam konteks kekayaan yang baru akan ada di kemudian hari selama berlangsungnya kepailitan. Bankruptcy is one of the options for resolving debt problems between debtors and creditors. In Indonesia, creditors occasionally file for bankruptcy against coal mining companies. This is understandable, but among the bankruptcies of these mining companies, there is a curator who strives for the coal mining company that has been declared bankrupt by the Indonesian Commercial Court to be continued by him (going concern) that one may increase the value of the bankrupt assets in order to pay off the bankrupt debtor's debts. On the other hand, this type of going concern exercise is against the law, because it is based on Article 33 paragraph (3) of the 1945 Constitution, as well as the principles and provisions of the Mineral and Coal Mining Law, along with the theory about goods that contain the meaning of public interest, in the form of public ownership, it is well known that coal is a non-renewable natural resource that belongs to the Indonesian people, or in this case, to the entire Indonesian people, and that its use and utilization should not be oriented solely to the interests of individuals or groups, but must be oriented to the interests of the nation for the maximum benefit and prosperity of the people. As a result, coal that is still in Indonesia's bowels or whose production fees or royalties have not been paid in full before the coal mining company is declared bankrupt cannot be considered the bankrupt debtor's wealth in the context of existing assets or new assets to be acquired at a later date during the course of the bankruptcy. |