Paradoks dalam The Unlimited Power of Beauty: Analisis Wacana Multimodal Kritis dari Kampanye Sephora = Paradox In The Unlimited Power Of Beauty: A Critical Multimodal Discourse Analysis of a Sephora Campaign
Andrea Maheswari Erli Putri;
Panjaitan, Yasmine Anabel, supervisor; Harumi Manik Ayu Yamin, examiner; Lucia Lusi Ani Handayani, examiner
(Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2022)
|
Pada tahun 2020, Sephora meluncurkan kampanye The Unlimited Power of Beauty dalam tiga bentuk: film pendek, serial dokumenter, dan iklan cetak. Alih-alih menantang standar kecantikan tradisional, Sephora berupaya memberdayakan penonton melalui pola pikir bahwa setiap orang memiliki kekuatan kecantikan batin yang tidak terbatas. Berpandu studi sebelumnya tentang femvertising dan postfeminisme, menggunakan teori tata bahasa visual Kress dan van Leeuwen dan kerangka analisis wacana kritis Norman Fairclough, film pendek dan video dokumenter dianalisis untuk melihat bagaimana elemen visual dan auditori mereka disatukan untuk membentuk makna di dalam konteks feminisme interseksional. Meskipun elemen multimodal diimplementasikan secara koheren dengan teori tata bahasa visual dan sangat terhubung dengan setiap urutan, kampanye tersebut gagal untuk menyorot masalah feminisme interseksional dan malah memunculkan masalah sensibilitas postfeminisme. Hasil ini menunjukkan bahwa feminisme yang ditampilkan dalam kampanye ini adalah bentuk terapi individualisme yang didukung oleh neoliberalisme. In 2020, Sephora launched The Unlimited Power of Beauty campaign in three forms: a short movie, a documentary series (docuseries), and printed advertisements. Instead of challenging traditional beauty standards, Sephora seeks to empower the audience through the mindset that everyone has the unlimited power of inner beauty. Guided by previous studies about femvertising and postfeminism, using Kress and van Leeuwen’s visual grammar theory and Norman Fairclough’s critical discourse analysis framework, the short movie and docuseries videos were analysed to see how their visual and auditory elements are put together to form a meaning within the context of intersectional feminism. Although the multimodal elements are implemented coherently to the visual grammar theory and strongly connected to each sequence, the campaign failed to address any intersectional feminism issues and instead posit an issue of postfeminism sensibility. This result suggests that the feminism shown in this campaign is a self-therapy endorsed by neoliberalism. |
TA-Andrea Maheswari Erli Putri.pdf :: Unduh
|
No. Panggil : | TA-pdf |
Entri utama-Nama orang : | |
Entri tambahan-Nama orang : | |
Entri tambahan-Nama badan : | |
Subjek : | |
Penerbitan : | Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2022 |
Program Studi : |
Bahasa : | eng |
Sumber Pengatalogan : | LibUI eng rda |
Tipe Konten : | text |
Tipe Media : | computer |
Tipe Carrier : | online resource |
Deskripsi Fisik : | 29 pages : illustration |
Naskah Ringkas : | |
Lembaga Pemilik : | Universitas Indonesia |
Lokasi : | Perpustakaan UI |
No. Panggil | No. Barkod | Ketersediaan |
---|---|---|
TA-pdf | 16-22-50187932 | TERSEDIA |
Ulasan: |
Tidak ada ulasan pada koleksi ini: 20520638 |