Industri otomotif terus berkembang di Indonesia, bidang ini terpilih sebagai prioritas lima sektor manufaktur dalam program pemerintah Making Indonesia 4.0. Dengan target menjadi produsen mobil terbesar di ASEAN, berdampak pada pertumbuhan konsumsi listrik sektor otomotif sebesar 6% per tahun pada kuartal IV 2021. Dibutuhkan penambahan kapasitas daya listrik yang selaras dengan komitmen pemerintah untuk beralih ke energi terbarukan. Penerapan Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) terdistribusi di sisi konsumen merupakan salah satu alternatif terbaik untuk penambahan kapasitas daya produsen otomotif yang diharapkan bisa bersaing di kancah internasional sebagai perusahaan berbasis energi bersih. Seperti yang diketahui, investasi PLTS masih menjadi tantangan bagi pelaku industri, maka, model bisnis third-party ownership (TPO) menjadi salah satu solusi alternatif dalam mengatasi masalah tersebut. Tujuan dari penelitian ini adalah menganalisis tekno-ekonomi PLTS terdistribusi dengan odel bisnis TPO dengan tiga skema, yaitu on-grid, stand-alone, dan hybrid, dengan studi kasus pabrik ATPM – S1. Metodologi yang digunakan adalah mendesain kapasitas dan sistem operasi PLTS terdistribusi menggunakan perangkat lunak Homer Pro, lalu menganalisis keekonomian dengan metode cashflow menggunakan 3 skenario tarif (ceiling price setara tarif PLN I-3, variatif, dan floor price yaitu pada saat IRR=WACC), dan performa panel surya. Skema bisnis TPO yang dianalisis dengan solar leasing skema fixed rent (FR) dan performance-based rent (PBR). Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa skema on-grid dengan kapasitas PLTS sebesar 204 kWp, beroperasi dari pukul 06.00 s.d. 18.00, dengan nilai investasi sebesar 185.740 USD. Nilai IRR ketiga skenario tarif FR adalah 10,17%, 10,032%, dan 9,24%, sedangkan PBR sebesar 9,305%, 9,168%, dan 8,386%. Skema stand-alone menghasilkan kapasitas PLTS sebesar 1,570 MWp dengan Battery Energy Storage System (BESS) sebesar 9.000 kWh, beroperasi selama 24 jam, dengan nilai investasi 2.803.988 USD. Nilai IRR ketiga skenario tarif FR dan PBR adalah sama sebesar -13,44%, 10,295%, dan 9,24%. Skema hybrid menghasilkan kapasitas PLTS sebesar 800,28 kWp dengan BESS sebesar 4.000 kWh, beroperasi selama 24 jam, dengan nilai investasi 1.376.712 USD. Nilai IRR ketiga skenario FR adalah -3,89%, 10,77%, dan 9,24%, sedangkan PBR sebesar -4,93%, 9%, dan 7,48%. Nilai IRR pada PBR lebih rendah dibandingkan dengan FR, karena pada PBR terdampak degradasi daya panel surya. Skema hybrid dengan skenario 1 memiliki O&M yang selalu di atas pendapatan. Maka, penerapan TPO PLTS terdistrbusi pada ATPM – S1, hanya layak menggunakan skema on-grid solar leasing fixed rent. The automotive industry continues to grow in Indonesia, this field was chosen as a priority for the five manufacturing sectors in the government's Making Indonesia 4.0 program. With a target to become the largest car manufacturer in ASEAN, it will have an impact on the growth of electricity consumption in the automotive sector by 6% per year in the fourth quarter of 2021. It is necessary to increase electricity capacity in line with the government's commitment to switch to renewable energy. The application of distributed solar photovoltaic (DSPV) on the consumer side is one of the best alternatives to increase the capacity of automotive manufacturers which are expected to compete internationally as clean energy-based companies. As is well known, PV mini-grid investment is still a challenge for industry players, so the third-party ownership (TPO) business model is an alternative solution to overcome this problem. The purpose of this study is to analyze the techno-economy of distributed solar power with a TPO business model with three schemes, namely on-grid, stand-alone, and hybrid, with a case study of the ATPM – S1 factory. The methodology used is to design the capacity and operating system of distributed PV mini-grid using Homer Pro software, then analyze the economy with the cash flow method using 3 tariff scenarios (the ceiling price is equivalent to the PLN I-3 tariff, varied, and the base price is when IRR = WACC), and solar panel performance. The TPO business scheme analyzed by leasing solar fixed rent (FR) and performance-based rent (PBR) schemes. The results of this study indicate that the on-grid scheme with a PLTS capacity of 204 kWp, operates from 06.00 s.d. 18.00, with an investment value of 185,740 USD. The IRR values of the three FR tariff scenarios are 10.17%, 10.032%, and 9.24%, while the PBR are 9.305%, 9.168%, and 8.386%. The stand-alone scheme produces a PLTS capacity of 1,570 MWp with a Battery Energy Storage System (BESS) of 9,000 kWh, operating for 24 hours, with an investment value of 2,803,988 USD. The IRR values for the three FR and PBR tariff scenarios are the same at -13.44%, 10.295%, and 9.24%. The hybrid scheme produces a PLTS capacity of 800.28 kWp with a BESS of 4,000 kWh, operating for 24 hours, with an investment of 1,376,712 USD. The IRR values of the three FR scenarios are -3.89%, 10.77%, and 9.24%, while the PBR are -4.93%, 9%, and 7.48%. The IRR value for PBR is lower than FR, because PBR inhibits the decrease in solar panel power. The hybrid scheme with scenario 1 has O&M always above revenue. So, the application of TPO PLTS distributed to ATPM – S1, is only feasible to use the fixed rent on-grid solar leasing scheme. |