Dalam suatu pasar, tidak tertutup kemungkinan bahwa potensi kecurangan akibat perbuatan pelaku usaha yang menyebabkan praktik monopoli maupun persaingan usaha tidak sehat dapat terjadi. Apabila peristiwa ini terbukti dilakukan, maka KPPU sebagai lembaga yang bertindak mengawasi dan juga menyelesaikan sengketa persaingan usaha berwenang mengeluarkan Putusan KPPU yang menghukum maupun memberikan penerangan atas perbuatan pelaku usaha sebagai Terlapor, contohnya seperti menjatuhkan sanksi administratif berupa denda kepadanya. Layaknya hukum acara yang umumnya berlaku di Indonesia, maka terhadap Putusan tersebut dapat dilayangkan sebuah upaya hukum, yang dalam hukum formil persaingan usaha disebut sebagai keberatan. Namun dengan adanya pengesahan UU Cipta Kerja yang diikuti dengan salah satu peraturan perundang- undangan turunannya yaitu PP No. 44 Tahun 2021, maka kini Terlapor yang memohonkan keberatan diharuskan untuk terlebih dahulu membayarkan jaminan bank maksimal sebesar 20% dari nilai denda yang telah ditentukan dalam amar Putusan KPPU. Sejatinya, konsep jaminan ini bukanlah yang pertama diterapkan pada suatu proses penyelesaian sengketa yang melibatkan hukum, sehingga sangat mungkin bahwa konsep ini dapat ditemukan dalam bidang hukum lainnya. Meskipun begitu, perlu ditelaah lebih lanjut apakah syarat pembayaran jaminan tersebut nantinya akan memudahkan ataupun menyulitkan Terlapor saat melaksanakan haknya untuk mengajukan upaya hukum. Dalam menganalisis masalah ini, Penulis menggunakan penelitian berbasis yuridis normatif dengan pendekatan kualitatif yang bertujuan memberikan pemahaman lebih lanjut terhadap efektivitas keberlakuan aturan hukum terkait terhadap penerapan jaminan bank dalam Hukum Persaingan Usaha apabila dibandingkan dengan konsep jaminan dalam Hukum Pajak, Hukum Pidana, dan Hukum Perdata. Sehingga nantinya diperoleh rekomendasi yang dapat membantu penyempurnaan penerapan syarat jaminan tersebut. In a market, it is possible that the potential for fraud as a result of the actions of business actors leading to monopolistic practices and unfair business competition may occur. If this incident is proven to have been carried out by certain parties, KPPU as an institution that partakes in supervising and resolving business competition disputes is authorized to issue a Putusan KPPU that aims to punish or provide information on the actions of business actors as the Reported Party, such as imposing administrative sanctions in the form of fines. Just like the procedural law that generally applies in Indonesia, a legal action can be filed against Putusan KPPU, which in the formal aspect of competition law is referred to as an objection. However, with the ratification of UU Cipta Kerja, followed by one of its derivative laws, namely PP No. 44 of 2021, now it is decided that the Reported Party who is requesting an objection would be required to first pay a bank guarantee of a maximum of 20% extracted from the value of the fine that has been determined beforehand. In fact, this concept of guarantee is not the first to be applied to a dispute resolution process involving law procedure, so it is very likely that this concept can be found in other fields of law. However, it is necessary to delve further whether the act of payment in the terms of guarantee will make the process of exercising legal remedies for the Reported Party easier or much more troublesome. In analyzing this problem, the author uses a normative juridical-based research with a qualitative approach which aims to provide further understanding and effectiveness of the applicable legal regulations related to the application of bank guarantee in Competition Law when compared to the concept of guarantee in Tax Law, Criminal Law, and Civil Law. This research can later generate recommendations that might help improve the implementation of the guarantee requirements itself. |