PLTS atap merupakan salah satu teknologi energi terbarukan yang semakin meningkat perkembangan dan penggunaannya di dunia dalam mendukung transisi energi dengan tujuan meninggalkan penggunaan energi fosil dan beralih ke energi terbarukan untuk mewujudkan nihil emisi karbon. Transisi ini memiliki dampak yang salah satunya adalah pada bisnis kelistrikan di perusahaan utilitas listrik. Penelitian ini menggunakan pemodelan sistem dinamis untuk menggambarkan hubungan antara variabel yang menjelaskan pengaruh penetrasi PLTS atap rumah tangga pada pendapatan perusahaan utilitas listrik yang disesuaikan dengan pasar kelistrikan di Indonesia. Pemodelan yang dibangun mengadopsi dari model difusi Bass, dengan obyek penelitian pelanggan rumah tangga PLN dengan daya >2200VA. Obyek perusahaan utilitas listrik adalah PLN, pembangkit listrik PLN dan IPP. Area penelitian adalah Jawa Bali dengan periode waktu tahun 2022-2050. Hasil dari penelitian ini adalah penetrasi PLTS atap rumah tangga berpengaruh negatif yang mengakibatkan penurunan keuangan dari perusahaan utilitas listrik. Faktor-faktor yang penting yang berpengaruh terhadap penetrasi PLTS atap adalah batas kapasitas jaringan, insentif dan tingkat adopsi. Kondisi keuangan perusahaan utilitas listrik Indonesia masih ditopang oleh besarnya pelanggan listrik dengan daya <2200VA (non-prosumer) yang sebagian disubsidi oleh pemerintah, sehingga penetrasi PLTS atap tidak membuat jatuh keuangan perusahaan utilitas. Faktor-faktor batas kapasitas jaringan listrik dan besarnya insentif berdampak yang rendah, tidak berdampak pada perubahan BPP, penurunan keuntungan bersih PLN pada kisaran Rp 1,01 triliun - Rp 3,49 triliun, tahun terdampak dari 2033-2035 dan waktu pulih 3 - 8 tahun. Besaran insentif 65% adalah faktor berdampak paling rendah dibanding yang lain. Sedangkan untuk faktor-faktor tingkat adopsi dari PLTS atap (menurut model bass-diffussion, innovation factor dan imitation factor), berdampak besar dengan terjadinya kenaikan BPP, penurunan keuntungan bersih PLN antara Rp 11,99 triliun - Rp 17,49 triliun, dan waktu pulih yaitu 12 - 16 tahun. Sedangkan penurunan konsumsi listrik non-prosumer sebesar <2% akan menyebabkan ketidakstabilan kondisi bisnis kelistrikan di Indonesia, karena terjadi kenaikan BPP dan penurunan keuntungan PLN sebesar >Rp 14,24 triliun. Untuk konsumsi listrik non-prosumer sebesar 2%, pemerintah masih mempunyai dana dengan mengalokasikan penghematan subsidi listrik sebesar Rp 4.409,96 triliun untuk menutupi kerugian dari perusahaan utilitas listrik Rp 3.278,71 triliun, serta memiliki selisih sebesar Rp 1.131,25 triliun untuk pengembangan energi terbarukan. Pemerintah Indonesia perlu memperhatikan besarnya penetrasi PLTS atap rumah tangga agar dapat diimbangi dengan kemampuan perusahaan utilitas listrik untuk melakukan transformasi bisnis sehingga program transisi energi berjalan dengan lancar, yang dapat digunakan melalui mekanisme instrumen kebijakan dengan mengatur tingkat insentif dan batas kapasitas jaringan. Selain itu, pemerintah perlu mendorong perusahaan utilitas listrik terutama PLN untuk mengembangkan bisnis model baru yang menyesuaikan kondisi transisi energi ke depan. Rooftop Photovoltaic (PV) is one of the renewable energy technologies that is increasing in development and use in the world in supporting the energy transition with the aim of leaving the use of fossil energy to use clean renewable energy (zero carbon emission). This transition has an impact, one of which is on the electricity business in the utility power company. This study applies dynamic system modeling to describe the relationship between variables that explain the impact of household rooftop PV penetration on utility power companies revenue in Indonesia. The model is based on the Bass diffusion model, and the study's object is PLN household customers with a power >2200VA. For utility power companies, the objects are PLN, PLN power plants, and IPPs. Meanwhile, the study will focus on Java and Bali from 2022 to 2050. This study gives the result that the penetration of a household rooftop PV has a negative effect which impacted to the decline in the financial condition of the utility power company. Important factors that influence the penetration of a household rooftop PV are grid capacity threshold, incentives, and adoption rates. The financial condition of Indonesian utility power companies is still supported by the large number of electricity customers with a power <2200VA (non-prosumer) which is also partially subsidized by the government, so that the penetration of a household rooftop PV does not make the utility power company's finances fall. The factors such as a grid capacity threshold and the amount of incentives have a low impact, have no impact on changes in BPP, a decrease in PLN's net profit in the range of Rp. 1.01 trillion - Rp. 3.49 trillion, the year of impact is from 2033-2035 and recovery time is 3 - 8 years. The 65% incentive is the lowest impact factor compared to the others. Meanwhile, the adoption rate factors of a household rooftop PV (according to bass-diffussion model, innovation factor and imitation factor), have a large impact with the increase in BPP, a decrease in PLN's net profit between Rp. 11.99 trillion - Rp. 17.49 trillion, and recovery time is 12 - 16 years. Furthermore, a <2% decline in non-prosumer electricity consumption may induce instability in Indonesia's electrical business, due to an increase in BPP and a loss of >Rp 14.24 trillion in PLN profit. For a 2% non-prosumer electricity consumption, the government can still have sufficient funds by allocating Rp. 4,409.96 trillion in electricity subsidy savings to cover losses from utility power companies of Rp. 3,278.71 trillion, leaving a Rp. 1,131.25 trillion differences for renewable energy development. The Indonesian government must balance the high penetration of household rooftop PV with the ability of utility power companies to transform their businesses so that the energy transition program can proceed smoothly, which can be used through policy mechanisms by setting incentive levels and grid capacity threshold. Moreover, the government needs to encourage utility power companies, especially PLN, to develop new business models that adapt to future energy transition conditions. |