Penelitian ini mengkaji dimensi keadilan bagi hasil Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor (PBBKB) dilihat dan aspek struktur penerimaan kabupaten/kota dan kaitannya dengan PBBKB sebagai kompensasi terhadap pajak dan retribusi daerah yang hilang akibat pemberlakukan UU Nomor 18 Tahun 1997; relevansi keseluruhan panjang jalan sebagai faktor penentu bagi hasil, tarif, proporsi bagi hasil, formulasi bagi hasil, periode penyampaian dan ketepatan waktu penyampaian, mekanisme bagi hasil, serta kemungkinan kabupaten/kota untuk mengelola sendiri pajak ini. Dengan menggunakan metode evaluasi, fokus penelitian di Kabupaten Bogor, Kabupaten Lebak, Kabupaten Bandung, dan Kota Bandung, diperoleh temuan: Pertama, dampak pemberlakukan UU No.18/1997 dirasakan berbeda oleh daerah. Bagi Kabupaten Lebak, selain meningkatkan pendapatan, bagian PBBKB mampu mengkompensasi pajak dan retribusi daerah yang terpangkas. Bagi Kota Bandung dan Kabupaten Bogor, mampu meningkatkan penerimaan, tetapi bagian PBBKB tidak mampu menutup pajak dan retribusi yang hilang. Sedangkan bagi Kabupaten Bandung, justru menurunkan penerimaan daerah, dan bagian PBBKB tidak mampu mengkompensasi pajak dan retribusi yang hilang. Kedua, total panjang jalan sebagai faktor penentu bagi hasil dinilai tidak realistis, karena selain tanggung jawab kabupaten/kota dalam pemeliharaan hanya jalan kabupaten/kota, juga biaya pemeliharaan jalan tiap daerah tidak sama. Ketiga, ketidakjelasan dalam formulasi bagi hasil, mekanisme yang digunakan, dan total realisasi penerimaan setiap daerah, serta ketidaktentuan dalam periode penyampaian bagian daerah dan ketidaktepatan waktu penyampaiannya merupakan temuan lain dari penelitian ini. Untuk menjamin keadilan antar daerah maka direkomendasikan tiga alternatif formulasi bagi hasil PBBKB: (1) berdasarkan pendekatan pemerataan dan kebutuhan khusus dengan total kebutuhan biaya pemeliharaan jalan kabupaten/kota sebagai faktor penentu; (2) berdasarkan pendekatan pemerataan dan kebutuhan pembangunan secara umum dengan jumlah penduduk dan luas wilayah sebagai faktor penentu; (3) berdasarkan pendekatan pemerataan dan penerimaan dengan volume konsumsi bahan bakar atau jumlah kendaraan sebagai faktor penentu. Alternatif lainnya, pemungutan dan pengelolaan PBBKB diserahkan kepada kabupaten/kota. |