Kepemimpinan perempuan merupakan masalah kontroversial di kalangan umat Islam. Sejumlah ulama memandang bahwa agama (Islam) melarang perempuan menjadi pemimpin. Alasannya adalah bahwa teks-teks Al-Qur'an dan Al-Hadits secara eksplisit menyatakan adanya larangan demikian. Namun sebagian ulama berpandangan sebaliknya; bahwa orang perempuan sah untuk menjadi pemimpin. Alasannya teks-teks Al-Qur'an dan Al-Hadits haruslah senantiasa dimaknai (dipahami) secara kontekstual, tidak semata tekstual. Artinya setiap teks harus dipahami berdasarkan konteks sosial politik yang melingkupinya. Konteks sosial politik yang berkembang pada masa turunnya teks-teks tersebut sangatlah berbeda dengan konteks sosial sekarang. Dalam konteks zaman yang sudah modern seperti sekarang ini, tidak ada alasan untuk melarang wanita menjadi pemimpin; sah saja seorang perempuan menjadi pemimpin.Sementara perdebatan pemikiran terus berlanjut, kehidupan masyarakat juga terus berlangsung yang diwarnai dengan munculnya perkembangan-perkembangan baru. Diantaranya menyentuh mengenai masalah kepemimpinan perempuan. Salah satunya adalah pergulatan hidup yang dialami oleh Ratu Solehah- seorang figur pemimpin perempuan dari Partai Politik Berasaskan Islam (PBI) di Propinsi Banten-dalam menapaki karier politiknya. Secara khusus penelitian ini difokuskan untuk mengungkap pergulatan hidup yang dialami Ratu Solehah tersebut. Alasan utama dilakukannya penelitian ini adalah bahwa, munculnya figur pemimpin perempuan dalam PBI merupakan fenomena sosial yang sangat penting, yang menandai terjadi perubahan tata nilai dalam sebuah masyarakat. Hal ini mengingat bahwa dalam PBI rambu-rambu normatif (agama) sangat dominan dalam menuntukan konstruksi dan paradigma partai.Penelitian ini bersifat deskriptif-analitis. Pengumpulan data dilakukan dengan tiga metode; studi dokumentasi dan literatur, wawancara mendalam (indepth interview) dan pengamatan (observasi). Penelitian ini menggambarkan betapa Ratu Solehah menghadapi banyak kendala di dalam proses untuk menggapai posisi sebagai pemimpin. Kendala tersebut terutama berupa diskriminasi gender dalam berbagai bentuk. Diskriminasi ia temukan sejak dari lingkungan yang terdekat, keluarga, lalu di sekolah, di organisasi dan juga di lembaga politik. Tetapi Ratu Solehah selalu menunjukkan perlawanan terhadap berbagai bentuk diskriminasi tersebut. Dalam seluruh rangkaian perlawanan tersebut, Ratu Solehah cukup beruntung bahwa ia dilahirkan dari keluarga besar, yakni tokoh besar agama dan politik, dan juga secara kultur ia adalah keturunan Kesultanan Banten yang kesepuluh. Posisi ini sangat membantu Ratu Solehah dalam melakukan mobilitas vertikal, sehingga mampu menerobos penghalang kultur dan sosial yang tak tampak-yang biasa disebut oleh kaum feminis sebagai --langit-langit kaca (glass ceiling).Penelitian ini dengan jelas memperlihatkan bahwa, diskriminasi gender masih secara ketat dipraktekkan di lembaga politik (partai politik) berasaskan Islam, meski hal ini tidak secara ekssplisit, ditulis dalam sebuah konstitusi partai. Tetapi dengan pemahaman normatif tertentu, teks-teks agama sering dijadikan alat untuk melakukan diskriminasi terhadap perempuan, sehingga perempuan tidak bisa muncul sebagai pemimpin di tingkat partai, dan pada ujungnya di tingkat nasional. Karena itu, penelitian ini merekomendasikan satu hal, bahwa; kini diperlukan kebijakan-kebijakan baru di tingkat partai yang lebih memiliki perspektif gender, sehingga memberi ruang yang adil bagi perempuan untuk turut berkiprah di ranah publik.Agenda partai yang lain, disamping harus memberikan pencerahan pemahaman kepada kaum laki-laki tentang pentingnya pemahaman gender, terhadap kalangan kaum perempuan pun harus ada upaya pemberdayaan yang serius. Upaya pemberdayaan dua arah (laki-laki dan perempuan) ini, harus menyentuh minimal tiga lapis struktur; struktur budaya, struktur hukum dan struktur pemahaman keagamaan. Karena di tiga wilayah utama inilah, biasanya, praktik diskriminasi gender dalam kehidupan masyarakat bersemai dengan subur. |