:: UI - Tesis Membership :: Kembali

UI - Tesis Membership :: Kembali

Analisis kontrastif bahasa Jepang dan bahasa Indonesia; dalam kerangka kesepadanannya di dalam novel Madogiwa No Totto-chan dan terjemahannya

Dance Wamafma; Sheddy Nagara Tjandra, supervisor (Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2004)

 Abstrak

Modalitas imperatif pada tataran semantik dikaji secara morfosintaksis untuk menguak makna yang berpangkal pada verba dan makna relasionalitas yang ditimbulkan oleh adanya hubungan makna antarverba dengan unsur lain dalam suatu kalimat. Analisis dilakukan secara terpisah di mana bahasa Jepang dan bahasa Indonesia diamati dari sudut pandang pendekatan masing-masing bahasa lalu diperbandingkan untuk menemukan perbedaan bentuk bahasa dan makna bahasa yang menjadi ciri khas bahasa bersangkutan.
Konsep dasar yang merupakan takaran pada tataran imperatif dirumuskan sebagai; "Aktualisasi peristiwa was desakan bersifat ajaran". Makna ini dirumuskan oleh Nitta Yoshio dalam bahasa Jepang dengan sebutan `hatarakikake', yaitu `haraku' bertindak, bekerja, dan `kakeru' ujaran. Konsep ini dalam bahasa Jepang dan bahasa Indonesia ternyata mendasari suatu pandangan tentang pikiran manusia yang dapat diamati melalui kalimat dan unsur-unsurnya pada kategori modalitas imperatif, yang mencakup, modalitas perintah, modalitas permohonan atau permintaan, modalitas permohonan negatif, modalitas larangan, modalitas perintah negatif, dan modalitas izin.
Aspek-aspek di atas pada tataran konsep yang sama itu dikontrastifkan untuk menguak perbedaan bentuk bahasa, kedudukan semantis modus, dan cakupan makna modalitas yang juga dipengaruhi oleh faktor lain seperti kedudukan sosial pelaku bahasa (pembicara dan lawan bicara) dan hubungannya dengan penanda imperatif dalam kalimat. Kedua bahasa akhirnya dapat dinyatakan memiliki perbedaan yang sangat lebar, yaitu (1) untuk membentuk modus imperatif, proses morfemis verba bahasa Jepang berciri infleksi sementara bahasa Indonesia menggunakan afksasi. (2) Makna imperatif kedua bahasa memperlihatkan cakupan makna yang cukup banyak. Misalnya pernarkah jangan' dalam bahasa Indonesia dapat diungkapkan dalam bahasa Jepang dengan permohonan negatif, larangan, perintah negatif. (3) Unsur lain seperti partikel khusus dalam kalimat perintah tidak ditunjukkan oleh bahasa Indonesia. Misalnya partikel 'g-a' yang menyatakan makna kepelakuan pada subjek dalam kalimat perintah bahasa Jepang. Ini sangat jelas diamati karena tata bahasa Indonesia tidak mengenal struktur dengan kata bantu seperti dalam jenis rumpun bahasa tleksi. (4) Hubungan sosial pelaku bahasa dalam kalimat imperatif banyak mempengaruhi terbentuknya verba bahasa Jepang. Sehingga bentuk-bentuk infleksi verba bahasa Jepang erat kaitannya dengan subjek pelaku dan pembicara dalam tataran deontik, Hal mana ini tidak terjadi dalam bahasa Indonesia. (5) Penanda imperatif bahasa Jepang dapat menunjukkan restriksi yang berbeda-beda dengan penanda modalitas imperatif lain. Pada bahasa Indonesia tidak ada. (6) Konstruksi dasar imperatif bahasa Jepang adalah infleksi verba sedangkan dalam bahasa Indonesia berbentuk kata dasar untuk larangan dan dalam bahasa Indonesia untuk penghalus perintah menggunakan prefiks 'di + verba dasar', 'verba dasar + sufiks lalr', 'verba dasar + kan'. (7) Terdapat bentuk imperatif untuk anak kecil dalambahasa Jepang, seperti `te + choudai', sini!, hal mana tidak terdapat dalam bahasa Indonesia. (8) Penanda izin dalam bahasa Indonesia dinyatakan dengan adverbia `boleh + verba dasar', sementara dalam bahasa Jepang dinyatakan dengan ajektifa dalam konstruksi 'sufiks te mo ii', atau 'sufiks te mo yoi', atau verba negasi `kamau'. (9) Letak kata pembentuk larangan negatif `jangan' dengan penanda 'na' berlawanan, misalnya pada kata 'jangan makan' (BI), `taberu na', makna jangan, cakupan maknanya pun berbeda. Adverbia 'na' menyatakan perintah negatif sedangkan 'jangan' dapat memaknai perintah negatif, larangan, permohonan negatif dan lain-lain. "Na" wajib hadir di belakang verba bentuk kamus sementara `jangan' terletak di depan verba yang dapat melesap. (10) Hubungan antar penanda permohonan dalam makna keinginan `tai' dengan pesona 1,2,3, dapat dibedakan berdasarkan bentuk mofologi verbanya. Hal ini tidak terdapat dalam bahasa Indonesia. (11) Perbedaan budaya dan tingkat sosial turut menentukan terbentuknya infleksi verba yang digunakan pelaku bahasa.

 File Digital: 1

Shelf
 T 11945-Analisis kontrastif.pdf :: Unduh

LOGIN required

 Metadata

No. Panggil : T11945
Entri utama-Nama orang :
Entri tambahan-Nama orang :
Entri tambahan-Nama badan :
Subjek :
Penerbitan : Jakarta: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2004
Program Studi :
Bahasa : ind
Sumber Pengatalogan :
Tipe Konten :
Tipe Media :
Tipe Carrier :
Deskripsi Fisik :
Naskah Ringkas :
Lembaga Pemilik : Universitas Indonesia
Lokasi : Perpustakaan UI, Lantai 3
  • Ketersediaan
  • Ulasan
No. Panggil No. Barkod Ketersediaan
T11945 15-19-429772365 TERSEDIA
Ulasan:
Tidak ada ulasan pada koleksi ini: 74032