Disertasi ini merupakan upaya untuk memahami khususnya reaksi sosial terhadap perbuatan manusia yang tidak secara tegas dikategorikan sebagai kejahatan, tetapi sering kali mengundang reaksi masyarakat untuk memperlakukan pelakunya yaitu dukun teluh (sihir-tenung) sebagai penjahat. Timbul pertanyaan dikalangan orang awam, mengapa masyarakat memperlakukan mereka sebagai penjahat, sedangkan keberadaan mereka pada mulanya dibiarkan. Hal tersebut tentunya sangat erat kaitannya dengan nilai budaya dan pandangan hidup yang terdapat dalam kebudayaan masyarakat yang bersangkutan. Sebagaimana diketahui kebudayaan itu merupakan suatu sistem yang berfungsi sebagai pedoman pendukungnya dalam menata gejala demi ketertiban dalam hidup mereka. Karena itu hendak dikaji pandangan atau faham masyarakat tentang kejahatan, apa saja yang dikategorikan dalam kejahatan. Pengkajian ini bukan untuk menguji apakah sihir dan tenung itu ada dan sungguh-sungguh terjadi melainkan untuk memahami alam fikiran penduduk yang merupakan perwujudan kepercayaan yang hidup dalam masyarakat. Daerah Banten dipilih sebagai lokasi penelitian karena anggapan umum menyatakan bahwa di Jawa Barat, khususnya Banten merupakan pusat kegiatan dan kediaman para dukun ilmu hitam yang disebut dukun teluh (tukang teluh). Kecamatan Sajira dan Bojonegara dipilih sebagai salah satu pusat lokasi tempat bermukimnya para dukun teluh tersebut. Sebelum diuraikan kasus-kasus dukun teluh di Banten sebagai latar belakang ditampilkan berbagai macam bentuk reaksi sosial seperti pengeroyokan,penganiayaan dan pembunuhan terhadap dukun sihir-tenung di Indonesia, merupakan analisa isi kualitatif terhadap surat kabar dan majalah yang terbit di ibukota maupun daerah. Kesemuanya dapat dibaca dalam lampiran' disertasi ini. Digunakan pendekatan interdisipliner dalam mengkaji dukun teluh, yang memanfaatkan antropologi dan kriminologi. Pendekatan antropologi dimaksud untuk menggambarkan etnografi Banten sebagai latar belakang, konsep-konsep ilmu gaib maupun teori-teori naengenai sihir dan tenung pada umumnya. Teluh dicoba dikaji sebagai perwujudan mekanisme pengendalian sosial. Sementara kriminologi mengkaji dampak sosial dari kehadiran dukun teluh. Sebagaimana diketahui kriminologi tidak saja mempunyai sasaran kajian perbuatan yang secara formal atau hukum dinyatakan terlarang, tetapi juga perbuatan yang oleh masyarakat dianggap sebagai perbuatan tercela, sekalipun perbuatan itu belum diatur oleh hukum Pidana. Dari sejumlah teori dalam kriminologi telah dipilih paradigma Interaksionis yang terkenal dengan teori labelingnya. Teori labeling memiliki asumsi pokok bahwa kejahatan atau perilaku menyimpang adalah kualitas reaksi atau tanggapan terhadap tingkah laku dan bukan merupakan kualitas dari sesuatu tingkah laku. Berdasarkan teori labeling dicoba digambarkan, bahwa dukun teluh adalah pelaku penyimpangan. Case Studies in Villages S and A, Sajira and Bojonegara DistrictsThe objective of this dissertation's is primarily to understand social reaction towards certain social behavior which do not explicitly categorized as a crime, and yet often invites social reaction to treat the doers, in this case: witches and sorcerers, like criminals. Such happenings have wondered people, especially layman, as to why those witches and sorcerers are eventually punished like criminals by the community, whereas in the beginning their existence is somewhat accepted. These certainly depend upon the cultural-values of the society themselves. As already known, among the functions of culture is its ability to support or guide social phenomena to maintain an orderly-like in the society. Therefore the social perception about crime as well as what are generally categorized as crime in the society, is also studied. The study is not intended to verify whether witchcraft and sorcery are really exist or not, but rather to understand the perception of the community toward such practices, as a manifestation of that which are believed by them. The research is conducted in the Banten region, West Java, as the "center" of black-magic practices where many witches and sorcerers live - according to what is popularly believed by Indonesian (Javanese) people. While both Sajira and Bojonegara district were chosen as central location of research, as the residence of the above mentioned wiches. As a background, a variety of social reactions towards sorcery such as: overwhelming, attacts, tortures, and even killings over witches and sorcerers will be described: as a result of content analysis of many newspapers and magazines in Indonesia - both which are published in the enclosures of this dissertation. An inter-diciplinary approach using anthropology and criminology in studying witches and sorcerers is applied. The anthropological approach is intended to describe Banten's ethnography as background, concepts of magic as well as theories on witchcraft and sorcery in general. Sorcery is also studied as a kind of social control mechanism. On the other hand, the criminological approach will study the social impacts of the existence of witches and sorecerer. As we know, the object of criminology not only studying social behaviors that are formally or legally considered as a crime, but also those which are generally disliked by the society, although they have not been as yet regulated by crminal law. According to several criminological theories, an interactionism paradigm is chosen, which is known for its labelling theory - where a crime or deviant behavior is considered as a quality of social reaction or response towards certain behavior: not that of the behavior itself. Base on labelling theory, dukun teluh are considered as deviant. |