Perkembangan global di bidang ekonomi, politik, dan teknologi, menimbulkan ketidakstabilan yang berdampak pada hidup mati organisasi, sehingga organisasi dituntut untuk beradaptasi secara strategis agar mampu bertahan. Salah satu bentuk adaptasi yang strategis adalah melalui teknik downsizing, sebagaimana dilakukan PT. Sucofindo, Persero, perusahaan kelas dunia di bidang inspeksi, supervisi, pengujian dan pengkajian pertama di Indonesia yang merupakan gabungan Pemerintah Indonesia dan perusahaan Swiss (SGS SA).Downsizing pada PT. Sucofindo, Persero terpaksa dilakukan sejak bulan Maret 2002 dengan mengurangi 4318 orang karyawannya menjadi 2700 orang yang dibagi ke dalam 10 SBU beserta sistem support karena kebijakan pemerintah yang merubah sistem monopoli ke sistem pasar yang sangat kompetitif. SBU Industrial & Consumer Product (INCO) sebagai salah satu SBU harus bekerja secara kompetitif, memiliki 395 karyawan dan melakukan inspeksi pada kelompok industri produk consumer product, food product, dan pre-shipment.Paska downsizing, permasalahan baru timbul, selain kondisi keuangan organisasi yang kurang memadai, juga persoalan SDM yang dianggap kurang produktif, kurang kreatif, dan kurang termotivasi mengejar sasaran bisnis. Sistem lama yang diwarnai dengan adanya budaya 'santai' dengan penialan kinerja yang kurang konsisten dan tidak berdasarkan pada merit system masih terlihat. Kondisi ini tentunya menimbulkan stress tersendiri pada karyawan di berbagai level, dari level tertinggi hingga level terendah.Karyawan mengalami "survivor syndrome" berupa "shock', kebencian terhadap manajemen, perhatian pada rekan kerja yang mengalami PHK, merasa bersalah karena tidak di PHK, komunikasi yang terputus (Alexandris, 1996), peningkatan stress, kurang produktif, kurang loyal (Redman & Keithley, 1998), rendahnya moral, penurunan partisipasi psikologis dan keterlibatan dalam mencapai tujuan organisasi, kepahitan, kemarahan, dan frustrasi, serta emosi negatif lainnya (Cascio, 1993; Mckinley et al., 1995; Noer 1993, dalam Sahdev, Vinicombe, & Tyson, 1999). Hal ini oleh Noer (1993) dalam Sahdev, Vinicombe, & Tyson, 1999) dilihat sebagai pelanggaran terhadap kontrak psikologis yang menimbulkan emosi negatif, dan menurut Sahdev, Vinicombe, & Tyson (1999), emosi negatif ini adalah wujud dari ketidakpercayaanyang tinggi terhadap motif dan tindakan manajemen. Hal ini berpotensi mempengaruhi penurunan komitmen organisasi karyawan yang tidak di PHK.Komitmen sendiri merupakan keadaan sejauh mana seseorang memiliki keinginan yang besar untuk bertahan menjadi anggota dari suatu organisasi, serta keinginan untuk melakukan tingkat usaha yang tinggi bagi organisasi dan juga memiliki keyakinan dan menerima nilai-nilai serta tujuan dari organisasi tersebut (Mowday, Porter & Steers, 1982, dalam Nam, 1995). Komitmen organisasi ini secara teoritis terdiri 4 pendekatan, salah satunya adalah pendekatan multi dimensi dari Meyer & Allen (1997) yang melihat adanya 3 dimensi dalam komitmen organisasi, yakni affective, continuance, dan normative commitment. Affective commitment merupakan kedekatan emosi seseorang terhadap organisasi. Continuance commitment sebagai kedekatan kognitif seseorang yang dilandasi oleh penilaian terhadap besarnya cost apabila pindah ke organisasi lain dan normative commitment adalah perasaan keharusan seseorang bertindak sesuai dengan norma lingkungannya.Ketiga dimensi komitmen organisasi memiliki sejumlah faktor yang mempengaruhi (anteseden). Anteseden affective commitment adalah hal-hal yang dapat mempengaruhi penilaian seseorang terhadap harga dirinya. Anteseden continuance commitment adalah segala sesuatu dianggap mempengaruhi keuntungan/kerugian sebagai konsekuensi dari keanggotaan organisasi: Anteseden normative commitment adalah penilaian terhadap hal-hal yang perlu dilakukan sebagai tindakan balas budi, seperti sosialisasi dan kontrak psikologis.Beranjak pada anteseden yang berpotensi menurunkan komitmen organisasi pada kasus downsizing, intervensi dapat dilakukan dengan melakukan tindakan yang dapat membantu pencapaian tujuan organisasi. Menurut Gomez-Melia & Cardy (1995), pengaruh yang ditimbulkan karyawan terhadap pencapaian tujuan organisasi tersebut adalah dengan melakukan pemberdayaan karyawan. Usaha ini secara teoritis dan praktis dianggap efeklif mengatasi persoalan akibat downsizing.Pemberdayaan karyawan menjadi sangat panting karena menurut Clutterbuck (1993), dapat menyebabkan peningkatan kecepatan perubahan, lingkungan yang tidak stabil, kecepatan respon yang kompetitif dan peningkatan tuntutan pelanggan yang membutuhkan kecepatan dan fleksbililas respon yang tidak sesuai dengan model fungsi organisasi jaman dulu yang berdasarkan perintah dan kontrol.Menurut Thomas & Velthouse (1990) dan Spreitzel (1995; 1996), pemberdayaan karyawan dilihat sebagai motivasi intrinsik, yang dimanifestasikan menjadi 4 kognisi yang menggambarkan orientasi individu terhadap pekerjaannya. Pemberdayaan memungkinkan seseorang mendapatkan motivasi dan kepuasan dengan memberi kontribusi yang berarti melalui ke dimensinya (impact, competence, meaningfulness, dan self-determination). Kontribusi ini dapat dilakukan melalui lingkungan dan struktur organisasi yang kondusif seperti peningkatan pengetahuan dan keahlian, keikutsertaannya dalam pemberian otoritas untuk mengambil keputusan, serta tanggung jawab pribadi untuk menentukan cara kerja yang ingin dilakukan.Berdasarkan hubungan antara komitmen organisasi dan pemberdayaan karyawan, hasil penelitian pada PT. Sucofindo menunjukkan tidak adanya korelasi antara kedua variabel. Tinjauan korelasi pada setiap dimensi-dimensinya hanya menunjukkan sedikit hubungan yang ternyata tergolong lemah. Hubungan yang signifikan ditemukan pada variabel komitmen organisasi dan dimensi impact pada variabel pemberdayaan karyawan. Selain itu, juga ditemukan hubungan signifikan pada dimensi continuance commitment terhadap dimensi impact, serta dimensi self-determination.Namun demikian, hal yang positif adalah bahwa karyawan masih memiliki keterikatan terhadap organisasi di atas rata-rata pada semua dimensi-dimensinya. Di sisi lain, karyawan juga memiliki motivasi internal di atas rata-rata pada semua dimensinya. dengan bekerja, karyawan memperoleh internal reward yang mampu memberikan rasa kepuasan bahwa hidupnya berarti, berharga, berpengaruh, meningkat dalam hal kemampuan, yang mendorong karyawan untuk mau melakukan pekerjaannya dengan lebih baik. Mengacu pada hasil ini tampak bahwa karyawan masih memiliki potensi untuk produktif, namun masih membutuhkan arahan dan dukungan, Dalam hal ini visi dan misi yang selaras tergabung dalam sistem penilaian kinerja yang terintegrasi dengan sistem kompensasi dan benefit, promosi, dan lain-lain, merupakan salah satu kunci keberhasilan dalam beradaptasi. |