Munculnya pembagian kerja internasional baru (NIDL - New International Division of Labour) dan berbagai deregulasi kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah Indonesia untuk menarik investor asing maupun dalam negeri, menyebabkan pesatnya pertumbuhan pabrik-pabrik pasar dunia. Karakteristik utama dari pabrik-pabrik pasar dunia adalah penggunaan teknologi ban berjalan, padat karya, dan preferensi terhadap buruh perempuan. Preferensi pemodal terhadap buruh perempuan karena menganggap perempuan sangat memenuhi syarat dalam strategi penekanan biaya produksi. Proses akumulasi modal dilakukan dengan memanfaatkan ideologi gender dan patriarki yang telah mengakar di masyarakat. Akibatnya, buruh perempuan selalu rentan terhadap bentuk-bentuk eksploitasi dan subordinasi gender. Dalam pengertian ini, hubungan saling mendukung, interplay, dialektika, antara modal dan gender tidak dapat disangkal bermain di sini.Karena itu, permasalahan utama penelitian ini adalah memeriksa kecenderungan subordinasi gender dalam diri buruh perempuan. Adalah Diane Elson dan Ruth Pearson yang mengemukakan hipotesa tentang tiga kecenderungan subordinasi gender sebagai hasil dari dialektika antara modal dan gender. Keeenderungan mengintensifkan, membusukkan, dan memunculkan kembali bentuk-bentuk subordinasi gender. Dalam memeriksa ketiga kecenderungan tersebut, analisa tidak hanya mefokuskan pada pengalaman kerja perempuan di pabrik, tapi diperiksa juga bangunan relasi gender di rumah tangga sebagai implikasi dari kerja pabrik-an. Dua analisa itu bukan merupakan bagian yang saling terpisah, melainkan suatu gabungan dalam memahami keeenderungan subordinasi gender buruh perempuan.Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif yang berperspektif gender dan berparadigma kritikal. Pemihakan, standpoint, adalah posisi yang diambil peneliti untuk mengungkap persoalan-persoalan perempuan yang tersembunyi. Pengumpulan data dilakukan melalui studi pustaka dan wawancara mendalam terhadap buruh perempuan serta anggota keluarganya sebagai sumber primer, yang ditentukan secara purposif dengan tehnik snow ball.Hasil analisis menunjukkan bahwa kerja pabrik-an dan implikasinya terhadap relasi gender di rumah memproduksikan kecenderungan subordinasi gender yang tidak dapat dikatakan seragam antara buruh perempuan lajang dan yang menikah. Melalui kerja pabrik-an, keduanya cenderung memunculkan kembali, recompose, bentuk subordinasi gender baru. Keduanya terperangkap di dalam lingkaran kontrol patriarki di pabrik. Walaupun begitu, kerja pabrik-an dapat memberikan otonomi relatif bagi buruh lajang menghadapi otoritas laki-laki di rumah, karena itu cenderung membusukkan, decompose, bentuk-bentuk subordinasi gender yang ada. Sebaliknya, bagi buruh berkeluarga, kerja pabrik-an cenderung me-intensifkan, intense, bentukbentuk subordinasi gender yang ada. Karena pengaruh otoritas laki-laki lain di pabrik dan dipikulnya beban Banda, double burden - sebagai penghasil utama nafkah keluarga dan sekaligus terbebani oleh kerja-kerja domestik.Diskusi teoritik yang dapat dihasilkan adalah (1) strategi "pecah belah" terhadap kelompok buruh merupakan strategi efektif bagi pemodal untuk menjaga kelancaran akumulasi modal; (2) kerja pabrik-an, kerja upahan, berpotensi membebaskan perempuan dari subordinasi gender, tapi dengan prasyarat tumbuhnya kesadaran gender dalam diri perempuan; (3) tanpa diikuti kesadaran, kerja upahan hanya akan memediasi munculnya subordinasi gender daripada menghilangkannya; (4) analisa tentang kecenderungan subordinasi gender pada diri buruh perempuan, perlu mengkaitkan analisa pengalaman kerja perempuan di pabrik dengan implikasi kerja upahan terhadap relasi gender di rumah.Rekomendasi yang diusulkan berdasarkan temuan-temuan penelitian, yaitu: (1) resistensi perempuan terhadap dominasi laki-laki melalui kerja upahan, harus didukung oleh unsur-unsur lain, seperti peningkatan tingkat pendidikan, menghindari pernikahan di usia dini, penurunan fertilitas, dan kesadaran gender. Dengan demikian dapat tercipta hubungan antara laki-laki dan perempuan yang egaliter, setara; (2) perlu mengembangkan konsep "perlawanan" (struggle) yang tidak hanya mempersoalkan persoalan ekonomi semata, tapi sebagai suatu cara untuk mengembangkan otonomi diri (self determination); (3) diperlukan intervensi negara untuk memberikan perlindungan, security, bagi buruh perempuan dari bentuk-bentuk subordinasi gender melalui kebijakan-kebijakan perburuhan; (4) perlu mendorong dan mendukung peningkatan kapasitas serikat-serikat buruh dalam membela dan memperjuangan kepentingan dan hak-hak buruh perempuan, partisipasi aktif buruh perempuan dalam kegiatan serikat buruh, dan kontinuitas serikat buruh (5) pendekatan GAD (Gender and Development) dengan strategi pengarusutamaan gender relevan dijadikan basis kebijakan pemerintah (Depnaker) soal perburuhan. Kaitannya terhadap penyelesaian isu-isu struktural perempuan. |