Kemajuan pesat secara serentak yang berlangsung di bidang teknologi informasi, komunikasi, dan transportasi mengakibatkan arus perdagangan barang, modal, dan tenaga kerja di dunia melampaui batas-batas negara. Dalam pelaksanaannya dibutuhkan aturan-aturan dan pranata-pranata secara multilateral. Akan tetapi, aturan-aturan dan pranata-pranata multilateral tidak selalu dapat menyelesaikan sengketa-sengketa yang timbul di dalam bisnis antarnegara (oleh para pelaku-pelaku bisnis). Oleh karena itu untuk menyelesaikan sengketa-sengketa tersebut diupayakan melalui pertautan aturan-aturan dan pranata-pranata nasional yang berlaku atau dapat berlaku bagi kedua belah pihak. Pertautan ini melahirkan hukum quasi internasional di bidang perdagangan atau bisnis. Kegiatan perdagangan, baik dilakukan oleh negara, badan hukum, maupun individu antarnegara, dilingkupi oleh aspek hukum perdata pada umumnya, hukum perikatan pada khususnya. Oleh karena itu, pelaku-pelaku di dalam perdagangan antarnegara bebas dalam memilih hukum yang berlaku bagi mereka dalam batas-batas tertentu. Globalisasi juga memicu tiap-tiap negara di dunia berupaya untuk berperan dalam perdagangan antarnegara dan menimbulkan persaingan satu sama lain. Beberapa negara melakukan proteksi-proteksi tertentu, melakukan pengelompokan dengan negara-negara lain, dan lain-lain sehingga timbul organisasi-organisasi perdagangan, baik bersifat bilateral, regional, maupun multilateral. Dalam rangka pembangunan perekonomian nasional, Indonsia telah ikut di dalam beberapa perundingan yang membentuk organisasi perdagangan tersebut, antara lain, ASEAN Free Trade Area (AFTA), Asia Pacific Economic Cooperation (APEC), dan World Trade Organization (WTO). Dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1994, Indonesia resmi menjadi anggota Organisasi Perdagangan Dunia (World Trade Organization-WTO). Dengan demikian, Indonesia terikat kepada semua ketentuan yang ditetapkan dalam badan tersebut. Salah satu bidang ekonomi yang mengglobal yang pengaturannya disepakati dalam pembentukan WTO adalah bidang HAKI (Intellectual Property Rights). Kesepakatan ini diambil dalam Persetujuan tentang Aspek-aspek Dagang Hak Atas Kekayaan Intelektual (Agreements on Trade Related Aspects of Intellectual Property Rights-TRIPs) pada bulan April 1994 di Marrakesh, Maroko, yang memuat norma-norma dan standar perlindungan HAKI dan aturan pelaksanaan penegakan hukum di bidang HAKI. Indonesia sebagai anggota WTO harus menyesuaikan ketentuan-ketentuan, khususnya di bidang HAKI, terhadap ketentuan-ketentuan di dalam TRIPs. Oleh karena itu, selain mengubah tiga paket undang-undang di bidang HAKI, Indonesia juga telah meratifikasi lima Persetujuan Internasional di bidang HAKI tersebut pada tanggal 7 Mei 1997. Ketiga paket undang-undang tersebut adalah Undang-Undang No. 12 Tahun 1997 tentang Perubahan atas Undang-Undang No. 7 Tahun 1987 tentang Hak Cipta, Undang-Undang No. 13 Tahun 1997 tentang Perubahan Undang-Undang No. 6 Tahun 1989 tentang Paten, dan Undang-Undang No. 14 Tahun 1997 tentang Perubahan Undang-Undang-Undang No. 19 Tahun 1992 Tentang Merek. Perubahan-perubahan ini bersifat penyempurnaan, penambahan, maupun penggantian materi undang-undang sebelumnya dalam rangka menyesuaikannya dengan TRIPs dan memajukan perekonomian nasional. |