Kapitalisasi biaya bunga merupakan suatu topik yang banyak menimbulkan polemik di kalangan akademisi, pelaku bisnis, dan kaum profesi. Pada tahun 1994, Ikatan Akuntan Indonesia telah menerbitkan suatu standar yang mengatur mengenai perlakuan akuntansi, yang dianggap sesuai, terhadap biaya bunga. Sejauh ini Indonesia banyak mengadaptasi standar luar seperti misalnya IAS dan FASB. Khusus mengenai PSAK no.26 yang berjudul "Akuntansi Bunga untuk Periode Konstruksi" diadaptasi dari SFAS no.34 dan bukan dari IAS no. 23.Dalam perkembangannya terkemudian, penerapan kapitalisasi atas biaya bunga disinyalir justru mendatangkan banyak permasalahan di dunia bisnis dan dianggap tidak mampu memberikan kontribusi positif terhadap para pengguna laporan keuangan. Hal yang banyak disorot, terutama terkait dengan keputusan calon investor dalam memilih investasi yang menguntungkan apabila metode NPV dipakai. Dari segi karakteristik kualitatif laporan keuangan, terjadi permasalahan serius dimana laporan keuangan produk penerapan kapitalisasi biaya bunga, cenderung menyalahi beberapa karakteristik utama. Sehingga laporan keuangan tersebut dipandang tidak akurat untuk dijadikan dasar penting dalam pengambilan keputusan.Penyebab utama permasalahan tersebut adalah karena [1] laporan keuangan yang menerapkan kapitalisasi cenderung menjadi tidak relevan, akibat tidak adanya rincian mengenai penyebab timbulnya biaya bunga yang dikapitalisir. Akibatnya pengguna laporan keuangan tidak mengetahui bagian biaya bunga mana yang boleh dikapitalisasi, mana yang tidak. Selain itu [2] laporan keuangan menjadi tidak andal, akibat terkontaminasi oleh praktek semacam earnings management dan window dressing. Walaupun penerapan kapitalisasi atas biaya bunga membuka banyak peluang terjadinya manipulasi atas laporan keuangan, akan tetapi di lain pihak, karena kurang ketatnya standar yang ada, secara de jure perusahaan-perusahaan yang disinyalir melakukan manipulasi temyata tidak cacat secara hukum.Terkait dengan perusahaan properti yang pada masa booming (sebelum krisis) sempat menjadi primadona, ternyata penerapan kapitalisasi biaya bunga dijadikan fasilitas yang sangat menguntungkan untuk praktek penggelembungan nilai aset, nilai modal, bahkan untuk mendongkrak nilai laba bersih secara signifikan. Dari pengamatan 15 perusahaan properti yang listing di BEJ, yang menggunakan kapitalisasi, ternyata semuanya melaporkan laba bersih yang cukup tinggi dan rasio keuangan yang bagus. Tentu saja hal tersebut tidak berlaku apabila perlakuan expense atas biaya bunga dipilih.Dengan diijinkannya pengungkapan penerapan kapitalisasi biaya bunga yang minim seperti sekarang ini, maka banyak perusahaan properti yang menjadi cepat berkembang karena mudahnya kucuran kredit dari perbankan. Dengan tibanya masa krisis, dimana daya beli masyarakat menurun, kegiatan sektor properti kontan menjadi sektor pertama yang tersendat. Perbankan sendiri akhirnya menderita banyak kerugian akibat kredit macet dan lebih rendahnya nilai aset yang diagunkan dibandingkan yang tertera. Tentu saja ini diakibatkan praktek mark-up atas aset, yang dalam pencatatannya menyertakan biaya bunga di dalamnya.Sampai saat ini, kritik mengenai topik ini masih banyak dilontarkan baik dari kalangan FASB sendiri maupun dari IASC yang tegas-tegas menolak perlakuan kapitalisasi atas biaya bunga. Indonesia sebagai negara yang sedang berkembang, melalui IAI, memilih untuk merevisi PSAK no.26 1994. Islam edisi revisi tersebut, ternyata justru ditambahkan suatu item baru yang dapat dikapitalisir yaitu rugi selisih kurs. Tentu saja hal ini kemudian dipandang sebagai suatu kemunduran, dibandingkan praktek akuntansi negara-negara tetangga yang tidak menerapkan hal tersebut.Kontribusi solusi yang sejauh ini dipandang berarti ialah mengenai aspek pengungkapan penuh. Untuk mempertahankan konsep kapitalisasi, PSAK no.26 perlu ditambah beberapa item pengungkapan selain yang sudah ada sekarang. Walaupun ini bukan solusi yang paling akurat, tetapi setidaknya cukup mampu untuk membendung terjadinya asimetri informasi, antara penyaji dan pengguna laporan keuangan. Pendekatan teoretis yang terstruktur dipandang kurang tepat, karena adanya gap yang lebar antara teori dan praktek di lapangan. Akan tetapi jika tidak dan ingin mengadopsi standar internasional, yang tentu saja banyak keuntungannya, maka IAS no.23 merupakan suatu alternatif yang cukup baik dan direkomendasikan. |