Memutus rantai, meretas jalan menuju sikap mengajar yang sensitif jender
Yustina Rostiawati;
Irwanto, supervisor
(Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 1999)
|
Pendidikan dasar bagi anak perempuan telah dibuktikan membawa dampak positif bukan saja bagi anak itu sendiri tetapi juga bagi keluarga, bahkan bagi negara. Oleh karena itu telah dilakukan berbagai upaya untuk meningkatkan partisipasi anak perempuan di SD. Namun berbagai usaha yang dilakukan diakui kurang membuahkan hasil yang menggembirakan. Seperti misalnya yang dilakukan oleh Indonesia dengan berbagai program sejak awal pelita I hingga diperpanjangnya Program Wajib Belajar pada akhir pelita VI. Meskipun diakui kesenjangan jender hampir teratasi di tingkat SD, tapi ternyata tidak demikian untuk tingkat lanjutannya. Satu usulan yang berulang kali ditekankan oleh berbagai pihak, termasuk PBB adalah menghapuskan materi pelajaran yang bias jender. Agaknya usulan ini kurang mendapat perhatian yang memadai. Penelitian ini bermaksud mencari alternatif lain dalam mengupayakan proses belajar-mengajar yang sensitif jender. Memang diakui bahwa usaha memperbaiki materi pelajaran yang bias jender perlu diwujudkan dalam waktu yang singkat. Oleh karena itu, sudah seharusnyalah, guru juga menjadi pertimbangan penting dalam upaya ini karena gurulah yang secara langsung melaksanakan proses belajar-mengajar di kelas. Berdasarkan keyakinan ini, maka alternatif yang diajukan dalam studi ini adalah mengkaji kembali materi pelajaran SD bersama-sama dengan guru. Dengan cara ini diharapkan guru menyadari adanya ketidakadilan jender yang disosialisasikan lewat buku pelajaran dan oleh karena itu dapat mengambil langkah-langkah yang perlu untuk kelasnya. Untuk mencapai tujuan tersebut, studi ini diarahkan pada proses consciousness raising (proses penyadaran). Langkah pertama yang dilakukan adalah mengkaji buku Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan (PPKn) dan Bahasa Indonesia yang digunakan di kelas I dan IV SD. Analisis isi ini menggunakan indikator sensitivitas jender seperti dimuat dalam Kane, 1995. Kemudian, hasil sementara dipresentasikan dalam seminar setengah hari, dengan tujuan utama untuk mensosialisasikan temuan studi dan membuka mata dan hati guru SD terhadap masalah bias jender ini. Langkah terakhir adalah menyelenggarakan lokakarya penyadaran jender bagi guru-guru SD Katolik di wilayah Jakarta-Bekasi-Tangerang. Lokakarya ini diharapkan dapat mengajak guru menyadari bahwa materi yang bias jender ini merugikan kita semua, karena itu perlu disikapi dengan lebih bijaksana dan disampaikan dengan lebih baik kepada siswa. Paling sedikit sudah ada dua kali kajian materi pelajaran Pendidikan Moral Pancasila (PMP) untuk SD (kurikulum 1975) di Indonesia. Kedua studi tersebut menemukan adanya bias jender dalam buku pelajaran dimaksud. Kajian terhadap buku PPKn dan Bahasa Indonesia dalam studi ini pun masih menemukan bias jender yang kental. Hal ini terlihat dari gambar laki-laki yang lebih banyak digunakan dalam ilustrasi dibandingkan dengan gambar perempuan; nama laki-laki yang lebih banyak disebutkan dari pada nama perempuan; peran dan aktivitas yang dilakukan laki-laki ditunjukkan dengan lebih beragam; bentuk-bentuk permainan yang menggambarkan stereotipe jender; dan nama tokoh laki-laki yang juga disebut lebih banyak dan beragam bidang prestasinya dibandingkan dengan tokoh perempuan. Padahal sudah ada dua kali perbaikan kurikulum, tahun 1984 dan 1994. Jadi benar bahwa menyusun kurikulum, apalagi materi yang bebas dari bias jender masih membutuhkan kesabaran. Setitik harapan untuk memutus rantai dan meretas jalan, menuju proses belajar-mengajar yang sensitif jender, terlihat ketika guru-guru menunjukkan antusiasmenya dalam mengikuti lokakarya penyadaran jender. Mereka aktif berpartisipasi, sehingga pada akhirnya menghasilkan satu kesepakatan yang pada intinya menuangkan adanya kesadaran jender dan mau mengupayakan terwujudnya proses belajar-mengajar yang sensitif jender. Pemerintah, dalam hal ini Departemen Pendidikan dan Kebudayaan bekerja sama dengan Kantor Menteri Peranan Wanita, masih merupakan faktor yang paling menentukan dalam mengubah dan memperbaiki kurikulum maupun materi pelajaran. Oleh karena itu, keterlibatan pihak pemerintah perlu diupayakan tidak hanya sebatas retorika tetapi lebih pada tindakan nyata. |
T6328-Yustina Rostiawati.pdf :: Unduh
|
No. Panggil : | T-Pdf |
Entri utama-Nama orang : | |
Entri tambahan-Nama orang : | |
Entri tambahan-Nama badan : | |
Subjek : | |
Penerbitan : | Depok: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 1999 |
Program Studi : |
Bahasa : | ind |
Sumber Pengatalogan : | LibUI ind rda |
Tipe Konten : | text |
Tipe Media : | computer |
Tipe Carrier : | online resources |
Deskripsi Fisik : | viii, 112 pages : illustration ; 30 cm + appendix |
Naskah Ringkas : | |
Lembaga Pemilik : | Universitas Indonesia |
Lokasi : | Perpustakaan UI, Lantai 3 |
No. Panggil | No. Barkod | Ketersediaan |
---|---|---|
T-Pdf | 15-18-391226522 | TERSEDIA |
Ulasan: |
Tidak ada ulasan pada koleksi ini: 75960 |