Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) menjadi masalah kesehatan masyarakat di Indonesia. Pertama kali dilaporkan tahun 1968 sampai dengan sekarang telah menyebar ke sebagian besar kabupaten dan kota di seluruh Indonesia. Selama periode 1992-2002 terdapat 69.330 kasus di wilayah DKI Jakarta, dengan jumlah kematian 595 orang, sedangkan untuk Jakarta Pusat selama tahun 2000-2003 terdapat 4.905 kasus dengan jumlah kematian 23 orang, rata-rata IR 121,44 dan ABJ (Angka Bebas Jentik) 92.3%. Penyakit ini disebabkan oleh virus dengue (Type 1, 2, 3 dan 4) dan ditularkan oleh vektor nyamuk Aedes aegtpti, ditandai dengan demam mendadak 2-7 hari tanpa penyebab yang jelas, lemah/lesu, gelisah, nyeri ulu hati, disertai tanda perdarahan di kulit berupa bintik-bintik perdarahan, lebam atau roam, kadang-kadang mimisan, berak darah, muntah darah, kesadaran menurun/shock. Disamping virus dan agent, faktor-faktor risiko seperti iklim (suhu, curah hujan, kelembaban), faktor demografi (kepadatan penduduk), serta faktor geografi (penggunaan tanah) dalam satu kesatuan ekosistem dapat mempermudah penyebaran penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD). Study ekologis time trend (kecenderungan waktu) terhadap faktor-faktor risiko tersebut diatas dan melalui pendekatan spasial, dilakukan untuk melihat gambaran fenomena kejadian penyakit DBD. Pemakaian Sistem Informasi Geografis (SIG) dengan perangkat lunak Arc View 32, dapat memperjelas gambaran penyebaran kejadian penyakit DBD selama tahun 2000 - 2003 per-kecamatan di Jakarta Pusat. Pada tahun 2000-2003, rata-rata suhu udara minimum-maksimum (26,6 - 29,2°C) curah hujan (0 - 23,2 mm) dan kelembaban (66,9 85,9 %). Sebaran tertinggi selama tahun 2000 - 2003 yaitu pada kecamatan Kemayoran, Tanah Abang, Senen, Johar Baru. Lokasi-lokasi tersebut permukiman dan penduduknya padat, akibatnya faktor kelembaban dapat meningkat pada tempat tersebut, dan kondisi ini membuat nyamuk Aedes aegypti hidup serta berkembang biak dengan baik. Sebaran kejadian terlihat mulai meningkat pada akhir musim penghujan, dan sebaran kejadian pada musim kemarau lebih tinggi dari pada musim penghujan. Melihat fenomena yang digambarkan dalam peta, bahwa kejadian penyakit lebih banyak pada permukiman dan penduduk yang padat dan jumlah kejadian penyakit DBD pada musim kemarau lebih banyak dan musim penghujan, serta jumlah kejadian meningkat pada akhir musim penghujan, maka untuk mengantisipasi peningkatan kejadian disarankan kepada Sudinkesmas setempat, untuk meningkatkan Pemeriksaan Jentik Berkala (PJB) dan penyuluhan kesehatan lingkungan kepada masyarakat agar berperan aktif dalam Pemberantasan Sarang Nyamuk (PSN), serta perlu pengembangan SIG dan analisa spasial serta peningkatan epidemiologi kesehatan lingkungan. Spatial Analysis of Dengue Hemorrhagic Fever (DHF) Incidence in Central Jakarta District on 2000-2003Dengue Hemorrhagic Fever (DHF) continues to be serious public health problems and major cause of hospitalization and death in Indonesia. The epidemiological dimensions of the disease continue to increase across rural and urban areas in Indonesia since first time DHF was reported in 1968. During the period 1992 - 2002, several outbreaks have occurred in Jakarta Capital of Territory (DKI-Jakarta) with a total incidence of 69,330 cases and with total number of 595 deaths, parts of the above number whereas 4,905 cases in the Central Jakarta Municipality for year 2002-2003 with total number of 23 deaths, IR 121.44 and Larvae Free Index (ABJ) was 92.3 %. Transmitted by the main vector, the Aedes aegypty mosquito these are four distinct, but closely related viruses that cause dengue (Type 1, 2, 3 and 4). DHF is characterized clinical manifestations: high fever, hemorrhagic phenomena, often with hepatomegaly and in, severe cases, signs of circulatory failure. Such cases may develop hypovolaemic shock resulting from plasma leakage. Beside agent and virus, other risk factors such as climate (temperature, rain drop, humidity), demography, and geographic (land use) in one ecosystem could easier the spread of disease DHF. Time trend in ecological study with risk factors above and using a spatial approach, is used in this study to find out the phenomena of DHF. Using the Geographical Information System (GIS) with ArcView 3.2, could bold the view of DHF spread during 2000-2003 for each sub districts in Central Jakarta Municipality. In year 2000-2003, the average of the minimum-maximum temperature was (26.6 - 29.2 °C), rain drop was (0 - 23, 2 mm) and humidity was (66.9 - 85.9 %). The highest spreading of DHF in 2000-2003 was in Kemayoran Sub District, Tanah Abang Sub District, Senen Sub District, lobar Baru Sub District. The above areas which have housing with high density population have relation to increase the humidity then the high humidity could become a reinforcing factor for Aedes aegyply growing and living. The occurrence of DHF tends to increase at the end of rain season, and spreading of disease in dry season does higher compare to rain season. From the phenomena on the map in this study, the incidence of DHF occurred more at housing with high density population and DHF occurrence in dry season highest compare to rain season, and the number of incidents was increased in at the end of rain season. It is suggested that the Central Jakarta Municipality Health Office needs to increase the health education which emphasize the environmental health aspects such as Pemberantasan Sarang Nyamuk (PSN) and Pemeriksaan Jentik Berkala (PJB), and need to develop GIS with spatial analysis and increasing the epidemiology for environmental health. |