ABSTRAKBerbeda dengan keadaan suatu kota yang telah direncanakan secara matang untuk menjadi kota dengan fungsi spesifik seperti kota pemerintahan, metropolitan Jakarta tumbuh sebagai kota multifungsi, di mana kegiatan pemerintahan, perdagangan, industri dan pendidikan berpusat, sekaligus menjadi pintu gerbang bagi arus barang dan orang dari dan ke negeri ini. Tidaklah mengherankan apabila Jakarta memiliki daya tarik yang sangat besar bagi para urbanit yang mencoba mengadu untung demi perbaikan nasib di sini. Kenyataan selanjutnya adalah bahwa para urbanit yang sebagian besar memiliki keahlian dan ketrampilan terbatas memberikan kontribusi yang sangat besar bagi pertumbuhan jumlah penduduk dan pertambahan daerah pennukiman kumuh di ibu kota.Permukiman kumuh didefinisikan antara lain sebagai permukiman dengan unit-unit rumah dengan ukuran kecil-kecil serta kondisi fisik lingkungan yang buruk (Drakakish, 1980). Sebagian wilayah Kecamatan Penjaringan di Jakarta Utara adalah gambaran dari permukiman kumuh yang diobservasi dalam penelitian ini. Tujuan pokok dari penelitian yang dilakukan ini adalah untuk mengetahui hubungan antara kondisi fisik lingkungan permukiman kumuh dengan kondisi sosial ekonomi penghuninya. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi masukan bagi pihak-pihak terkait dan otoritas perencanaan tata ruang perkotaan serta program perbaikan kampung.Hipotesis yang diajukan adalah: semakin rendah kondisi sosial ekonomi penghuni, maka akan semakin kumuh lingkungan permukimannya.Penelitian dilakukan melalui beberapa langkah pendekatan. Pendekatan pertama yaitu studi menggunakan data primer, dalam hal ini interpretasi foto udara tahun 1982 dan tahun 1994. Interpretasi ini dimaksudkan untuk memperoleh informasi mengenai persebaran permukiman kumuh di Kecamatan Penjaringan. Pendekatan kedua adalah studi melalui observasi terestrial dengan cara mengamati langsung kondisi fisik lapangan serta wawancara langsung dengan para responden. Pendekatan ketiga adalah studi melalui data sekunder yang terkait dengan masalah ini, di antaranya data statistik, peta dan laporan-laporan dari instansi pemerintah.Analisis data dilakukan untuk memperoleh gambaran mengenai kualitas lingkungan permukiman dan persebaran kekumuhan. Analisis ini merupakan gabungan antara pengolahan data lapangan dan interpretasi foto udara, dengan skenario foto udara ini akan menjadi verifikasi analisis data terestrial. Untuk keperluan penilaian, permukiman kumuh dibagi dalam tiga kategori, yaitu kumuh ringan, kumuh sedang dan kumuh berat. Tolok ukur atau indikator kekumuhan ini dihitung dengan cara memberikan nilai dan bobot pada setiap variabel yang telah ditetapkan dalam himpunan variabel kondisi fisik linglcuangan. Dalam hal ini, mengacu pads kriteria penilaian dari Ditjen Cipta Karya Departemen PU dan BAPPEM MHT DKI Jakarta, variabel kondisi fisik lingkungan permukiman yang dilibatkan ada sepuluh macam, yaitu genangan air, sarana sanitasi, sarana pembuangan sampah, kepadatan hangman, lebar jalan masuk, kondisi permukaan jalan masuk, ketersediaan somber air bersih, keadaan konstruksi bangunan rumah, tats letak blok permukiman dan leas rumah mukim. Kelompok variabel bebas yang akan dipelajari hubungannya dengan variabel kondisi fisik lingkungan permuldman di batasi tiga item, yaitu: pendapatan, tingkcat pendidikan serta kesehatan penghuni.Analisis data menggunakan cara-cara yang lazim digunakan dalam metoda statistik, antara lain metode chi square untuk mengetahui adanya hubungan antara masing-masing variabel kondisi fisik dengan masing-masing variabel kondisi sosial ekonomi, serta metoda regresi berganda untuk mengetahui pola hubungan ketergantungan antara tingkat kekumuhan dengan variabel-variabel kondisi sosial ekonomi. Untuk memudahkan operasi perhitungan digunakan software SPSS (Statistical Package for Social Sciences).Uji hipotesis dengan metode Chi square menunjukkan adanya hubungan yang signifikan antara kedua kelompok variabel. Sebanyak tiga puluh pasang tabulasi silang diuji, untuk menyelidiki adanya hubungan antar variabel-variabel yang terlibat. Sebanyak 23 item atau sekitar 77 persen dari ketiga puluh jenis yang diuji tersebut menunjukkan adanya hubungan antar variabel yang signif:kan. Faktor penghasilan penghuni menempati urutan pertama dalam hal banyaknya hubungan yang terbukti, yaitu 9 hubungan dari 10 macam yang diuji. Kemudian diikuti faktor tingkat pendidikan dengan 8 hubungan yang signifkan dan terakhir faktor kesehatan dengan 6 hubungan yang terbukti, masingmasing dari 10 hubungan yang diuji. Bila ditinjau kualitas kedekatan hubungan antar variabel yang telah teruji, rata-rata berada pads tingkat hubungan sedang dengan nilai contingency antara 0,30 sampai 0,49. Hubungan paling kuat terdapat antara pendapatan responden dengan kondisi konstruksi bangunan rumah yang ditempatinya dengan nilai contingency 0,500.Perhitungan regresi antara indikator tingkat kekumuhan Y dengan ke tiga variabel.bebas: X11 (pendapatan), X12 (tingkat pendidikan) dan X13 (kesehatan) menghasilkan persamaan: Y = 7,279 + 0,458 X11 + 1,764 XS2 + 2,598 X13 Persamaan di atas menggambarkan pola hubungan antara variabel-variabel yang terlibat, dalam hal ini Y mewakili kondisi fisik lingkungan permukiman dan X11, X12 dan X13 mewakili kondisi sosial ekonomi penghuni. Persamaan regresi memberikan informasi bahwa antara kondisi fisik lingkungan dan kondisi sosial ekonomi terdapat hubungan positif atau sebanding, artinya peningkatan nilai variabel-variabel pada ruas kanan persamaan akan berakibat meningkatnya nilai variabel pada ruas kiri persamaan tersebut sehingga dapat disimpulkan bahwa bertambah buruknya kualitas pendapatan, tingkat pendidikan dan kesehatan penghuni akan berakibat atau menandakan semakin kumuhnya lingkungan permukiman.Dugaan hasil pengujian persamaan regresi di atas hipotesa yang diajukan telah dapat dibuktikan.Verifikasi basil analisis data terestrial dengan interpretasi foto udara menunjukkan adanya kesesuaian yang cukup baik dalam hal distribusi kekumuhan -Observasi terestrial menunjukkan bahwa sebagian besar permukiman berada dalam status kumuh berat. Perbandingan komposisi ini adalah 65,00 %; 26,70 % dan 8,30 % berturut-turut untuk permukiman kumuh berat, kumuh sedang dan kumuh ringan. Hasil interpretasi foto udara tahun 1994 memberikan komposisi dengan urutan seperti di atas: 68,15 %; 24,60 % dan 7,25 %. Di satu sisi tekanan akibat pertambahan jumlah penduduk mendorong berkembangnya pemukiman kumuh, terlihat dengan bertambahnya luas areal permukiman kumuh secara keseluruhan sebesar 2,90 hektar dari tahun 1982 sampai tahun 1994. Di sisi lain upaya-upaya peningkatan atau perbaikan kampung yang dilakukan pemerintah maupun swadaya masyarakat berhasil menekan perkembangan permukiman kumuh, bahkan dapat mengurangi luas permukiman berstatus kumuh berat. Peningkatan kualitas ini ditandai dengan berkurangnya luas areal permukiman kumuh sebesar 28,35 hektar dalam icurun waktu yang sama. Faktor-faktor pendorong terjadinya kekumuhan permukiman yang teramati di lapangan mencakup tiga komponen besar, yaitu kepadatan, pola hidup penghuni dan keadaan lingkungan permukiman.Kepadatan dimaksudkan sebagai kepadatan penghuni dan kepadatan bangunan permukiman. Semakin banyak penghuni dalam satu rumah yang ukurannya lebih kecil akan mendorong terjadinya kekumuhan. Di daerah penelitian kepadatan penghuni mencapai rata-rata 5 m2lorang, di bawah standar kebutuhan normal 6 - 9 m2lorang. Mengenai kepadatan bangunan permukiman diperoleh informasi yang akurat dari interpretasi foto udara, di mama sebagian besar blok permukiman mempunyai penutupan bangunan (building coverage) rumah mukim rata-rata di atas 75 %, yang dapat digolongkan ke dalam katagori kumuh berat. Komponen pola hidup penghuni meliputi tiga aspek, yaitu penggunaan sarana sanitasi, tempat pembuangan sampah dan pemenuhan somber air bersih. Kenampakan di daerah penelitian mengenai adanya kecenderungan menuju kekumuhan permukiman adalah banyaknya responden yang tidak memiliki sarana sanitasi sendiri (sebanyak 20,80 %) ataupun mau menggunakan fasilitas sanitasi umum, melainkan membuang hajat secara babas di tempat-tempat terbuka seperti sungai yang aimya tak mengalir lancar atau laut.Dorongan menuju kekumuhan akibat pola hidup yang kurang bersih dari unsur pembuangan sampah terlihat dominan, dan ini ditunjukkan dengan banyaknya jumlah responden yang membuang sampah sembarangan (43,30 %). Ketersediaan air bersih dalam jumlah normal sulit dipenuhi di daerah penelitian, ditunjukkan dengan banyaknya responden yang memenuhi kebutuhan air bersih dengan cara membeli air kalengan dan penjaja air keliling sebanyak 53,30 %. Hal ini menunjukkan bahwa sarana permukiman lingkungan tidak layak.Komponen keadaan lingkungan permukiman mencakup empat aspek, yaitu tata letak blok permukiman, kondisi konstruksi bangunan rumah mukim, lebar jalan dan kondisi permukaan jalan masuk. Dorongan kekumuhan dari aspek tata letak ini teramati dengan rendahnya kualitas tata letak di sebagian besar permukiman responden (61,70 %) di daerah penelitian. Demikian pula kontribusi kondisi bangunan rumah mukim menuju kekumuhan permukiman tampak dari banyaknya rumah non permanen sebesar 46,70 % yang menggambarkan keadaan lingkungan buruk. Mayoritas jalan masuk di daerah penelitian mempunyai lebar kurang dari 1,0 m (54,20 %). Sempitnya jalan mengakibatkan jalan tersebut tidak mampu berfungsi secara layak sebagai alur lalu lintas, tampat bak sampah, penempatan saluran drainasi maupun sebagai pembatas antara rumah ke rumah. Jelas bahwa hal ini akan memicu buruknya keadaan lingkungan yang mengarah pada kekumuhan. Kondisi permukaan jalan yang ditemui di lapangan sebagian besar becek dan tergenang di saat hujan, memberikan dorongan terjadinya kondisi lingkungan buruk dan kumuh. ABSTRACTCorrelation Between Physical Condition and Community's Socio-economic Condition in Slum Settlement Area. (A Case Study in Penjaringan Subdistrict, North Jakarta)Within a diverging scheme with a well planned city for specific function as an administration city, the metropolitan of Jakarta emerges as a multi function city. This means Jakarta functions as a place for administration, trading, industry, education activities and consequently becomes the mayor place for exchange of goods and peoples of this country. It is not surprising that Jakarta performs greatly attractive for the migrants who find employments and a better live. Then the further reality was coming. In fact most migrants are unskilled and in turns, they in most contributed to high population growth and expansion of slum settlements in the capital city. Slum settlement is defined, among others, as a settlement occupied by very small houses and bad environment condition (Drakakish, 1980). In this context Penjaringan Subdistrict of North Jakarta is a good example to be observed due to its slum settlement.The main aim of the current research is to discover the correlation between physical condition and community's socio-economic condition in slum settlement area. The gained result is expected as an input for interrelated participants and autorized board on city masterplanning and settlement betterment programmes. The presented hypothesis: as the quality of community's socio-economic condition goes lower, the settlement environment will be found worse.The current research is conducted through several approaches. The first way is a study through primary data, in this case interpretation of 1982 and 1994 aerial photograph. This interpretation is intended to gain information concerning with the distribution of slum settlement area in Penjaringan Subdistrict. The second mean is a terestrial observation based study by means of direct survey of physical site condition and interviewing the respondents. The third access is a study of interfaced secondary data, among others are statistical data, maps and government reports.Data analysis were conducted to obtain the feature of settlement environment quality and expansion of slum condition. The analysis is a combined one between site data calculation and aerial photograph interpretation, within the scenario that aerial photograph was aimed as a verification of terestrial data calculation result. For scoring purposes, slum settlement was divided into three categories : light slum, medium slum and heavy slum. Slum indicator was calculated by assigning a value and grade to each variables defined in environment physical condition variable group. Based on evaluation criteria from Ditjen Cipta Karya, Public Works Department and BAPPEM MHT DKI Jakarta, the involved settlement physical environment variables consist of ten items: water impounding, sanitation facility, waste disposal facility, building density, access street width, access street surface condition, availability of water supply source, housing structure condition, site arrangement of housing block and the size of house space. The independent variables to be studied in connection with settlement physical environment condition were limitted into three items: income, education level and community's health.Data analyses were conducted through scientific practices in statistical methods, those are Chi-square to obtain the existence of correlation between physical condition variables and socio-economic condition variables respectively, and multiple regression to identify the dependent correlation of slum category and its socio-economic condition. The calculation operation took the advantage of SPSS (Statistical Package for Social Sciences) software for its simplicity.Chi-square hypothesis test identified a significant correlation between both variable groups. Thirty sets of cross tabulations were tested, to investigate the magnitude of correlation between interfaced variables. As much as 23 items or around 77 percent from those, indicated the existence of significant correlation of variables. Respondent income factor ranks at the first in case of proved correlation result, that is 9 significant correlation out of 10 selected items. Second rank is occupied by education level with 8 correlation and the last one is health factor with 6 proved correlation from 10 tested items each. From the quality of correlation view points, the proved variable correlations have medium grade in average sense, with the range of contingency coefficient for 0.30 - 0.49. The strongest correlation exists between respondent income and house structure condition with contingency coefficient of 0.500.Regression calculation of slum condition grade Y to the three independent variables : X11 (income), X12 (education level) and X13 (health) results an equation: Y = 7.279 + 0.458 X11 + 1.764 X12 + 2.598 X13 .The above equation shows correlation form among involved variables, in this case Y represents settlement physical environment condition and X11, X12 and X13 represent community's socio-ecomical condition. Regression equation presents information that environment physical condition is paralelly correlated with socio-ecomic condition. It means the increasing score of the right hand side of the equation will improve the rate of left side, that will lead to a conclusion, i.e, as the quality of income, education level and community's health goes lower, the settlement environment will be degraded or it indicates a worse environmental condition. This is to say that proposed hypothesis has been proved by the above mentioned regression test result.Verification of terestrial data analyses resulted in aerial photograph interpretation indicates a good similarity on slum distribution. Terestrial observation shows that most settlement area holds the heavy slum status. In comparison, the composition of heavy slum, medium slum and light slum is 65 %; 26.70 % and 8.30 % respectively. Interpretation of 1994 aerial photograph exhibits a composition as above: 68.15 %; 24.60 % and 7.25 %. From one aspect, population growth and population pressure promote the expansion of slum settlement, denoted by the new expansion of slum area of 2.90 ha, from 1984 to 1994. On the other hand, the government or community's self supporting effort succeeded in settlement betterment campaign, even it was possible to reduce the expansion of heavy slum settlement. This quality improvement was indicated by the reduction of slum settlement area of 28.35 ha during the same period.The prompting factors on settlement slum observed on site consist of three main components, i.e. density, live style and settlement environmental condition.Density refers to residential density and physical settlement density. More residents in a smaller house will stimulate slum condition. In observation, the density is 5 m2 per person on average, under the normal standard 6 to 9 m2 per person. Taking the physical settlement density into account, it was accurately recognized from aerial photograph that most settlement blocks have average settlement building coverage of more than 75 %, which can be classified into heavy slum category.Life style component consists of three aspects: sanitation facility usage, availability of waste disposal facility and water supply. In observation, it was indicated that within slum settlement, quite a lot of respondents have no private sanitation facility (20.80 %) or agree to use public sanitation facility, but freely defecate in open space as rivers or sea. From the point of waste disposal, stimulus to slum condition resulted in dirty live style was apparently very dominant, and it was indicated by a proportion of respondent littering (43.30 %). Water supply in sufficient quantity was not available in observation area, indicated by respondents who meet their water demand from passing water sellers (about 53.30 %). All these show an improper settlement environment infrastructure.Environment components cover four aspects, they are settlement blocks arrangement, house structure condition, access street width and access street surface condition. Slum pressure originated from arrangement aspect was observed from the low arrangement quality of most respondent's settlement (61.70.%). Similar pattern was indicated for housing structure contribution on slum formation. As much as 46.70 % non permanent housing structures was observed, as they represent unlikely environmental condition. Most access street width in observation area are less than 1.0 m (about 54.20 %). These narrow streets cause inappropriate function of traffic path, disposal bin and drainage channel location, neighbourhood's border. It was clear that those matters will lead to bad environment to stimulate slum formation. Most street surfaces were muddy and impounded in rainy days, prompts the slum and bad environment. |