:: UI - Tesis Membership :: Kembali

UI - Tesis Membership :: Kembali

Pluralisme hukum dalam kasus-kasus perkawinan antar agama di kelompok etnis cina : studi kasus perkawinan antar agama di Gereja Katolik Paroki St.Petrus dan Paulus, Mangga Besar, Jakarta

Liria Tjahaja; Tapi Omas Ihromi, supervisor; Bachtiar Alam, supervisor ([Publisher not identified] , 1997)

 Abstrak

ABSTRAK
Studi/pembahasan mengenai kasus perkawinan antar agama bukanlah merupakan hal yang baru karena sudah sering kita jumpai melalui beberapa artikel/tulisan maupun pertemuan/seminar-seminar yang pernah diadakan.
Asmin (1986) membahas status perkawinan antar agama yang ditinjau dari UU Perkawinan no.1/1974. Menurut Asmin, Undang-Undang (UU Perkawinan Nasional tsb belum mengatur soal perkawinan antar agama sehingga untuk kasus tsb kepastian hukumnya belum jelas. Berkenaan dengan hal itu, Asmin mengusulkan agar UU Perkawinan no.1/1974 tsb disempurnakan (khususnya untuk rumusan ps.57). Berbeda dengan Asmin, studi yang kemudian dilakukan oleh Wiludjeng (1991) maupun Noryamin (1995), tidak semata-mata mempelajari kasus perkawinan antar agama dari sudut hokum/perundang-undangan. Studi/penelitian yang dilakukan Wiludjeng maupun Noryamin dimulai dengan terlebih dulu menemukan dan mengungkapkan persoalan-persoalan yang bisa muncul sebagai akibat dari kasus perkawinan antar agama yang terjadi. Menurut Wiludjeng, untuk bisa memahami latar belakang terjadinya kasus-kasus perkawinan antar agama yang terjadi di Gereja Katolik, diperlukan pula pemahaman mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi pelaksanaan janji perkawinan campur yang terjadi di Keuskupan Agung Jakarta. Dengan memahami faktor-faktor tsb, diharapkan bahwa langkah-langkah penanganan terhadap kasus-kasus perkawinan antar agama di Gereja Katolik dapat dilaksanakan secara lebih tepat dan bijaksana. Sementara itu Noryamin dalam penelitiannya mencoba menganalisa kasus perkawinan antar agama yang terjadi di daerah Jogyakarta dari sudut pandangan sosiologis. Dalam studi yang dilakukannya, Noryamin mengungkapkan gejala-gejala sosial yang mewarnai kasus-kasus perkawinan antar agama yang terjadi di Jogyakarta. Ia melihat pentingnya memahami gejala-gejala tsb dalam keseluruhan konteks kehidupan sosial masyarakat di Jogyakarta, sehingga pada akhirnya penanganan terhadap kasus perkawinan antar agama dapat memperhitungkan segala kondisi masyarakat yang ada.
Fakta menunjukkan bahwa kasus perkawinan antar agama banyak dibahas setelah dikeluarkannya UU Perkawinan no.1/1974, yang menyatakan bahwa perkawinan adalah sah bila dilakukan menurut hukum masing-masing agama/kepercayaannya (ps.2, ay. 1), dan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku (ps.2,ay.2). Rumusan dalam UU Perkawinan Nasional tsb telah memunculkan adanya tanggapan pro dan kontra yang terjadi di tengah masyarakat. Tanggapan-tanggapan tsb juga didukung oleh situasi masyarakat yang dalam kenyataannya memang tidak bisa menghindar dari terjadinya kasus-kasus perkawinan antar agama. Dalam prakteknya, pelaksanaan pasal 2 UU Perkawinan no.1/1974 tsb memang tidak sepenuhnya bisa terlaksana.
Setelah dikeluarkannya surat edaran Mendagri tg1.17 April 1989 yang menegaskan kembali mengenai pelaksanaan UU Perkawinan no.1/1974 tsb, kasus perkawinan antar agama kembali hangat dibahas, khususnya pada tahun 1992. Pendapat/tanggapan mengenai kasus tsb-pun banyak bermunculan di media-media cetak. Contohnya: pendapat dari Bismar Siregar (Kompas,18 Januari 1992) ; Sjechul Hadi Permono (Kompas, 15 Januari 1992) ; Zakiah Daradjat (Kompas, 16 Januari 1992) ; Ali Said (Kompas, 21 Januari 1992); V.Kartosiswoyo (Kompas, 20 Januari, 1992); Rudini (Kompas, 30 Januari 1992). Semua tanggapan yang diberikan umumnya didasarkan pada pemikiran hukum tertentu yang oleh para ahli dianggap sebagai hukum yang paling benar. Dalam hal ini, sebagian besar para ahli mencoba mempertanggungjawabkan pendapatnya lewat hukum yang tertulis seperti halnya aturan-aturan negara dan agama.
Kenyataan konkrit saat ini menunjukkan bahwa kasus perkawinan antar agama tsb tetap terjadi tanpa bisa dibendung. Bahkan di kelompok umat Cina Katolik paroki Mangga Besar Jakarta, kasus perkawinan antar agama tersebut memiliki jumlah yang cukup tinggi. Perkawinan antar agama yang banyak terjadi di Gereja Katolik Mangga Besar adalah perkawinan di kalangan sesama etnis Cina. Jadi, walaupun secara hukum hal tsb dipersoalkan, dalam kenyataannya kasus-kasus perkawinan antar agama di paroki Mangga Besar dapat tetap dilangsungkan lewat macam-macam jalur lain.
Fakta sehari-hari telah menunjukkan bahwa persoalan perkawinan antar agama tidak hanya diselesaikan lewat jalur hukum tertentu saja. Maka keberadaan pluralisme hukum dalam kasus-kasus perkawinan antar agama sangatlah relevan untuk dikaji. Pluralisme hukum adalah kenyataan dimana beberapa sistem hukum/sistem normatif berperanan dan berinteraksi dalam arena sosial, sehingga dalam tindakan sosial tertentu sistem-sistem tsb bisa saling mempengaruhi sesuai dengan kondisi sosial yang sedang berlangsung. Dalam konteks pluralisme hukum, konsep "hukum" tidak semata-mata dimengerti sebagai aturan yang bersifat yuridik saja. Benda-Beckmann (1990) melihat bahwa berbagai bentuk kekompleksan normatif yang ada dalam masyarakat juga bisa dilihat sebagai hukum yang berfungsi mengatur kehidupan masyarakat tsb. Sally F.Moore (1983) berpendapat bahwa yang disebut hukum adalah segala sistem normatif yang dihayati oleh seseorang/kelompok sebagai sesuatu yang mengikat serta memiliki kekuatan yang bisa memaksanya berperilaku tertentu. Jadi. berbicara tentang pluralisme hukum berarti mau terbuka terhadap segala sistem normatif yang dapat ditemukan dalam berbagai bentuk pranata hukum.
Kasus-kasus perkawinan antar agama yang terjadi di paroki Mangga Besar telah memperlihatkan bahwa dalam mengatasi kasus perkawinan antar agama yang dihadapinya, masing-masing pasangan perkawinan campuran ybs tidak semata-mata berperilaku atas dasar hukum tertentu saja (misalnya: hukum negara atau hukum agama). Hasil penelitian menunjukkan bahwa arena interaksi sosial yang paling banyak mempengaruhi kehidupan pasangan perkawinan antar agama di paroki Mangga Besar adalah lingkungan hidupnya sebagai orang-orang yang berkebudayaan Cina serta kondisi masyarakat sekitar yang mendesak pasangan yang bersangkutan untuk akhirnya memilih kemungkinan-kemungkinan yang ditawarkan dunia sosial sesuai dengan kebutuhan-kebutuhan hidup pribadinya. Dalam hal ini jenis sistem normatif yang dipilih pasangan perkawinan campuran di paroki Mangga Besar memang banyak dipengaruhi oleh arena/lapangan interaksi sosial tsb di atas.
Akhirnya hasil penelitian juga menunjukkan bahwa banyaknya kasus perkawinan antar agama yang terjadi di paroki Mangga Besar terutama sangat didukung oleh pola perkawinan yang dianut oleh umat Cina di Mangga Besar, yaitu perkawinan dengan sesama etnis Cina sendiri. Dengan pola perkawinan seperti ini kasus perkawinan antar agama ternyata tidak banyak membawa konflik. Dalam hal ini pasangan-pasangan perkawinan campuran yang ada tampaknya menyadari betul bahwa walaupun berasal dari agama yang berbeda, mereka masih memiliki nilai-nilai kebudayaan yang sama sebagai orang Cina.

 File Digital: 1

Shelf
 T1208-Liria Tjahaja.pdf :: Unduh

LOGIN required

 Metadata

No. Panggil : T-Pdf
Entri utama-Nama orang :
Entri tambahan-Nama orang :
Entri tambahan-Nama badan :
Subjek :
Penerbitan : [Place of publication not identified]: [Publisher not identified], 1997
Program Studi :
Bahasa : ind
Sumber Pengatalogan : LibUI ind rda
Tipe Konten : text
Tipe Media : computer
Tipe Carrier : online resource
Deskripsi Fisik : x, 201 pages : illustration ; 28 cm + appendix
Naskah Ringkas :
Lembaga Pemilik : Universitas Indonesia
Lokasi : Perpustakaan UI, Lantai 3
  • Ketersediaan
  • Ulasan
No. Panggil No. Barkod Ketersediaan
T-Pdf 15-17-754099633 TERSEDIA
Ulasan:
Tidak ada ulasan pada koleksi ini: 78773