ABSTRAKKehidupan masyarakat Bali mewujudkan adanya suatu organisasi sosial yang mengikat anggota masyarakat dalam suatu bentuk keterikatan pada banjar dan desa adat. Sebagai bentuk suatu penataan kehidupan yang berdasarkan pada adat dan agama, organisasi sosial ini mengikat anggotanya dalam suatu ikatan pada aktivitas kegiatan adat dan agama, yang mewujudkan pola-pola hubungan dalam bentuk interaksi, integrasi, partisipasi dan orientasi yang kuat pada unsur-unsur pembentuknya. Banjar dan desa adat kemudian menjadi ciri yang khas dari kehidupan masyarakat Bali khususnya yang beragama Hindu, baik didesa atau dikota.Konsepsi Tri Hita Karana yang menjadi dasar dari pembentukan banjar dan desa adat, mengacu pada pelaksanaan adat dan tujuan dari kehidupan beragama bagi masyarakat Bali, dan merupakan ciri dari kehidupan masyarakat dalam kesatuan adat . Konsepsi ini memberi penekanan pada terwujudnya nilai dan azas keseimbangan dalam kehidupan, untuk mencapai tujuan agama, terciptanya kedamaian, dan tercapainya kesejahteraan hidup bagi umat manusia. Hakekat dasar dari konsepsi ini adalah kesadaran manusia untuk mewujudkan azas keseimbangan dalam kehidupannya, dengan wujud pola-pola hubungan yang seimbang antara manusia dengan Tuhan-nya, dengan alam lingkungannya dan dengan sesamanya. Tiga wujud pola hubungan yang disebut dengan Parhyangan, Palemahan, Pawongan; adalah manifestasi dari kehidupan dunia dengan segala isinya yang dibedakan antara Bhuwana Agung dan Bhuwana Alit. Dengan berlandaskan pada tujuan kehidupan beragama, yaitu menyatunya Atman dengan Paramaatman, dalam suatu bentuk penciptaan hubungan yang serasi dengan nilai keseimbangan dari hubungan antar ketiga unsur tersebut pada kehidupan.Dengan menggunakan model pendekatan fungsional-struktural untuk menganalisa fungsi dari kebudayaan manusia dan fungsi sosial dari adat (Malinowski, 1944; dan Brown, 1922); maka organisasi banjar dan konsepsi Tri Hita Karana dilihat sebagai suatu reaksi budaya dari kebutuhan dasar manusia untuk menciptakan keseimbangan hubungan antara tiga unsur dasar kehidupan. Model pendekatan ini yang kemudian dikembangkan oleh Parson, 1937; dengan model teori tindakan sosial voluntaristik, dan Merton, 1968; dengan paradigma analisa fungsionalnya, memperkuat dugaan bahwa konsepsi Tri Hita Karana dan kehidupan banjar ada dalam suatu hubungan berfungsi. Adat dan kebiasaan berupacara dengan dasar agama yang diyakini, berfungsi untuk membentuk sistem sosial, yaitu banjar dan desa adat.Fungsi unsur-unsur normatif bagi terwujudnya keteraturan sosial dari landasan institutional yang dikemukakan oleh Scott, 1970; dan acuan normatif bagi terbentuknya integrasi sosial dari Landecker, 1962. Hal ini menunjuk pada model keterikatan dan orientasi pada kerabat dan adat yang ada pada pola pelaksanaan konsep Tri Hita Karana oleh anggota banjar seperti ditemukan oleh Geertz, 1959; Korn, 1960; Geertz & Geertz, 1976 dan Eisseman, 1990; walaupun dalam tulisan mereka tidak terungkap secara nyata tentang integrasi yang dimaksud. Pola keterikatan dan orientasi pada kerabat, adat dan wujud upacara persembahan (yadnya) yang dikembangkan, menunjukkan adanya pola interaksi dan integrasi masyarakat yang khas dengan berdasar pada acuan normatif dari konsepsi tadi. Model keterikatan dan orientasi ini mengembangkan kehidupan masyarakat sebagai anggota banjar untuk mewuudkan pola-pola hubungan yang serasi antara manusia dengan Tuhan, dengan alam lingkungannya dan dengan sesamanya.Dalam pelaksanaannya oleh masyarakat, konsepsi Tri Hita Karana diwujudkan dalam bentuk pola penataan pekarangan, perwujudan simbol-simbol fisik keagamaan, berpola tingkah laku berupacara dan berbagai penataan perilaku masyarakat untuk terciptanya keseimbangan dan keteraturan sosial. Pada kenyataannya, dalam kehidupan masyarakat sebagai anggota banjar dikota dimana heterogenitas masyarakat juga ikut berperan, maka berbagai aspek yang menentukan keberadaan banjar juga mempengaruhi pola pelaksanaan konsepsi tersebut. Temuan penelitian menunjukkan bahwa perbedaan status keanggotaan dalam banjar, perbedaan daerah asal, tingkat pendidikan dan jenis pekerjaan; menentukan pola tingkah laku masyarakat, pola-pola hubungan, interaksi dan integrasi sosial, dan partisipasinya pada kegiatan yang berhubungan dengan pelaksanaan konsepsi Tri Hita Karana. Kesadaran manusia akan hakekat kehidupan, tentang adanya proses penciptaan, prinsip kebersamaan, dan hakekat perbuatan dalam hubungannya dengan waktu; mengarahkan manusia pada pola kehidupan yang berusaha untuk mewujudkan pemberian nilai dan pengembangan azas keseimbangan pada setiap aspek kehidupannya. Temuan tersebut belum pernah terungkap dari tulisan-tulisan sebelumnya, khususnya pada temuan tentang bagaimana masyarakat kota mewujudan pola pelaksanaan adat dan upacara agama serta penataan lingkungan kehidupannya dalam kerangka konsepsi tentang pemberian nilai dan makna keseimbangan hidup. Perwujudan nilai dan pengembangan azas keseimbangan bagi kehidupan manusia, yang berbentuk kesadaran akan hakekat kehidupan dengan melaksanakan persembahan yadnya dan upacara oleh masyarakat sebagai anggota banjar dikota, berbeda bentuknya. Hal ini disebabkan karena adanya perbedaan persepsi dan tanggapan masyarakat terhadap status keanggotaan banjar yang berlaku ditempat tinggal mereka, yang dibedakan atas anggota banjar adat dan anggota banjar dinas. Disamping itu perbedaan perlakuan dan pelayanan pimpinan/petugas banjar, pembatasan dalam sejumlah hak dan kewajiban, serta wujud penataan lingkungan yang berbeda; menyebabkan adanya perbedaan bentuk pelaksanaan yadnya diantara sesama anggota banjar. Juga ditemukan perbedaan pola interaksi sosial, partisipasi, integrasi dan orientasi terhadap kerabat, pura, dan banjar sebagai bentuk fanatisme kelompok dilingkungan banjar dalam bentuk 'banjarisme', antara penduduk asli dari banjar dengan penduduk pendatang dari luar banjar. Kenyatan ini ditemukan pada kehidupan masyarakat sebagai anggota banjar dikota Denpasar. |