Terlibatnya laki-laki -feminis laki-laki- dalam perjuangan dan pembelaan terhadap perempuan mendapatkan tantangannya ketika beberapa kelompok feminis melakukan penolakan dan penerimaanya, dengan argumentasi yang berbeda, kelompok feminis yang menerima laki-laki sebagai pemebela perempuan beralasan bahwa tidak semua laki-laki memperlakukan perempuan buruk, dan banyak laki-laki (feminis laki-laki) yang memiliki perasaan yang lama dengan perempuan bahwa ada persoalan ketimpangan dalam relasi sosial anti laki-laki dan perempuan yang harus diperbaiki. Sementara itu perjuangan sosialisasi wacana dari gerakan perempuan mendapatkan benturannya ketika berhadapan dengan wacana keagamaan. Pesantren -yang di dalamnya terdiri dari Kiai, pengetahuan yang diproduksinya (wacana agama) dan budaya yang dihasilkan dari pengetahuan agama- sebagai basis Islam tradisional dianggap memiliki peran yang besar dalam melakukan subordinasi terhadap perempuan, namun dari beberapa kasus munculnya pembelaan terhadap perempuan justru bermula dari kelompok Islam tradisionalis atau pesantren, misalnya pernyataan bahwa perempuan boleh menjadi kepala negara. Dengan sikap tersebut pesantren menjadi penting untuk dilibatkan dalam melakukan sosialisasi wacana dan gerakan perempuan.Melihat hal tersebut, permasalahan utama penelitian ini adalah melihat gagasan KH. Husien Muhammad sebagai feminis laki-laki tentang persoalan-persoalan yang dihadapai perempuan, inti dari penelitian ini adalah, melihat gagasan-gagasan KH. Husien Muhammad sebagai ulama pesantren (Islam tradisonalis) terhadap persoalan-persoalan yang dihadapi perempuan dengan perspektif Islam terutama wacana Islam klasik, karena gagasannya KH. Husien dianggap sebagai kiai feminis dan menjadi pembuka dalam melakukan perubahan-perubahan wacana keagamaan pesantren. Analisisnya difokuskan pada gagasan-gagasan KH. Husien Muhammad sebagai ulama pesantren yang memproduksi wacana-wacana keagamaan dan aktifitasnya sebagai kiai yang melakukan pembelaan terhadap perempuan.Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif. Pengumpulan data dilakukan melalui wawancara mendalam dan observasi terhadap KH. Husien Muahammad dan gagasan-gagasannya baik dalam bentuk tulisan maupun dalam bentuk diskusi, dan studi pustaka. Juga beberapa kiai di sekitar pesantren Cirebon, dan teman-teman aktifitas Husien lainnya.Dari hasil analisis menunjukan bahwa pada awalnya Husien juga sangat resisten terhadap reinterpretasi wacana agama yang melakukan pembelaan terhadap perempuan, namun karena seringnya ia mengikuti kegiatan tentang masalah-masalah yang dihadapi perempuan gagasannya berubah menjadi pembela terhadap perempuan, bahkan dia dianggap dan dijadikan rujukan utama oleh para. aktifis perempuan dalam menyelesaikan masalah-masalah agama dan perempuan. Husien adalah laki-laki yang memahami dan merasakan ketertindasan perempuan yang dilakukan oleh tafsir agama, padahal Husain yakin dalam ajaran agama, Tuhan tidak membedakan laki-laki dan perempuan, sehingga Husien melakukan tafsir ulang terhadap teks-teks agama yang melakukan subordinasi terhadap perempuan.Diskusi teoritik yang dihasilkan adalah (1) KH. Husien adalah feminis laki-laki yang sangat diperlukan atau sekutu yang efektif oleh kelompok feminis lainnya, karena Husien melakukan perjuangan pembelaan terhadap perempuan dari perepektif yang jarang orang menguasainya, malah kadang agama menjadi legitimasi untuk mensubordinasi perempuan terus menerus. (2) Husien sebagai ulama adalah alat sosialisasi wacana jender bagi masyarakat Islam tradisonalis yang masih memegang teguh budaya hormat pada guru atau kiai, karena Husien adalah kiai maka wacana yang diusung Husien diharapkan akan menyebar ke masyarakat pesantren secara luas. (3) Reinterpretasi terhadap teks-teks agama yang dilakukan Husien tidak akan terlalu besar mengundang kritik atau resisiten karena Husien dianggap memiliki legitimasi dalam melakukan reinterpretasi terhadap teks.Rekomendasi kebijakan yang diusulkan adalah: (1) Laki-laki tidak selalu menjadi musuh utama perempuan bahkan kadang menjadi sekutu paling utama dalam melakukan perjuangan pembelaan terhadap perempuan.(2) Aktifis demokrasi dan jender kebanyakan berlatar belakang pendidikan sekuler yang lebih mengandalkan pada alat analisis sosial dan filsafat atau berlatar belakang pendidikan agama tetapi tidak memiliki otoritas keagamaan yang diakui oleh masyarakat, maka sangat penting seorang yang memiliki otoritas keagamaan melakukan interpretasi terhadap teks-teks agama untuk melakukan pembelaan terhadap perempuan dengan legitimasi teks agama pula. (3) Aktifis perempuan perlu mendorong gagasan keadilan dan kesetaraan terhadap perempuan masuk ke dalam masyarakat secara luas dengan menggunakan berbagai macam strategi, tidak terkecuali pesantren dengan mengubah kesadaran mereka dengan gagasan-gagasan Islam dan jender. (4) Sehubungan ada kesadaran bahwa agama menjadi alat legitimasi subordinasi perempuan -terutama di pesantren- maka dibutuhkan argumentasi-argumentasi keagamaan yang melawan pemahaman keagamaan dengan disesuaikan pengetahuan dan kemampuan masyarakat pesantren. |