:: UI - Tesis Membership :: Kembali

UI - Tesis Membership :: Kembali

Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI) dalam mempertahankan kedaulatan RI 1945-1949

W. R. Hendra Saputra; Leirissa, Richard Zakarias, supervisor; Wardiningsih, examiner; Anhar Gonggong, examiner; Ayatrohaedi, 1939-2006, examiner ([Publisher not identified] , 1997)

 Abstrak

ABSTRAK
Tesis ini bertujuan untuk mengetahui peran Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI) dalam perjuangan mempertahankan kedaulatan RI 1945-1949. Permasalahan yang hendak dianalisis adalah apakah dalam menjalankan pemerintahan dan perjuangan mempertahankan kedaulatan Republik Indonesia PDRI dapat diterima dan didukung oleh TNI, birokrasi pemerintahan, partai politik dan luar negeri?
Permasalahan tersebut dianalisis dengan pendekatan ilmu pemerintahan. Sumber sejarah yang digunakan adalah arsip-arsip PDRI, wawancara dengan pelaku yang masih hidup, biografi tokoh-tokoh yang terlibat, serta buku-buku sejarah yang membicarakan perjuangan revolusi kemerdekaan Indonesia.
Sebelum pemerintah pusat ditawan oleh Belanda saat Agresi Militer Kedua tanggal 19 Desember 1948, Presiden telah mengumumkan pemberian mandat kepada Mr Syafruddin Prawiranegara, untuk membentuk Pemerintahan Darurat, jika pemerintah pusat saat itu tidak dapat lagi meneruskan kewajibannya. Syafruddin yang berada di Bukittinggi ketika serangan Belanda dilancarkan, tidak mengetahui adanya mandat tersebut. Hal ini disebabkan karena terputusnya jalur komunikasi antara Yogyakarta dan Bukittinggi akibat serangan Belanda terhadap kedua kota itu. Setelah mengetahui dengan pasti Presiden beserta pimpinan pemerintahan lainnya ditawan, bersama pemimpin sipil dan militer di Sumatra Barat, Syafruddin mendirikan Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI) tanggal 22 Desember 1945.
Jadi dalam proses berdirinya PDRI, terdapat titik temu antara legalitas pusat dengan inisiatif lokal. Hal ini menunjukkan terdapatnya harapan umum kepada PDRI untuk meneruskan pemerintahan dan perjuangan mengahadapi agresi Belanda yang mengancam eksistensi negara dengan menawan kepala negara dan pimpinan pemerintahan pusat. Dengan adanya harapan umum ini kepada PDRI, maka sebaliknya harapan PDRI untuk mendapatkan dukungan penuh dari segenap kekuatan rakyat untuk meneruskan pemerintahan dan perjuangan menghadapi Belanda dengan mudah dapat diperoleh.
Dari fakta-fakta sejarah didapatkan bahwa setelah mengetahui PDRI berdiri di Sumatra, pihak TNI yang telah memulai perjuangan gerilya di Jawa dibawah Panglima Besar Jendral Sudirman, segera menyesuaikan diri, dengan "bersatu paham, tekad, sikap, dan tindak dengan PDRI." PDRI pun dapat mengkonsolidasikan pemerintahan, dengan membentuk Pemerintahan Militer yang menyatukan kekuatan sipil dan militer untuk memperkuat pertahanan menghadapi Belanda. Pemerintahan Militer yang berjalan secara mobil itu memiliki dua corak kepemimpinan: di Jawa dipimpin oleh pejabat militer dengan membawahi orang sipil, sedangkan di Sumatra pejabat sipil diberi kedudukan militer dengan membawahi orang militer.
Dengan sistem Pemerintahan Militer yang memiliki hirarki dari atas sampai ke bawah menurut struktur pemerintahan sebelumnya, rakyat yang sudah dihadapkan pada situasi perang pun dapat dimobilisir untuk menghadapi Belanda. Dukungan rakyat kongkrit -bukan rakyat abstrak sebagaimana biasa diatasnamakan oleh partai politik karena peran partai-partai politik tidak tampak pada saat itu - langsung didapat dari partsipasi rakyat sendiri dalam perjuangan gerilya menghadapi Belanda, baik di garis depan dengan ikut memanggul senjata, maupun di belakang dengan menyediakan perbekalan logistik.
Dengan berdirinya PDRI, perjuangan di luar negeri pun dapat diteruskan. Melalui Konferensi Asia untuk Indonesia di New Delhi yang diprakarsai India, yang diikuti oleh Menteri Luar Negeri PDRI beserta perwakilan-perwakilan RI di berbagai negara, berhasil disampaikan resolusi kepada Dewan Kemanan PBB untuk segera menyelesaikan persoalan Indonesia-Belanda. Dewan Kemanan PBB lalu mengeluarkan resolusi yang sesuai dengan tuntutan Konferensi Asia untuk Indonesia. Belanda yang tidak langsung mematuhi resolusi Dewan Keamanan PBB, akhirnya karena tekanan Amerika di satu pihak, dan karena telah merasa kewalahan menghadapi serangan balik Republik di pihak lain, memprakarsai perundingan.
Dalam perundingan itu Belanda mengajukan syarat hanya mau berunding dengan pemimpin Republik yang ditawan di Bangka, bukan dengan PDRI. Di sinilah muncul dilema di kalangan pemimpin-Republik, dalam memutuskan yang berhak mewakili Indonesia dalam perundingan: pemerintah yang sah (PDRI) atau pemimpin yang ditawan? Karena pertimbangan dukungan dari Sekutu Barat. terutama Amerika, pemimpin yang ditawan di Bangka lalu melaksanakan perundingan, walapun ada keberatan dari pihak PDRI dan TNI, karena alasan legalitas di satu pihak dan karena pertimbangan strategi gerilya yang hampir mencapai kemenangan di pihak lain. Perundingan itu menghasilkan Pernyataan Roem Royen berhasil mengembalikan pemimpin yang ditawan ke Yogyakarta serta disepakatinya rencana Konferensi Meja Bundar (KMB). Selanjutnya, dalam sidang kabinet luar biasa, mandat PDRI dikembalikan, dan Kabinet Hatta II terbentuk. Tidak lama kemudian melalui KMB di Den Haag, kedaulatan RI dipulihkan tanggal 22 Desember 1949.
Dari kajian ini dapat disimpulkan, bahwa pemerintahan dan perjuangan PDRI yang berlangsung sekitar tujuh bulan, dan mendapat dukung dari TNI, birokrasi pemerintahan, serta partisipasi rakyat, dan luar negeri (negara-negara Asia) berperan penting dalam mempertahankan eksistensi negara RI di satu pihak, dan menghantarkan negara RI ke pintu gerbang pemulihan kedaulatan di pihak lain, walaupun bukan mereka yang menariknya ke dalam gerbang pemulihan kedaulatan itu, melainkan "kelompok diplomasi? yang didukung oleh, terutama, Amerika.

ABSTRACT
Indonesia Republic Emergency Government in Maintaning Indonesian Sovereignity 1945-1949This thesis aims at knowing the role of Indonesia Republic Emergency Government (PDRI, Pemerintahan Darurat Republik Indonesia) in the struggle for reaching Indonesian Sovereignty 1945-1949. The problem to be analysed is whether PDRI was accepted and supported by the army, governmental bureaucraty, political parties, and foreign nations?
That problem will be analyzed thought governmental science approach. The historical sources are PDRI?s archives, interview with some figures involved, the biography of the figurs, many books about Indonesian revolution, etc.
Before the Central Government was captured by the Dutch in its Second Military Action on December 19, 1948, the Indonesian President has given a mandate to Mr Syafruddin Prawiranegara to establish the Emergency Government if the Central Government failed to perform its duties. Mr Syafruddin who was in Bukittinggi at that time did not know about the mandate to himself because of the broken communicative channel between Yogayakarta and Bukttinggi as a result of Dutch bombarding to both city. After receiving certainty about the interning President and other Central Govermnment leaders, Syafruddin together with the military and civilian leaders of West Sumatra established the Indonesia Republic Emergency Government on December 19, 1948.
Thus in the process of PDRI establishment, there was affinity between the central legality and the local initiative. That shows, in one side, the existence of general expectation toward PDRI to continue the rules and the struggle against Dutch aggression that treat the state existence by capturing the head of state and government. In the other side, that general expectation facilitated PDRI to receive supporting from all people powers for its struggle against Dutch aggression.
It is received from historical facts that after knowing the PDRI establishment in Sumatra the army that already waged guerrilla warfare in Java under General Sudirman soon adjusted it self by saying "the uniting view, will, attitude, and action with PDRI" And so PDRI could consolidate itself by creating the Military Government that united military and civilian powers to strengthen the defense against Dutch aggression. The Military Government that run mobilically had two leadership types: while in Java it was leaded by the military officers that supervise the civilian leaders, in Sumatra it guided by the civilian leaders that subordinate the military officers.
Trough the system of Military Government with hierarchy from top to bottom, the people that already faced the warfare situation could be mobilized to fight against the Dutch. The support of the real people - not the abstract people as usually claimed by the political parties, because of the role of political parties has not be seen any more since the Second Military Action - directly gained from the grasroot level thought the participation of the people powers in the battle against the Dutch at the front line as well as in providing the logistic support at the back line.
With the establishment of PDRI, the struggle from abroad could be launched by Indonesian diplomats. The Asian Conference for Indonesia at New Delhi initiated by India that followed by Indonesian representatives from various states has succeed to issue the resolution to United Nation Security Council to resolve the Indonesia-Dutch conflict. The Security Council soon issued the resolution according to that Asian Conference resolution. The Dutch that initially did not obey that resolution was forced to receive it under the pressure of America and after it was frustrated by the counter attack of Indonesian army. The Dutch soon offered a conference to solve the conflict to Indonesia.
In that conference the Dutch offered the prerequirement that it only wants to talk with the Indonesian leaders interned in Bangka islands, not with the PDRI leaders. The problems arised here among the Indonesians leaders to determine who has the right to represent Indonesia in that conference: the legal government (PDRI) or the interned leaders? Considering the Allied supports, the interned leaders soon accepted the Dutch prerequirement and followed the conference althought the army and PDRI had objections taking into account its government legality in one side and its near winning in the guerilla warfare strategy in other side. The conference that generated Roem-Royen Statement succeeded to time the interned leaders back to Yogyakarta to agree the future Round Table Conference.
Furthermore in the first extraordinary cabinets meeting the PDRI mandate was turned back and Hatta Cabinet it was created. Soon after the Round Table Conference in The Haque, the Indonesian sovereignty was restored on December 22, 1949.
The conclusion can be drawn from this study that the government and struggle of PDRI having gone on proximally seventh months and received support from the army, governmental bureaucracy, people powers, and foreign nations (especially the Asian nations) had played the important role in maintaining the existence of Indonesian state in one side and in bringing it to a destination to the gate of sovereignty restoration in other side, although it was not them but the "diplomatic group" that pulled it inside.

 File Digital: 1

Shelf
 T9034- Wr Hendra Saputra.pdf :: Unduh

LOGIN required

 Metadata

No. Panggil : T-Pdf
Entri utama-Nama orang :
Entri tambahan-Nama orang :
Entri tambahan-Nama badan :
Subjek :
Penerbitan : [Place of publication not identified]: [Publisher not identified], 1997
Program Studi :
Bahasa : ind
Sumber Pengatalogan : LibUI ind rda
Tipe Konten : text
Tipe Media : computer
Tipe Carrier : online resources
Deskripsi Fisik : xiii, 158 pages ; 29 cm + appendix
Naskah Ringkas :
Lembaga Pemilik : Universitas Indonesia
Lokasi : Perpustakaan UI, Lantai 3
  • Ketersediaan
  • Ulasan
No. Panggil No. Barkod Ketersediaan
T-Pdf 15-17-902516490 TERSEDIA
Ulasan:
Tidak ada ulasan pada koleksi ini: 80171