:: UI - Tesis Membership :: Kembali

UI - Tesis Membership :: Kembali

Konversi hutan dan konservasi lembu putih di Desa Taro Bali: studi tentang adaptasi penduduk di sekitar kawasan hutan

Ida Bagus Gde Pujaastawa; Boedhihartono, supervisor; Iwan Tjitradjaja, supervisor; S. Boedhisantoso, examiner; Meutia Farida Hatta Swasono, examiner; Anto Achadiyat, examiner (Universitas Indonesia, 1996)

 Abstrak

Tema kajian ekologi budaya umumnya mencoba menyimak hubungan antara fenomena-fenomena budaya dengan masalah-masalah lingkungan. Tidak sedikit dari kajian tersebut mengungkap tentang peran positif kebudayaan-kebudayaan tradisional bagi kelestarian lingkungan. Dalam berbagai sistem kepercayaan tradisional misalnya, kerap terungkap bentuk-bentuk kearifan ekologi yang berperan sebagai mekanisme kontrol yang efektif terhadap perilaku pemanfaatan lingkungan. Namun demikian, kepercayaan tradisional yang telah lama mengakar ada kalanya tidak sepenuhnya dapat mencegah munculnya perilaku-perilaku yang dapat mengganggu kelestarian lingkungan. Munculnya tindakan konversi yang dilakukan oleh penduduk Dusun Taro Kaja terhadap Hutan Taro, merupakan kasus yang diharapkan cukup menarik untuk ditelaah di sini.
Kawasan Hutan Taro dan lembu putih sebagai satwa penghuninya merupakan satu kesatuan ekosistem alami yang sangat terjaga kelestariannya. Penduduk setempat telah sejak lama memperlakukannya dengan sangat hormat dan pantang melakukan tindakan-tindakan yang dapat mengganggu kelestariannya. Menurut kepercayaan mereka, kawasan hutan dan lembu putih tersebut diyakini sebagai suatu sistem lingkungan yang suci dan keramat milik dewa-dewa yang melindungi kehidupan mereka. Meskipun demikian, keberadaan hutan yang sekaligus merupakan habitat lembu putih itu pada akhirnya tak terhindar dari tindakan konversi yang justru dilakukan oleh para pendukung kepercayaan tersebut. Tindakan tersebut mengakibatkan berubahnya ekosistem alami Hutan Taro menjadi lahan pertanian (agroekosistem). Sedangkan lembu putih yang sebelumnya hidup secara liar kemudian dipelihara dalam sebuah kandang kolektif dengan sistem kereman dan keberadaannya tetap diyakini sebagai binatang suci milik dewa. Namun, berbeda dengan pemeliharaan ternak sapi umunya, berbagai macam pantangan yang dilandasi oleh kepercayaan terhadap binatang suci itu mengakibatkan tidak nampak adanya manfaat nyata yang dapat diperoleh secara langsung.
Masalah tersebut akan dicoba dipahami dengan menjawab sejumlah pertanyaan yang diformulasikan sebagai berikut : (1) Mengapa penduduk Dusun Taro Kaja berani melakukan tindakan konversi terhadap Hutan Taro, padahal sejak lama mereka telah menjaga keberadaannya sebagai suatu ekosistem alami yang dianggap suci dan keramat?; (2) Bagaimana proses dan mekanisme berlangsungnya konversi Hutan Taro?; (3) Mengapa penduduk masih mempertahankan keberadaan lembu putih sebagai binatang suci dan memeliharanya dengan sistem kereman, padahal tidak nampak manfaat-manfaat nyata yang dapat diperoleh secara langsung sebagaimana dalam pemeliharaan ternak sapi pada umumnya?.
Masalah tersebut dijelaskan dengan berpijak pada pendekatan materialisme budaya yang cenderung melihat kondisi-kondisi material (infrastruktur) seperti teknologi, ekonomi, demografi, dan ekologi sebagai titik berangkat dalam menjelaskan berbagai fenomena sosial budaya. Strategi teorotis materialisme budaya menjelaskan bahwa perubahan-perubahan sosial budaya merupakan respon adaptif terhadap kondisi-kondisi infrastruktur yang menopang keberadaan suatu sistem sosial-budaya. Hal tersebut sesuai dengan konsep desa - kala - patra dan desa mawacara yang menyatakan variasi dan perubahan dalam berbagai aspek kehidupan manusia sangat terkait dengan kondisi zaman dan lingkungan yang dihadapinya. Sedangkan mengenai praktik kepercayaan yang terpelihara dalam masyarakat dapat dipandang sebagai bentuk-bentuk respon adaptif terhadap kondisi-kondisi ekologi dan ekonomi. Terlepas dari pandangan secara normatif, hal tersebut mengandung logika rasionalitas yang tersembunyi dan tidak disadari oleh sebagian besar pendukungnya.
Penelitian ini menggunakan metode kualitatif, di mana pengumpulan data lebih banyak dilakukan dengan pengamatan dan wawancara yang dilakukan secara langsung dalam kancah penelitian.
Kajian ini melahirkan temuan dengan simpulan sebagai berikut:
Meskipun keberadaan Hutan Taro dengan satwa lembu putihnya oleh penduduk setempat diyakini sebagai ekosistem yang suci dan keramat, namun keyakinan tersebut tidak sepenuhnya mampu mencegah munculnya perilaku-perilaku yang dapat mengganggu kelestariannya. Meningkatnya tekanan penduduk terhadap lahan dan teknologi bercocok tanam yang masih bersifat tradisional, merupakan faktor-faktor relevan yang melatarbelakangi munculnya tindakan konversi hutan. Jumlah penduduk yang semakin meningkat telah mengakibatkan terjadinya involusi dalam bidang pertanian dan fragmentasi tanah secara terselubung. Sementara itu, teknologi bercocok tanam yang diwarisi secara turun-temurun tidak mengajarkan mereka tentang bagaimana meningkatkan hasil produksi melalui bercocok tanam secara intensif. Hal tersebut mengakibatkan mereka terbelenggu dalam kondisi-kondisi kemiskinan. Kenyataan-kenyataan tersebut akhirnya mendorong mereka untuk memberanikan diri mengalihfungsikan Hutan Taro menjadi tanah tegalan, walaupun tindakan tersebut diyakini penuh dengan resiko dan ketidakpastian. Di samping itu, mencuatnya isu land reform disertai agitasi-agitasi politik yang bertemakan "tanah untuk petani" merupakan faktor yang sangat mendukung bagi terwujudnya gagasan konversi.
Sementara di sisi lain, keberadaan lembu putih tetap diyakini sebagai binatang suci dan keramat, serta dijaga kelestariannya dengan pemeliharaan sistem kereman. Terlepas dari pandangan secara normatif, hal tersebut sesungguhnya mengandung sejumlah manfaat, yaitu : (1) mengatur dan melegitimasi pemanfaatan faktor-faktor produksi, khususnya tanah pertanian; (2) melindungi tanaman budidaya dari kemungkinan serangan mamalia besar khususnya satwa lembu putih; (3) mencegah terjadinya kontak seksual antara lembu putih dengan sapi-sapi lokal peliharaan penduduk, sehingga kemurnian genetik masing-masing jenis tetap terjaga; dan (4) keberadaan lembu putih sebagai satwa endemik disertai dengan berbagai bentuk tradisi yang dilandasi kepercayaan terhadap lembu putih sebagai binatang suci, cukup potensial bagi pengembangan pariwisata setempat.

 File Digital: 1

Shelf
 T5597-Ida Bagus Gde Pujaastawa.pdf :: Unduh

LOGIN required

 Metadata

No. Panggil : T-Pdf
Entri utama-Nama orang :
Entri tambahan-Nama orang :
Entri tambahan-Nama badan :
Subjek :
Penerbitan : Depok: Universitas Indonesia, 1996
Program Studi :
Bahasa : ind
Sumber Pengatalogan : LibUI ind rda
Tipe Konten : text
Tipe Media : computer
Tipe Carrier : online resource
Deskripsi Fisik : xiii, 261 pages : illustration ; 30 cm. + appendix
Naskah Ringkas :
Lembaga Pemilik : Universitas Indonesia
Lokasi : Perpustakaan UI, Lantai 3
  • Ketersediaan
  • Ulasan
No. Panggil No. Barkod Ketersediaan
T-Pdf 15-18-059624099 TERSEDIA
Ulasan:
Tidak ada ulasan pada koleksi ini: 81154