Kecenderungan iklim di daerah perkotaan yang sering diperbincangkan akhir-akhir ini adalah fenomena kelebihan panas yang tidak merata atau disebut Kutub Panas Kota(Urban Heat Island). Telah banyak dikaji berbagai aspek dalam Kutub Panas Kota di berbagai negara, namun hasil penelitian di kota tropik masih jarang ditemukan. Pengaruh langsung dari peningkatan suhu udara terhadap kehidupan manusia adalah terganggunya mekanisme pengeluaran panas tubuh. Faktor utama yang menyebabkan terjadinya Kutub Panas Kota adalah sifat fisik permukaan kota dan aktivitas di dalamnya. Terkonsentrasinya penduduk di kota merupakan salah satu faktor pemicu terbentuknya Kutub Panas Kota. Faktor lainnya, pertama, absorpsi sinar matahari di perkotaan lebih besar daripada di pedesaan. Kedua, evapotranspirasi di perkotaan lebih kecil daripada di pedesaan. Ketiga, kurangnya variasi pergerakan angin dekat permukaan tanah di perkotaan. Keempat, panas buatan dan pencemaran di perkotaan menambah besarnya panas yang dikandungnya. Kota Jakarta, hingga saat ini, masih mempunyai daya tarik bagi masyarakat Indonesia untuk berusaha dan bermukim di Jakarta. Akibatnya, pertumbuhan penduduk Jakarta masih melaju dengan pusat. Daya tarik tersebut adalah fasilitas dan kegiatan ekonomi yang terus berkembang di Jakarta. Konsekuensi yang timbul adalah intensitas penggunaan lahan kota yang tinggi, sehingga mengurangi jatah Ruang Terbuka Hijau (RTH). Sementara itu pembangunan kota Jakarta saat ini belum merata sehingga permukaannya sangat heterogen. Dengan tujuan memberikan gambaran mengenai Kutub Panas Kota di Jakarta, pengaruh pusat kegiatan ekonomi dan fasilitasnya serta pengaruh pola penggunaan tanah terhadap suhu udara mikro, maka penelitian dasar ini dilaksanakan. Gambaran tersebut diperoleh dari profil suhu udara mikro di 46 plot sampel. Selain memberikan manfaat akademis, penelitian ini diharapkan mampu memberikan gambaran kondisi kritis dan faktor strategis yang harus ditangani untuk mengeiiminasi degradasi iklim mikro di Jakarta. Penelitian menekankan suhu udara setinggi spa yang oleh para ahli iklim tersebut disebut Urban Canopy Layer. Penelitian ini sangat terbatas, baik dalam lingkup ruang maupun waktu. Jangka waktu penelitian terpaksa singkat, karena datangnya musim hujan yang terlalu dini. Penelitian ini bersifat deskriptif-eksploratif dan menggunakan rancangan non eksperimental-deskriptif dengan studi Time series di lapangan. Time series berjumlah 9 periode, masing-masing berinterval 2 jam dimulai dari periode T (pukul 13.00-15.00) hingga periode IX (pukul 05.00-07.00). Variabel terikat dalam penelitian ini adalah suhu udara, kelembaban udara, arah angin dan keadaan cuaca, sedangkan variabel bebasnya adalah pola penggunaan tanah (lokasi pengukuran) dan waktu (periode pengukuran) Hasil pengujian hipotesis menyimpulkan hal-hal sebagai berikut: 1. Profil suhu udara di Jakarta menunjukkan nilai suhu udara yang tertinggi di daerah Pusat Kegiatan Ekonomi (PKE)(Central Business District) pada periode pukul 13.00-15.00 (Hipotesis 1 terbukti). 2. Profil suhu udara di Jakarta pads periode pukul 13.00-15.00 menunjukkan adanya pengaruh jenis penggunaan tanah, vegetasi dan kerapatan bangunan terhadap suhu udara (Hipotesis 2 terbukti). 3. Selisih suhu udara maksimum-minimum harian di daerah permukaan alamiah lebih rendah daripada di permukaan yang diperkeras (Hipotesis 3 terbukti). 4. 5elisih suhu udara maksimum-minimum di Jakarta tidak meningkat secara progresif dani arah pantai (Utara) ke pedalaman (Pusat) (Hipotesis 4 tidak terbukti). 5. Isoterm di wilayah kota yang tidak terbangun secara merata seperti Jakarta, membentuk kutub-kutub panas kota (lebih dari satu kutub. Selain hasil pengujian hipotesis tersebut, dari penelitian ini diperoleh hasil lain: 1. Suhu udara maksimum di 46 lokasi pengukuran tidak selalu terjadi pada periods pengukuran I (pukul 13.00-15.00). 2. Elemen topografi dan aktivitas kota yang mempengaruhi terbentuknya Kutub Panas Kota adalah: a. Pengaruh sifat fisik materi permukaan kota terhadap proses pertukaran panas. b. Pengaruh konsentrasi pencemar di udara terhadap proses pertukaran panas. c. Pengaruh sedikitnya proses evaporasi dan evapotranspirasi terhadap mekanisme pengurangan panas. d. Produksi panas oleh aktivitas manusia di dalam kota. 3. Bentuk dan intensitas Kutub Panas Kota di Jakarta bervariasi menurut periods pengukuran (waktu) dan lokasi pengukuran (ruang). 4. Waktu yang baik untuk mengamati Kutub Panas Kota di Jakarta, menurut hasil penelitian ini adalah pukul 23.00-01.00. Dengan demikian, waktu yang direkomendasikan oleh Sani {1987) dan Kingham (1969) yaitu pukul 22.00-23.00 (dalam Sani 1987: 258), tidak sepenuhnya diterima oleh kota Jakarta. Hipotesis 4 tidak terbukti, dapat disebabkan oleh hal-hal yang tidak terliput dalam penelitian. Atau dapat pula karena perbedaan iklim mikro yang disebabkan oleh faktor lain. Waktu penelitian yang dilaksanakan pada musim peralihan (musim panas-musim hujan) dan lama penelitian satu minggu dapat pula menjadi penyebab. Untuk memastikan apakah hipotesis ditolak atau tidak, perlu pengkajian lebih lanjut, untuk menghindari kesalahan dalam pengambilan keputusan jenis alfa. |