:: UI - Disertasi Membership :: Kembali

UI - Disertasi Membership :: Kembali

Wewenang pemerintahan dalam penataan ruang (suatu model pendekatan sistem)

Asep Warlan Yusuf; Koesnadi Hardjasoemantri, promotor; Bagir Manan, co-promotor; Kriekhoff, Valerine Jaqueline Leanore, co-promotor; Sri Soemantri Martosoewignjo, examiner; Ateng Syafrudin, examiner; Lotulung, Paulus E., examiner; Budhy Tjahjati S. Soegijoko, examiner (Universitas Indonesia, 2002)

 Abstrak

ABSTRAK
Ruang pada dasarnya tidak bertambah, namun kebutuhan masyarakat akan ruang dalam jangka dekat maupun jangka panjang akan semakin tinggi. Dengan demikian apabila tidak dikendalikan oleh dan melalui hukum sudah dapat dipastikan akan berdampak negatif terhadap keberlanjutan sumber daya alam sebagai sumber kehidupan. Namun produk hukum yang mengatur kegiatan penataan ruang itu masih ?cerai berai" dan sangat kuat menonjolkan kepentingan masing-masing sektor, sehingga tidak mempertunjukkan adanya kesatuan sistem pengelolaan yang terpadu. Untuk membangun satu kesatuan sistem perundang-undangan di bidang penataan ruang sebagaimana yang diamanatkan oleh UU No. 24/1992 tentang Penataan Ruang, maka yang utama harus dilakukan adalah mengamandemen Pasal 33 Ayat (3) UUD 1945. Selanjutnya menerbitkan ketetapan MPR yang memerintahkan kepada DPR dan Presiden untuk melakukan harmonisasi dan menterpadukan penyusunan peraturan perundang-undangan yang berkenaan dengan pengelolaan sumber daya alam (seperi kehutanan, pertambangan, pertanahan), pengelolaan lingkungan hidup, penyelenggaraan pemerintahan daerah, dan penataan ruang.
Adapun materi yang harus diharmonisasikan dan diterpadukan dalam satu kesatuan sistem pengelolaan sumber daya alam, lingkungan hidup, dan penatan ruang itu antara lain menyangkut pertama arah kebijakan, yang meliputi a) asas tanggung jawab negara, dengan menempatkan posisi pemerintah sebagai regulator dan sekaligus pengayom, yang memberikan jaminan keadilan, kepastian dan perlindungan hukum; b) memegang teguh asas keberlanjutan (sutainability); c) mengatur secara adil dan merata terhadap penggunaan asas manfaat ekonomi dan sosial yang dilandasi oleh kepentingan ekotogi; dan d) digunakannya asas subsidiaritas yang menitik beratkan pada desentralisasi yang demokratis. Kedua, substansi yang menterpadukan secara serasi kegiatan perencanan, pemanfaatan, dan pengendalian pemanfaatan ruang dan lingkungan kedalam satu sistem pengelolaan Sumer daya alam. Ketiga penguatan kelembagaan dan prosedur, yang menekankan pada koordinasi dan kerja sama antarinstansi dan antardaerah. Keempat menyangkut aspek keterpaduan dalam penegakan hukum dan pengembangan- budaya hukum.
Dalam era otonomi daerah dewasa ini, maka masalah wewenang pemerintahan dalam penataan ruang ini menjadi sorotan utama yang harus segera ditegaskan dalam peraturan perundang-undangan. Isu tentang wewenang pemerintahan ini pada dasarnya berkenaan dengan pembagian wewenang, tugas, dan tanggung jawab antara Pusat dan Daerah dalam bidang penataan ruang. Secara sederhana, ibarat membangun rumah, maka tugas Pemerintah Pusat adalah membangun fundasi yang mampu mengikat dan mempersatukan ruang wilayah nasional dengan memperhatikan keanekaragaman potensi dan kepentingan daerah. Selanjutnya daerah harus membangun ruang di atas fundasi tersebut sesuai dengan kebutuhan, kemampuan, dan daya dukung yang ada pada daerah masing-masing.

ABSTRACT
Even if society's demand for space in the short and long run is ever increasing, it is an indisputable fact that space in itself cannot be expanded. Society's development in fact is limited by available space. Consequently, a viable spatial planning law is a conditio sine qua non to guarantee sustainable use of natural resources. Notwithstanding that, the existing spatial plan or utilization legal system is still in disarray, not showing cohesiveness, as it reflects myriad, most often than not conflicting, interest of different state departments. In short, taken into consideration the existing law on spatial planning (Act No. 2411992), the result is sectoral and non-integrative spatial plan inhibiting sustainable development. The obvious solution would be amending Art. 33 par. 3 of the Indonesian Constitution of 1945 which grants absolute power on the State in managing natural resources. The next step would be for the General Consultative Assembly, the highest State organ, to decree that the parliament and government should do their best effort in harmonizing the existing law and policy concerning natural resource management (forestry, mining, agriculture), the environment, regional autonomy and spatial planning.
Such harmonization effort should be performed and actuated with the primary purpose of creating an integrated system of natural resource management, (protection and preservation of the) living environment and spatial planning. At first it should concern basic principles of policy, inter alia, comprising of: a. state responsibility principle, placing the government both as regulator and protector rendering justice, legal protection and certainty; b. sustainability principle; c. balancing of economic and social value principle with ecological concerns; and d. the implementation of subsidiarity principle focussing on democratic decentralization. Secondly, it should focus on creating an integrated natural resource management program combining spatial planning with environmental (ecological) concerns. Thirdly, institutional capacity building with primary focus on establishing a viable coordination and cooperation system between regional governments and between different government institutions. Fourthly and lastly it should concern creating an integrated approach to law enforcement and legal culture development.
Given the trend to grant regional governments greater autonomy, the law on spatial planning must address all problems related to governmental authority in the field of spatial planning and utilization. This issue relates basically to distribution of authority, task and responsibilities between the central government and regional autonomous government. Put simplistically, it is analogous to building a foundation on which national spatial planning could be develop taking into consideration the diversity of each regional government's capacity and interest. Based on this solid foundation, each region must develop and actuate its own spatial planning and programs according to its own capabilities and last but not least the region environment carrying capacity.

 File Digital: 1

Shelf
 Wewenang pemerintahan-Full text (D 518).pdf :: Unduh

LOGIN required

 Metadata

No. Panggil : D518
Entri utama-Nama orang :
Entri tambahan-Nama orang :
Entri tambahan-Nama badan :
Subjek :
Penerbitan : Depok: Universitas Indonesia, 2002
Program Studi :
Bahasa : ind
Sumber Pengatalogan : LibUI ind rda
Tipe Konten : text
Tipe Media : unmediated ; computer
Tipe Carrier : volume ; online resource
Deskripsi Fisik : iii, 403 pages
Naskah Ringkas :
Lembaga Pemilik : Universitas Indonesia
Lokasi : Perpustakaan UI, Lantai 3
  • Ketersediaan
  • Ulasan
No. Panggil No. Barkod Ketersediaan
D518 07-18-638759586 TERSEDIA
Ulasan:
Tidak ada ulasan pada koleksi ini: 82360