:: UI - Tesis Membership :: Kembali

UI - Tesis Membership :: Kembali

Dampak protokol Kyoto melalui clean development mechanism pada sektor kehutanan terhadap perekonomian Indonesia pendekatan sistim neraca sosial ekonomi

Danang Kuncara Sakti; Widyono Soetjipto, supervisor (Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2005)

 Abstrak

BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Proses degradasi sumberdaya hutan dalam dua dekade ini telah menimbulkan dampak yang cukup luas, yang menyentuh aspek lingkungan, ekonomi, kelembagaan, dan juga sosial-politik. Kerusakan telah terjadi di semua kawasan hutan sebagai akibat dari lemahnya penegakan hukum, pembukaan hutan untuk keperluan pembangunan lain (pertambangan, dan industri), perambahan, kebakaran hutan, lemahnya kesadaran dan perhatian terhadap kelestarian ekosistem DAS, serta kurangnya upaya reboisasi yang dilakukan oleh pemerintah dan pengguna hutan lainnya.
Berdasarkan hasil analisis data RePPProt dan data Inventarisasi Hutan Nasional (NFI) tahun 1985-1997 diperoleh angka deforestasi sebesar 22,46 juta ha atau laju deforestasi nasional per tahun sebesar 1.8 juta ha/tahun. Deforestasi terbesar terjadi di Propinsi Sumatera Selatan seluas 2,3 juta ha atau sebesar 65 % dari luas hutannya pada tahun 1985. Kemudian secara berturut-turut di Propinsi Kalimantan Selatan, Lampung dan Jambi. Namun demikian deforestasi terluas terjadi di Pulau Kalimantan seluas 10,3 juta ha, yaitu di Propinsi Kaltim 4,4 juta ha, Propinsi Kalteng 3,1 juta ha, Propinsi Kalbar 2,0 juta ha dan Propinsi Kalsel seluas 0,8 juta ha. Kontribusi sektor kehutanan dan perubahan lahan terutama disebabkan oleh tingginya laju kerusakan hutan di Indonesia.
Laju kerusakan hutan di Indonesia sesudah masa reformasi justru lebih cepat dibandingkan dengan sebelumnya. Parahnya kondisi hutan Indonesia diperlihatkan oleh hasil penafsiran citra landsat tahun 2000 yang menunjukkan bahwa terdapat hutan dan lahan rusak lebih dari 101,73 juta ha, seluas 59,62 juta ha diantaranya berada dalam kawasan hutan yakni di dalam hutan lindung (10,52 juta ha), hutan konservasi (4,69 juta ha) dan hutan produksi (44,42 juta ha). Laju kerusakan hutan pada periode 1997-2000 meningkat cepat menjadi 3,8 juta ha/tahun. Laju kerusakan tersebut diperkirakan semakin tidak terkendali pada periode tahun 2000-2003 karena aktifitas penebangan liar, penyelundupan kayu dan konversi kawasan hutan menjadi areal penggunaan lain yang semakin merajalela, pemberian ijin pemanfatan kayu hutan/IPKH oleh pemerintah daerah yang tidak terkontrol (Badan Planologi Kehutanan, 2003). Pada saat ini, dengan kondisi hutan yang sangat menyedihkan serta lembaga-lembaga kehutanan yang tidak memiliki kekuatan apa-apa dalam mengerem laju kerusakan ini, apapun akan dilakukan dalam upaya menyelamatkan pohon-pohon terakhir yang tersisa di hutan Indonesia.
Meskipun melalui perundingan yang panjang akhirnya pemerintah Indonesia telah meratifikasi Protokol Kyoto, tepatnya pada hutan Juli 2004. Dengan meratifikasi Protokol Kyoto tersebut maka Indonesia akan memiliki komitmen terhadap negara-negara lain yang lebih dahulu meratifikasi perjanjian tersebut. Ratifikasi Protokol Kyoto merupakan sebuah kesepakatan internasional yang menunjukkan upaya yang sangat serius dalam menghadapi peruhahan iklim. Secara hukum Protokol Kyoto mewajibkan seluruh negara Annex I untuk secara bersama-sama menurunkan emisi gas rumah kaca rata-rata sebesar 5,2% dari tingkat emisi tahun 1990 pada periode tahun 2008-2.012. Indonesia akan mendapatkan keuntungan melalui mekanisme Clean Development Mechanism -CDM yang terdapat pada perjanjian tersebut.
Clean Development Mechanism (CDM) di kehutanan ini lahir dari tuntutan terhadap fungsi dan peran hutan tropis yang tersisa dianggap sebagai "paru-paru dunia", maka negara-negara pemilik hutan ini harus diberikan kompensasi untuk sumbangannya dalam menyediakan paru-paru dunia tersebut. CDM juga dapat dilihat sebagai bentuk kompensasi dari negara maju kepada negara berkembang, sehingga CDM merupakan peluang memperoleh dana luar negeri untuk mendukung program-program prioritas, penciptaan lapangan kerja dengan adanya investasi baru. Adapun manfaat tidak langsung yang dapat dipetik Indonesia dapat berupa technology transfer, capacity building, peningkatan kualitas Iingkungan, serta peningkatan daya saing.
Bentuk lain dari komitmen antara negara-negara pengikut Protokol Kyoto ini adalah jual-beli emisi itu dalam bentuk sertifikat, yaitu jumlah emisi para pelaku perdagangan akan diverifikasi oleh sebuah badan internasional atau badan lain yang diakreditasi oleh badan tersebut namun sampai saat ini belum terbentuk. Reduksi Emisi bersertifikat (RES) atau Certified Emission Reduction (CER) inilah yang diperjualbelikan dalam sebuah pasar internasional. RES itu dinyatakan dalam ton karbon yang direduksi. Jumlah reduksi metan dan GRK lain juga dinyatakan dalam ton karbon. Jadi harus dikonversi menjadi ton karbon. Sekarang perdagangan ini sudah berjalan melalui yang disebut implementasi patungan (joint Implementation). Harga karbon masih sangat bervariasi, yaitu antara US$10 sampai US$30 per ton karbon.
Indonesia bisa mendapatkan sedikitnya US$ 500 juta dari nilai reduksi karbon yang dijual melaui mekanisme CDM. Nilal keseluruhan di atas berasal pengelolaan hutan lestari sebesar US$ 50 juta dan US$ 350 juta berasal dari sektor energi. Dengan keikutsertaan ini maka konsekuensi sektor kehutanan terhadap penebangan liar menjadi sangat penting. Keberadaan luasan hutan sebagai jaminan pasokan karbon perlu terus terjaga. Secara tidak langsung sektor kehutanan mencegah terjadi kehilangan devisa akibat penebangan liar tersebut sebesar 30 triliun rupiah (Agus P Sari, Pelangi Indonesia).
Untuk melihat dampak ekonomi dari mekanisme CDM khususnya di sektor kehutanan digunakan SAM (Social Accounting Matrix) atau di Indonesia sering disebut SNSE (Sistem Neraca Sosial Ekonomi). Dengan menggunanakan SNSE ini dapat diketahui perubahan perekonomian nasional akibat adanya suatu kegiatan perekonomian pada salah satu sektor tertentu. Perubahan tersebut dapat berdampak pada sektor-sektor yang terdapat dalam SNSE, yaitu faktor produksi, institusi dan sektor produksi.

 File Digital: 1

Shelf
 T 15301-Dampak protokol.pdf :: Unduh

LOGIN required

 Metadata

No. Panggil : T15301
Entri utama-Nama orang :
Entri tambahan-Nama orang :
Entri tambahan-Nama badan :
Subjek :
Penerbitan : Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2005
Program Studi :
Bahasa : ind
Sumber Pengatalogan :
Tipe Konten :
Tipe Media :
Tipe Carrier :
Deskripsi Fisik :
Naskah Ringkas :
Lembaga Pemilik : Universitas Indonesia
Lokasi : Perpustakaan UI, Lantai 3
  • Ketersediaan
  • Ulasan
No. Panggil No. Barkod Ketersediaan
T15301 15-19-862197953 TERSEDIA
Ulasan:
Tidak ada ulasan pada koleksi ini: 83129