:: UI - Disertasi Membership :: Kembali

UI - Disertasi Membership :: Kembali

Dilema industri peyiaran di Indonesia: studi tentang neoliberalisme dan perkembangan pertelevisian di era orde baru dan reformasi

Pinckey Triputra; Harsono Suwardi, promotor; Gumilar Rusliwa Somantri, co-promotor; Andre Hardjana, examiner; Ilya Revianti Sudjono Sunarwinadi, examiner; Sasa Djuarsa Sendjaja, examiner; Sutiono, examiner; Takeda, Yukio, editor; Dedy Nur Hidayat, examiner (Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2004)

 Abstrak

Belajar dari kegagalan Soekarno yang administrasi pemerintahannya relatif tidak stabil disertai indikator ekonomi yang makin memburuk, Rezim Orde Baru memprioritaskan kestabilan politik yang dijadikan dasar untuk pertumbuhan ekonomi. Kedua strategi ini dipromosikan kepada negara Barat yang sedang kuat sentimen anti-komunismenya guna menarik modal asing. Bagi rezim Soeharto, pengintegrasian struktur ekonomi nasional ke dalam pasar bebas dengan spirit Neoliberalisme (ekspansi modal global yang agresif dengan tuntutan membebaskan pasar dari segala intervensi), dilakukan dalam upaya meningkatkan legitimasi (pencapaian) ekonomi Orde Baru. Namun pada masa itu pun telah terdapat dilema, berupa upaya melindungi modal nasional dalam industri media yang antara lain dilakukan secara sepihak oleh Harmoko selaku Menteri Penerangan; serta terlibatnya bagian dari elite yang berkuasa dalam permodalan industri media (integrasi vertikal). Lebih jauh, pengintegrasian ke dalam pasar bebas ini juga membawa dilema berupa kerentanan terhadap arus informasi dan perubahan persepsi, misalnya (atau utamanya) terhadap perpindahan modal asing.
Penekanan pada kestabilan politik mendorong pemerintah Orde Baru melakukan kontrol preventif dan korektif yang menyeluruh terhadap pers di Indonesia, dalam bungkus hegemoni "Pers yang bebas dan bertanggung jawab", "Pers Pancasila" dan lain lain. Di luar TVRI, kelima stasiun TV swasta pertama dimiliki oleh anggota atau kroni bisnis Keluarga Cendana. Kontrol ini justru membuat mereka tidak dapat mengidentifikasi atau mengevaluasi berbagai persoalan yang mengancam kelangsungan rezim tersebut tepat pada waktunya. Krisis ekonomi yang menimpa Asia pada tahun 1997, meningkatnya intensitas gerakan mahasiswa dan aktivis dengan alur informasi dari media alternatif (internet, jaringan berita kampus dan LSM) membantu aksi sosial jurnalis secara bertahap guna mengatasi hambatan struktural di ruang-ruang redaksi media cetak, radio dan TV. Perpindahan modal sebagai konsekuensi logis dari kerentanan pengintegrasian ke dalam pasar bebas, akhirnya ikut berkontribusi pada terjadinya the unthinkable Revolusi Mei 1998.
Jatuhnya Soeharto memulai suatu pemerintahan baru yang relatif lemah karena masih terasa kuatnya perlawanan elemen-elemen Civil Society menuntut perubahan di segala bidang. Pembubaran Departemen Penerangan oleh Abdurrahman Wahid membuat terdapatnya semacam kondisi lawlessness pada industri penyiaran, karena eksekutor dari Undang-Undang Penyiaran No 24/1997 tidak lagi eksis. Di tengah tuntutan akan demokratisasi sistem media, yang muncul kemudian hanyalah 5 stasiun TV komersial yang masih berlabel nasional, juga dengan prinsip-prinsip Neoliberalisme.
Sejalan dengan advokasi dari elemen-elemen Civil Society untuk menghasilkan Undang-Undang Penyiaran yang baru, bermunculanlah stasiun-stasiun TV lokal. Hal ini antara lain banyak dikaitkan dengan spirit desentralisasi sebagaimana yang tercermin pada Undang-Undang Otonomi Daerah. Rancangan Undang-Undang Penyiaran pun mengedepankan prinsip Diversity of Ownership dan Plurality of Content yang mendorong lahirnya stasiun-stasiun TV lokal, dan mengubah secara prinsipil istilah stasiun TV nasional menjadi sistem berjaringan.
Untuk memberikan dimensi historical situatedness, analisis disertasi ini dilakukan dalam konteks historis spesifik pada zaman Orde Baru hingga pascareformasi. Penelitian dilakukan dengan metode kualitatif terutama berdasarkan studi literatur dan wawancara mendalam di lapangan dengan nara sumber dari berbagai kalangan yang relevan pada industri penyiaran Indonesia dalam jumlah cukup besar.
Figure (Model) untuk menggambarkan Theoretical Framework (Kerangka Teori) dalam penelitian ini memperlihatkan bahwa baik di Masa Orde Baru maupun Reformasi terdapat sejumlah dilema dalam industri penyiaran Indonesia yang terkait dengan spirit Neoliberalisme, pada 3 level, yakni: level struktur, organisasi, dan individu. Pada level struktur, baik di masa Orde Baru maupun Reformasi, keinginan mengintegrasikan atau membuka diri pada pasar bebas umumnya diikuti oleh keinginan melindungi modal nasional dari penetrasi dan ancaman modal global. Hal ini pada gilirannya juga menimbulkan dilema berupa monopoli oleh pemain nasional. Untuk mengimbanginya, Undang-Undang No. 32/2002 tentang Penyiaran yang lahir di masa reformasi, mendorong keberagaman kepemilikan pada TV-TV lokal sekaligus membatasi area jangkauan sebuah stasiun televisi pada ambang yang akan ditentukan kemudian. Pada level organisasi, di masa Orde Baru, dilema antara fungsi ekonomis dan ideologis, umumnya dimenangkan oleh fungsi ekonomis sejalan dengan kuatnya kontrol politik oleh pemerintah. Hal tersebut, berimbas pada level individu yang membuat praktisi atau pekerja media relatif lebih menjadi "buruh industri media" yang tunduk pada seluruh keinginan dan kepentingan modal yang overlapped dengan kepentingan kontrol pemerintah.
Sekalipun TV-TV lokal di Masa Reformasi relatif tidak memiliki hubungan langsung dengan modal global, namun mereka juga termakan imbas kekuatan Neoliberalisme. Misalnya, pada level organisasi, mereka juga relatif tergantung pada dominasi produk-produk yang dianggap sebagai sebuah super culture terhadap produk-produk lain, baik itu dengan melakukan peniruan atau adaptasi dari produk global, yang pengenalan atau popularitasnya dijembatani oleh TV-TV besar yang telah lebih dulu bersiaran di Jakarta. Selain soal selera global ini, standar keberhasilan TV lokal pun umumnya didasarkan pada fungsi-fungsi ekonomis, yang mengacu pada spirit Neoliberalisme seperti rating. Begitu pula dalam pengembangan sumber daya manusia dan teknologi, referensi terhadap keahlian dan kebaruan, serta pembelian dan perawatan alat-alat juga mengacu pada ukuran-ukuran dan pasar global.
Di sisi lain, harapan akan munculnya TV Publik Lokal dan TV Komunitas yang dapat menjadi alternatif untuk memutus terkaman imbas kekuatan modal global dalam berbagai level tersebut, masih belum menjadi sebuah realitas yang menjanjikan. Untuk itulah diperlukan sebuah intervensi politik dari publik, melalui Komisi Penyiaran Indonesia.
Jika tidak terdapat contoh-contoh praktek alternatif seperti itu, maka pada level individu, atau lebih spesifik dalam dunia jurnalistik, maka jurnalis Indonesia dikhawatirkan tidak lagi merupakan insan kreatif, namun hanya merupakan one-dimensional man yang dalam segala arah tunduk pada keinginan dan kepentingan pemodal.

 File Digital: 1

Shelf
 Dilema industri-Full text (D 587).pdf :: Unduh

LOGIN required

 Metadata

No. Panggil : D587
Entri utama-Nama orang :
Entri tambahan-Nama orang :
Subjek :
Penerbitan : Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2004
Program Studi :
Bahasa : ind
Sumber Pengatalogan :
Tipe Konten : text
Tipe Media : unmediated ; computer
Tipe Carrier : volume ; online resource
Deskripsi Fisik :
Naskah Ringkas :
Lembaga Pemilik : Universitas Indonesia
Lokasi : Perpustakaan UI
  • Ketersediaan
  • Ulasan
No. Panggil No. Barkod Ketersediaan
D587 07-17-089869067 TERSEDIA
Ulasan:
Tidak ada ulasan pada koleksi ini: 83534