:: UI - Tesis Membership :: Kembali

UI - Tesis Membership :: Kembali

Epistemologi sufisme suatu kajian teori pengetahuan al-ghazali

Mohammad Abduhzen; Toety Heraty Noerhadi Rooseno, 1933-, supervisor (Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 1997)

 Abstrak

Tesis beijudul "Epistemologi Sufisme, Suatu Kajian Teori Pengetahuan Al-Ghazali", ditulis oleh Mohammad Abduhzen dengan pembimbing Prof. Dr. Toetl Heraty Noerhadi dan Dr. Ahmad Poerwadaksi dalam rangka penyelesaian pendidikan tingkat magister pada program studi ilmu filsafat, program pascasarjana Universitas Indonesia.
Ada tiga hal yang menjadi latar belakang diambilnya tema tersebut. Pertama secara epistemologis antara lain adanya kenyataan bahwa kita saat ini hidup dalam suatu era ilmu pengetahuan dan teknologi. Peranan ilmu pengetahuan menjadi semakin menentukan kualitas kehidupan kita baik sebagai individu maupun sebagai masyarakat. Namun di sisi lain menimbulkan berbagai persoalan-persoalan yang mengancam kualitas dan eksistensi hidup manusia dan alam seluruhnya.
Kedua adanya isu islamisasi ilmu pengetahuan yang gencar pada sekitar tahun delapan puluhan yang tampaknya mencuat dalam rangka mencari alternatif sosok ilmu pengetahuan yang lebih "berjiwa", menghantar saya pada pertanyaan tentang spesifikasi epistemologis. Tetapi saya terpancing oleh kenyataan bahwa dalam masyarakat kita, ada pandangan tersendiri terhadap ilmu pengetahuan yang bercorak sufistik. Meskipun pan-dangan spesifik ini masih diselimuti oleh kabut mhos dan dongeng yang penuh keajaiban halusinasi. Saya tertarik untuk menyingkap dan mencoba menemukan alur logikanya. Dan smi sampailah saya kepada sufisme yang saya pandang sebagai sumberaya.
Ketiga, diketahui bahwa ummat Islam di Indonesia bermazhab sunni. Ini mengindikasikan orientasi filosofisnya kepada Al-Ghazali. Al-Ghazali adalah seorang ulama yang filosof dan sekaUgus adalah sufi. Anggapan ini mendorong saya kemudian memilihnya sebagai tokoh yang akan diteliti.Berdasarkan atas hal-hal tersebut saya mencoba merumuskan dua pokok permasalahan, yaitu: pertama, Bagaimanakah pemikiran epistemologi Al-Ghazali pada umumnya?. Kedua, Bagaimanakah spesifikasi epistemologi sufisme Al-Ghazali?.
Dari penelitian ini saya berharap, akan berguna dalam rangka dialog antara ilmu dan agama, seMngga keduanya memungkinkan untuk saling melengkapi. Ini penting dalam rangka mencari titik temu (bukan titik lebur, karena agama dengan caranya sendiri tetap agama dan ilmu dengan sistemnya sendiri tetap ilmu) antara ilmu dan agama. Dengan dialog ini semoga akan makin memperkokoh status masing-masing serta menampakkan hal-hal apa dari agama itu yang accessable bagi ilmu dan begitu juga sebaliknya. Oleh sebab itu pene-litian ini akan mencari tahu makna dan arti, peran dan fungsi ilmu secara mendasar. Sementara di sisi lain juga hendak menyibak kabut mitos dan dongeng yang senantiasa menyelimuti setiap ujaran tentang sufisme. Dengan demikian pengkajian aspek pengetahuan dalam mistisisme Islam ini akan berarti juga menjelaskan teori-teori pengetahuan sufisme dengan bahasa yang sejauh mungkin dapat dimengerti oleh akal sehat, meski bukan dalam rangka mengujinya dengan epistemologi pada umumnya (Barat).
Penelitian ini adalah sebuah sintesis-refieksif yang akan mengungkapkan konsep-konsep epistemologi Al-Ghazali, dengan metode analisis-sintesis, hermeneutik, heuristika dan diskripsi. Langkah-langkahnya: mengkaji kepustakaan, mengklasifikasi, menganalisis dan mensintesiskannya.
Di dalam bab II. dibicarakan tentang Sufisme, dan Al-Ghazali sebagai seorang sufi. Sufisme yang menjadi fokus dalam tulisan ini, secara etimologi berasal dari kata shuf yang berarti bulu domba atau wol, menunjuk kepada kebiasaan kaum sufi memakai kain wol kasar sebagai simbol kesederhanaan dan kemiskinan. Pengertian sufisme adalah suatu ajaran tentang sikap, cara hidup untuk berhubungan dan mendekat kepada Tuhan hingga sedekat-dekatnya, berdasarkan pemahaman tertentu terhadap ajaran Islam- Sebagai mistisisme Islam, sufisme memiliki unsur-unsur universal seperti yang terdapat pada semua jenis mistisisme dan unsur-unsur yang spesifik Islam.
Timbulnya sufisme disebabkan oleh kondisi sosial-politik di akhir abad ke-1H/7M dan awal abad ke-2 H/8 M. Awalnya muncul dan menyebar pola hidup zuhud sebagai protes tajam kepada pemerintah agar menerapkan semangat Islam yang orisinil, yang sederhana dan bersahaja. Pada pertengahan abad ke-3 H/9 M perilaku zuhud itu disebut sebagai "kaum sufi" dan pada abad ke-4 H/10 M memperoleh konotasi teosofis, karena mulai adanya pengaruh pemikiran spekulatif dari sistem teologi dan filosofl Yunani. Dari sini mulai timbul gagasan-gagasan tentang cahaya, pengetahuan dan cinta. Maka dari itu seorang sufi yang sejati haruslah juga seorang pemikir. Seperti pada Al-Ghazali.
Al-Ghazali dilahirkan pada tahun 450 H/1058 M di suatu kampung yang bernama Ghazalah, di daerah Thus, Khurasan. Perjalanan intelektuanya penuh keraguan dan berakhir dalam kepastian sufisme. la mengalami dua kali keraguan, pertama keraguan epistemologis karena ia meragukan segala pengetahuan dan keraguan yang kedua bersifat spiritual ketika ia akan memasuki hidup sufi. Kedua keraguan ini katanya, berakhir karena adanya nur (cahaya) yang dipancarkan Allah ke dalam batinnya, bukan berdasarkan kepada argumen-tasi rasionai.
Dari pengalaman-pengalaman menjalani cara hidup sufi yang berlangsung intenstf selama sepuluh tahun, Al-Ghazali menunjukkan ciri-ciri yang berbeda dengan sufisme pada umumnya yang ada sebelumnya. Ini dapat dilihat dari sikapnya terhadap kehidupan duniawi, penolakannya terhadap kesatuan wujud, tidak bersifat ekstatik dan tidak menafikan pemikiran.
Sebagai seorang sufi Ghazali tetap memelihara pikiran filosofisnya yang mandiri dan kritis, sehingga ia tidak terjatuh ke dalam tradisi yang melampaui kebenaran yang seharusnya, atau terperangkap oleh keraguan skeptisisme yang tidak berakhir. Tasawuf baginya membantunya dalam membebaskan pikiran yang mutlak diperlukan dalam mencapai kebenaran yang murni dan raenyeluruh. Itulah Al-Ghazali seorang filosof dan seorang sufi.
Dalam bab III, di bahas tentang epistemologi sufisme Al-Ghazali. Epistemologi Al-Ghazali dilandasi oleh pandangan ontologinya. la membagi seluruh Ada {realitas) menjadi dua alam, yaitu alam syahadah yang kasat mata dan alam malakut yang tidak dapat dijangkau oleh indera manusia, bersifat ruhani dan nuraniah. Hubungan kedua alam ini adalah alam malakut sebagai model (mitsal) bagi alam syahadah, sedangkan alam syahadah adalah "bekas" atau efek (akibat) dari alam malakut. Menurut Ghazali kunci-kunci pengetahuan tentang alam syahadah tidak lain adalah pengetahuan tentang alam malakut. Kunci pengetahuan tentang "akibat" adalah pengetahuan tentang sebab yang menimbulkannya. Pandangan ini pula melandasi pemikirannya tentang kausalitas. Kausalitas bukanlah hubungan yang absolut dan berdiri sendiri. Sebutan itu baginya adalah kebiasaan saja. Tuhan sajalah penyebab aktif dari segala gejala dan peristiwa baik langsung maupun tidak.
Manusia, jika hendak memperoleh pengetahuan hakiki harus memasuki alam malakut dan menjadi bagian daripadanya. Caranya adalah dengan berjalan naik (mi'raj) ke hadirat Ilahi melalui jalan-jalan sufi (suluk). Makhluk manusia memiliki unsur ruhaniah, sebagai substansi dan tempat bagi pengetahuannya. la menyebut substansi ruhani manusia itu dengan al-nafs. Al-nafs sering juga disebut dengan istilah-istilah lain yaitu rwA, atau aql (Akal) atau jiwa. Dalam nafs itu terkandung daya-daya mengetahui, yaitu: daya inderawi (ruh inderawi), daya imajinatif (ruh khqyali), daya intelek (ruh aqt), daya kreativitas (ruh pemikiran) dan daya dzauq atau daya "intuitif '(ruh suci kenabian).
Mengetahui, adalah proses menangkap gambar, contoh (mitsal) realitas objektif. Yang ditangkap hanyalah gambamya saja bukan realitas objektifnya, sebab realitas tersebut tidak mungkin dapat berpindah ke dalam daya tangkap manusia. Hakikat mengetahui adalah ketersingkapan segala sesuatu dengan jelas, sehingga tidak ada lagi ruangan untuk ragu, salah atau keliru. Selain melalui proses abstraksi ada pengetahuan yang dapat diperoleh dengan cara langsung, yaitu melalui ilham yang berupa nur ( cahaya) yang dipancarkan Allah swt. ke dalam batin.
Mulanya manusia adalah makhluk yang sederhana dan kosong pengertiannya tentang alam ini, kemudian secara berangsur-angsur ia dikaruniai idrak (alat pengenal) inderawi. Setelah perkembangan inderawi lengkap, pada anak mulai tumbuh kekuatan pertimbangan (tamyiz), sehingga anak mengenal objek baru di luar pancaindera. Kemudian Allah menganugrahinya akal untuk menangkap makna hukum-hukum logis seperti sesuatu yang adanya merupakan keharusan(wajib), hukum yang bersifat kemungkinan (/aiz), serta hukum ketidakmungkinan (nwstahit). Yang paling tinggi dari semua ini adalah idrak dzauq untuk mengenal alam supra-rasional, spiritual atau alam gaib yang tidak dapat dijangkau oleh indera, tamyiz dan akal.
Berdasarkan pada daya-daya tadi Al-Ghazali membagi pengetahuan menurut sumbernya, menjadi pengetahuan inderawi. pengetahuan akal (rasional) yang meliputi ilmu nadhari (yang diperoleh lewat penalaran), ilmu dharuri (pengetahuan aksiomatik), pengetahuan emptri (yang diperoleh dari pengalaman) dan pengetahuan intuitif (yang diperoleh dari kehendak dan motivasi), dan pengetahuan kenabian yang diperoleh melalui jalan sufi. Sedangkan ditinjau dari sifatnya pengetahuan terdiri dari ilmu mukasvafah (pengetahuan teoritis) dan ilmu muamalah (pengetahuan praktis). Ilmu mukasyafah kata Ghazali adalah ilmu yang diminta untuk mengetahuinya saja, tidak dapat ditulis dengan kata-kata tetapi menjadi tujuan dari pencarian setiap ilmu. Adapun ilmu muamalah yaitu ilmu yang setelah diketahui hendaklah diamalkan. Dan ilmu ini adalah jalan untuk menuju kepada ilmu mukasyafah. Pembagian lainnya yaitu ilmu syariah (ilmu keagamaan) yang diperoleh melalui wahyu dan nabi-nabi, hukum mencarinya bersifat fardhu 'ain (wajib bagi tiap orang), dan yang bukan syariah (ilmu intelektual) yang bersifat fardu kifayah (wajib ada bagi tiap komunitas).
Batas pengetahuan manusia menurut Ghazali adalah sesuai dengan batas kemampuan setiap idrak. Pengetahuan inderawi berbatas pada kemampuan idrak pancaindera, yaitu alara nyata dan kasat mata. Pengetahuan akal tebatas pada objek-objek penalaran, hukum logis dan matematis, pengalaman dan intuisi. Sedangkan pengetahuan kenabian tidak dapat diketahui batasnya. Pengembangan pengetahuan bagi Al-Ghazali tergantung dari hasrat ingin tahu. Hasrat tersebut melahirkan keraguan, keraguan menimbulkan pencarian, pencarian akan mendapatkan kepastian atau keyakinan. Dengan demikian akan perkembanglah pengetahuan.
Menurut Al-Ghazali seluruh pengetahuan pada dasarnya bersifat sufistik karena setiap pengetahuan manusia merupakan jalan menuju kepada Allah. Tetapi secara metodologis yang benar-benar dalam artian sufisme adalah pengetahuan kenabian.
Fenomena kenabian dapat dicapal oleh manusia biasa, meskipun tidak sempurna dan juga tidak berarti menjadi nabi. Hal-hal lahir dilihat dengan mata lahir dan realitas-realitas batin dengan mata batin. Pengetahuan yang diperoleh melalui mata hati ini bersifat serta-merta dan iangsung seperti pengetahuan inderawi, namun isinya berkenaan dengan dunia spiritual. Ghazali menyatakan bahwa hati setiap manusia diciptakan untuk mengetahui "dunia Ilahiah yang kasat-mata", tetapi ketika manusia itu berhubungan dengan dunia, umumnya nafsu duniawi menybelubungi hati itu sehingga ia tidak mampu melihat objeknya. Apa yang dilakukan oleh kaum sufi adalah menyingkirkan selubung itu.
Pembersihan din dengan mengwgat(dzikir) kepada Allah hingga mencapai pele-buran (/ana) dalam Tuhan menjadi ciri metodologi sufisme. Meskipun pengetahuan ini diperoleh lepas (tidak tergantung pada) akal dan indera, namun sama sekali bukan tidak rasional. Peran akal adalah megenalkan dirinya kepada kita akan kebutaannya sendiri dalam memahami apa yang dapat dihayati oleh "mata" kenabian. Ilmu kedokteran dan ilmu perbintangan pada mulanya juga diperoleh dengan cara seperti ini.

 File Digital: 1

Shelf
 T155 - Mohammad Abduhzen.pdf :: Unduh

LOGIN required

 Metadata

No. Panggil : T-Pdf
Entri utama-Nama orang :
Entri tambahan-Nama orang :
Subjek :
Penerbitan : Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 1997
Program Studi :
Bahasa : ind
Sumber Pengatalogan : LibUI ind rda
Tipe Konten : text
Tipe Media : computer
Tipe Carrier : online resource
Deskripsi Fisik : xvii, 171 pages : illustration ; 28 cm
Naskah Ringkas :
Lembaga Pemilik : Universitas Indonesia
Lokasi : Perpustakaan UI, Lantai 3
  • Ketersediaan
  • Ulasan
No. Panggil No. Barkod Ketersediaan
T-Pdf 15-17-480990306 TERSEDIA
Ulasan:
Tidak ada ulasan pada koleksi ini: 90193