Sanksi gijzeling dalam kaitan dengan penagihan pajak dan implikasi kepastian hukumnya
Fidel;
Arifin P. Soeriaatmadja, supervisor
(Universitas Indonesia, 2004)
|
Dasar hukum yang dibuat untuk melakukan penyanderaan pertama, utang pajak sekurang-kurangnya sebesar Rp. 100.000.000,- (seratus juta rupiah) dan kedua, diragukan itikad baiknya dalam melunasi utang pajak. Sebenarnya sebelum dilakukan penetapan utang pajak tersebut seharusnya Direktorat Jenderal Pajak memperhatikan terlebih dahulu penetapan pajak terutang yang dilakukan Wajib Pajak dan art pengaturan dari sistem perpajakan. 5istem perpajakan yang berlaku di negara kita adalah sistem self assessment, yakni suatu sistem pemungutan pajak yang memberi wewenang kepada Wajib Pajak untuk menentukan sendiri besamya pajak yang terutang. Wajib Pajak aktif mulai. dari menghitung, menyetor dan melaporkan sendiri pajaknya yang terutang, sementara Fiscus tidak ikut campur hanya mengawasi saja. Setelah dilakukan pelaporan pajak baik bulanan maupun tahunan Fiskus melakukan penelaahan dan penghitungan pajak sampai dengan penetapan utang pajak.Undang-undang perpajakan mengatur mengenai mulai jumlah pajak terutang, pelaksanaan penagihan, besamya kewajiban pajak yang harus dibayarkan Wajib Pajak secara penuh walaupun masih dalam persengketaan.Memenuhi ketentuan tersebut, jelas bahwa setiap utang pajak harus dilakukan pembayaran pajak tanpa memperhatikan apakah pengenaan utang pajak telah sesuai dan benar (hat ini dikarenakan penetapan oleh petugas pajak saja, tanpa memperhatikan input dari Wajib Pajak), sehingga tidakiah ada kepastian hukum sebagai salah satu alas dalam pemungutan dan pengenaan kepada Wajib Pajak untuk dilakukan penyanderaan. Berdasarkan hal tersebut kepastian hukurn dalam pelaksanaan penyanderaan dapat diketahui dari hal-hal sebagai berikut: (1) apakah utang pafjak yang ditagih sudah benar perhitungannya dan diakui Wajib Pajak, (2) ukuran yang haws dipakai adalah perhitungan yang balk dan bear antara data utang pajak Wajib Pajak dengan yang ditetapkan oleh Fiskus, (3) dengan diajukannya banding, tidak menunda kewajiban membayar pajak., padahal dilain pihak dalam undang-undang tentang Ketentuan Umum dan Tatardara Perpajakan diperbolehkan melakukan penundaan sampai dengan jangka waktu 12 (dua betas) bulan. Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilari Pajak menyebutkan jumlah pajak yang terutang pelaksanaan banding dapat dilakukan setelah membayar 50% (lima puluh persen) dari utang pajak, (5) selama dalam jangka waktu penyanderaan dua kali enam bulan wajib pajak telah membayar kewajiban utang pajaknya dan tidak melampaui jumlah seratus juta rupiah, tetap saja wajib pajak harus masih dalam penyanderaan, (6) setelah masa penyanderaan Penanggung Pajak tidak dapat mengajukan gugatan. Penekanannya tetap kepada Wajib Pajak walupun kesalahan ada di Fiskus dalam penetapan utang pajak, dan pada akhimya jelaslah terlihat tidak ada kesetaraan antara Wajib Pajak dengan Fiskus. |
T14462-Sanksi gijzeling.-TOC.pdf :: Unduh
|
No. Panggil : | T14462 |
Entri utama-Nama orang : | |
Entri tambahan-Nama orang : | |
Entri tambahan-Nama badan : | |
Subjek : | |
Penerbitan : | Depok: Universitas Indonesia, 2004 |
Program Studi : |
Bahasa : | ind |
Sumber Pengatalogan : | |
Tipe Konten : | |
Tipe Media : | |
Tipe Carrier : | |
Deskripsi Fisik : | ix, 110 hlm. : ill. ; 28 cm. + lamp. |
Naskah Ringkas : | |
Lembaga Pemilik : | Universitas Indonesia |
Lokasi : | Perpustakaan UI, Lantai 3 |
No. Panggil | No. Barkod | Ketersediaan |
---|---|---|
T14462 | 15-20-407069808 | TERSEDIA |
Ulasan: |
Tidak ada ulasan pada koleksi ini: 91777 |