:: UI - Disertasi Membership :: Kembali

UI - Disertasi Membership :: Kembali

Fenomena fantom pasca amputasi anggota gerak akibat trauma dan faktor yang menimpanya

Widjajalaksmi Kusumaningsih; Agus Firmansyah, promotor; Balasubramaniam, P., co-promotor; Purba, Yan, co-promotor; Djoko Rushadi, examiner; Adang Bachtiar, examiner; Hutagalung, Errol Untung, examiner; Teuku Jacob, examiner ([Publisher not identified] , 2004)

 Abstrak

ABSTRAK
Persepsi sensasi fantom yang timbul pasca amputasi anggota gerak, mengikuti arahan pola spesifik yang berkaitan dengan persepsi tubuh sendiri yang berkaitan dengan teori Neuromatriks dari Melzack dan Hukum Hebb. Nyeri fantom berhubungan dengan pengalaman nyeri pra-amputasi dimana terjadi disinhibisi memori nyeri pra-amputasi. Fenomena ini menganggu aktivitas sehari - hari bahkan dapat menciderakan penderita pasca amputasi anggota gerak. Fenomena ini dapat dideskripsikan sebagai adanya suatu persepsi berkelanjutan dari bagian tubuh dengan atau tanpa nyeri dalam suatu periode. Dalam perjalanan waktu terjadi perubahan karakteristik dari fenomena fantom (telescoping , sensasi fantom menjalar dan nyeri fantom) yang dimodulasi oleh berbagai substrat seperti kortisol, substansi P dan serotonin yang berfluktuasi untuk menciptakan keseimbangan homeostasis. Guna memahami fenomena ini diperlukan pendekatan metoda kuantitatif (dengan mengukur fluktuasi neurohumoral dalam suatu periode dan melakukan evaluasi terhadap kondisi puntung) dan metoda kualitatif antara lain melalui pemetaan gejala sensasi fantom, guna memahami lokasi neuroanatomis. Terapi nonfarmakologis sederhana diberikan sesuai diagnosis berdasar lokasi neuroanatornis.
Tempat : Departemen Rehabilitasi Medik, Departemen Ortopedi, RSCM 1 FKUI, RSU Fatmawati, RSPAD, PusRehCat Bintaro, Laboratorium Makmal Terpadu FKUI, Panti Sosial Bina Daksa, Jakarta.
Populasi dan Sampel : Semua pasien laki-laki dan perempuan usia 17 -- 55 tahun pasca amputasi terminal tunggal anggota gerak atas dan bawah, dextra dan sinistra (transfemoral, transtibial, transhumoral dan transradial, dextra dan sinistra), stadium pasca amputasi pra prostetik tanpa nyeri puntung.
Subyek penelitian dialokasikan dalam dua kelompok yaitu kelompok pengguna prostesis (P) dan kelompok bukan pengguna prostesis (NP). Kedua kelompok dievaluasi tiga kali (tahap awal, tahap pertengahan, tahap akhir) selama kurun waktu 6 bulan. Dilakukan pengambilan sampel darah untuk pemeriksaan kadar kortisol, serotonin dan substansi P antara jam 8.00 - 9.00 pagi (variasi diurnal) dilaboratorium Makmal FKUI pada tahap awal dan tahap akhir. Kadar kortisol menggunakan tehnik RIA (Radioimunoassay), serotonin dan substansi P menggunakan tehnik ELISA (Enzym Linked Imunno Sorbent Assay). Pengukuran lingkar otot puntung berdasarkan The International Standard Measurement for Limb Muscle Girth pada level amputasi transfemoral transtitibial, transhurneral dan transradial. Pengukuran sinyal listrik otot puntung dengan pressure biofeedback (Myomed 932). Penilaian tahapan telescoping dan penilaian sensasi fantom menjalar menggunakan modifikasi pengukuran imaginasi visual dan gerak. Penilaian nyeri fantom dengan VAS (Visual Analogue Scale) Studi kualitatif meliputi pemetaan sensasi fantom menjalar, pemetaan tahapan telescoping, kuesioner mengenai gejala fenomena fantom termasuk pengalaman nyeri pra amputasi.
Dilakukan perbandingan antara kedua kelompok, yaitu kelompok yang aktif menggunakan prostesis fungsional secara kontinu dengan kelompok yang tidak menggunakan prostesis. Jumlah subyek dengan jenis kelamin laki-laki jauh lebih besar dibanding perempuan, yaitu laki-laki sebanyak 22 (52,4%) pada kelompok P dan 20 (47,6%) pada kelompok NP. Sebaran berdasar jenis kelamin pada kelompok adalah homogen dimana jumlah laki-laki mendominasi pada tiap kelompok. Hal ini sesuai dengan data amputasi anggota gerak akibat trauma yang lebih banyak menimpa laki-laki. Distribusi usia menunjukkan pada kelompok NP rerata usia 29,8 (SD 10,27), dan 29,52 (SD 6,51) adalah rerata usia pada kelompok P. Berdasarkan usia kedua kelompok adalah homogen, (p=0,909). Berdasarkan jenis pekerjaan terdapat perbedaan yang bermakna diantara kedua kelompok (p = 0,038) dimana buruh mendominasi kelompok NP yaitu 12 (66,7%) dan TNI mendominasi kelompok P yaitu 15 (78,9%). Dari berbagai jenis amputasi, terlihat amputasi anggota gerak bawah (transfemoral dan transtibial, baik dextra dan sinistra) mendominasi pada masing-masing kelompok yaitu sebanyak 14 (56%) pads kelompok NP dan 22 (88%) pada kelompok P. Sebaran berdasar jenis amputasi pada kedua kelompok adalah homogen (p = 0,221). Dalam perjalanan waktu selama enam bulan pasta amputasi, didapatkan korelasi yang bermakna antara peningkatan derajat telescoping (PS) dan peningkatan sensasi fantom menjalar (RPLS) pada tiap tahap. Path tahap evaluasi akhir didapatkan korelasi positif bermakna dengan bentuk hubungan kuat (korelasi Pearson, r =0,999 , p < 0,0001). Dengan regresi linear didapatkan adanya peningkatan hubungan antara derajat telescoping dengan sensasi fantom menjalar dalam masa enam bulan, dan Rsq () 0,8440 yang berarti bahwa 84% variasi peningkatan nilai sensasi fantom menjalar berhubungan dengan peningkatan derajat telescoping dalam masa enam bulan pasca amputasi anggota gerak. Hal ini membuktikan bahwa selain terjadi peningkatan derajat telescoping akan diikuti perubahan sensasi fantom menjalar yang berbeda bermakna (p < 0,0001), sebagai konsekuensi reorganisasi area kortikal somatosensori, yang juga menunjukkan adanya hubungan yang kuat diantara keduanya (r = 0,999, p < 0,0001). Proses ini dipicu penggunaan aktif prostesis fungsional. Kondisi puntung pengguna prostesis berbeda dengan kondisi puntung bukan pengguna prostesis. Terjadi peningkatan bermakna dari rerata sinyal elektrik otot puntung (EA) baik kelompok NP maupun kelompok P (p <0,0001). Dengan korelasi Pearson, ditemukan korelasi negatif bermakna dengan bentuk hubungan berkekuatan sedang, antara perubahan tahapan telescoping (PS) dan peningkatan sinyal elektrik otot puntung J EA (r = 0,444 , p = 0,001). Dengan regresi linear didapatkan adanya peningkatan hubungan antara derajat telescoping dan sinyal listrik otot puntung dalam masa enam bulan pasca amputasi, regresi linear dengan Rsq (r2) 0,1974 yang berarti bahwa 19% variasi peningkatan derajat telescoping berhubungan dengan atau ditentukan oleh peningkatan sinyal listrik otot puntung enam bulan pasca amputasi. Dengan terjadinya perubahan pada tahapan telescoping dan sensasi fantom menjalar dalam kurun waktu enam bulan, terjadi juga penurunan nilai rerata intensitas nyeri fantom yang bermakna diantara kedua kelompok (p < 0,0001). Dengan korelasi Pearson terdapat korelasi negatif yang bermakna antara peningkatan telescoping (PS) dan penurunan nyeri fantom (PP) dalam masa enam bulan (r = - 0,676 , p < 0,0001) dengan sifat hubungan kuat. Juga ditemukan korelasi negatif dengan sifat hubungan sedang, yang bermakna dalam masa observasi enam bulan antara RPLS dan PP (r = 0,693 , p < 0,0001). Dengan korelasi Pearson didapati hubungan berkekuatan sedang antara peningkatan telescoping dengan penurunan intensitas nyeri fantom pada tahap pertengahan masa observasi 6 bulan (r = - 0,503 , p < 0,0001). Dan pada akhir masa observasi sifat hubungan kuat (r = - 0,676 , p < 0,0001). Regresi linear menunjukkan hubungan yang kuat antara penurunan nilai nyeri fantom dan peningkatan derajat telescoping. Regresi linear dengan Rsq (r2) 0,4572 berarti bahwa 45% variasi penurunan nyeri fantom berhubungan dengan peningkatan derajat telescoping enam bulan pasta amputasi. Demikian pula regresi linear dengan Rsq (r) 0,4808 berarti bahwa 48% variasi penurunan nyeri fantom berhubungan dengan peningkatan nilai sensasi fantom menjalar dalam masa enam bulan pasta amputasi. Enam bulan pasca amputasi anggota gerak terjadi penurunan nyeri fantom yang berbeda bermakna antara kelompok NP dan P (p = 0,002). Didapatkan nyeri fantom awal sebanyak 31 (62%) dan melalui uji independen didapatkan perbedaan bermakna antara kelompok NP dan P (p < 0,0001) dalam hal sebaran adanya pengalaman nyeri praamputasi dan terjadinya nyeri fantom awal. Enam bulan pasca amputasi didapatkan peningkatan kadar serotonin dan penurunan substansi P pada kelompok P dan NP. Didapatkan penurunan bermakna kortisol enam bulan pasca amputasi antara kelompok P dan kelompok NP (p =0,047). Dengan ditemukan Korelasi Pearson korelasi positif bermakna antara penurunan kadar kortisol dan penurunan nilai nyeri fantom selama enam bulan pasca amputasi anggota gerak (r = 0,390 , p = 0,005). Terdapat pula korelasi negatif bermakna antara penurunan kadar kortisol dan peningkatan derajat telescoping selama 6 bulan pasca amputasi (r = - 0,331 , p = 0,01 9 ). Terdapat korelasi negatif bermakna antara penurunan kadar kortisol dan peningkatan nilai sensasi fantom menjalar enam bulan pasca amputasi (r = -0,377, p = 0,007). Hubungan antara penurunan kadar kortisol dengan peningkatan derajat telescoping, penurunan nyeri fantom dan perubahan nilai sensasi fantom menjalar (konsekuensi proses neuroplastisitas) diperlihatkan dengan analisis regresi. Regresi kuadratik sederhana dengan Rsq (r2) 0,1456 yang berarti 14% variasi perubahan derajat telescoping berhubungan dengan atau ditentukan oleh perubahan kadar kortisol enam bulan pasca amputasi. Regresi kuadratik sederhana Rsq (r) 0,1520 berarti 15% variasi penurunan nilai nyeri fantom berhubungan dengan perubahan kadar kortisol enam bulan pasca amputasi. Regresi kuadratik sederhana Rsq (r) 0,1998 berarti bahwa 19% variasi perubahan nilai sensasi fantom menjalar berhubungan dengan atau ditentukan oleh perubahan kadar kortisol enam bulan pasca amputasi.
Kesimpulan : (1) Enam bulan pasca amputasi anggota gerak terjadi perubahan peta somatotopik, pada subyek pasca amputasi anggota gerak yang merupakan konsekuensi proses neuroplastisitas pada area korteks somatosensori. (2) Perubahan karakteristik tersebut berkaitan dengan fluktuasi tiga substrat panting yaitu kortisol, serotonin, dan substansi P, yang mempengaruhi proses neuroplastisitas, memori dan nyeri. (3) Perubahan karakteristik, peningkatan tahapan telescoping, peningkatan nilai sensasi fantom menjalar dan penurunan intensitas nyeri fantom berbeda bermakna diantara kedua kelompok (NP dan P). (4) Pengalaman nyeri pra amputasi menimbulkan nyeri fantom. (5) Kehilangan anggota gerak tidak berarti kehilangan representasinya di otak, teori Neuromatriks dari Melzack mengenai adanya engram pada fenomena fantom yang menyatakan tubuh sebagai kesatuan bagian dari diri sendiri. Persepsinya tidak akan hilang dan pada kondisi tertentu akan dimunculkan kembali ke perrnukaan.
Terjadi perubahan signifikan pada karakteristik fenomena fantom dalam perjalanan waktu, pasca amputasi anggota gerak pada manusia dewasa akibat trauma, yang merupakan konsekuensi neuroplastisitas sentral. Adaptasi sentral berkaitan dengan adaptasi perifer yang diikuti penumnan kadar kortisol, substansi P dan peningkatan serotonim dalam masa 6 bulan pasca amputasi. Berbagai perubahan karakteristik dipercepat dengan penggunaan aktif prostesis fungsional. Ditemukan perubahan signifikan menunjukkan adanya korelasi antara berbagai faktor fisik maupun kimiawi. Dapat disimpulkan peran prostesis tidak hanya terbatas untuk aktifitas sehari-hari tapi terutama mempercepat perubahan karakteristik fenomena fantom.

ABSTRACT
Phantom limb sensation always occurs after sudden traumatic limb amputation whether by accident or surgery. It follows a spesific pattern that is related with body image (Neuromatrix and Neurosignature theory by Melzack). Phantom pains are highly variable, very individual and have a correlation with the experience of pain in the same limb before amputation. It was proposed that there is a reactivation of pre-amputation pain memory (engrain). Phantom limb phenomenon can be described as continuing memory with or without pain of self body perception/image that is not there anymore, modulated by neurohormon and neurotransmitters to reach homeostasis balance. The changing characteristic of phantom phenomen characteristic was modulated neurohumorally which will show in the fluctuation of cortisol, serotonin and substance P levels in circulation. Two methods will be used, quantitative and qualitative. To analyze the study outcome by comparison between two groups, groups that are using prosthesis (group P) and groups that do not use prosthesis or use cosmetic prosthesis (group NP). Study on the changing characteristics of phantom phenomenon and the relation with the effect of cortisol, serotonin and substance P fluctuation in circulation.
Place and time : Department Orthopedics Surgery and Department of Rehabilitation Medicine Cipto Mangunkusumo Hospital, Makrnal Laboratory, Faculty of Medicine University of Indonesia, the Department of Orthopedics Surgery and the Department of Rehabilitation Medicine, Gatot Subroto Army Hospital, Department of Orthopedics Surgery and the Department of Rehabilitation Medicine, Fatmawati Hospital, Center for the Disabled (Pusrehcat) Bintaro and Panti Sosial Bina Daksa, all in Jakarta, Indonesia.
Population and sample : All male and female patients, age between 17 - 55 years of age, post traumatic limb amputation, upper limb and lower limb, dextra and sinistra (transfemoral, transtibial, transhumeral and transradial). In preprosthetic stage will be observed for six months.
Method : Subjects are allocated witihin 2 groups, subjects using a functional definite prosthetic (P group) and subjects that do not use prosthetic (NP group). Within six months 3 evaluation will be done on the first, second and third phase. Serotonin, cortisol and substance P in circulation will be taken twice on the first and third phase, between 8.00 AM - 09.00 AM. The level of cortisol will be examined by RIA, serotonin and substance P level will be examined by ELISA. Stump circumference will be measured by the International Standard Measurement for Limb Muscle Girth. Stump electrical activity will be measured by Myomed 932 1 Electromyography Biofeedback. Telescoping degree (PS) and Referred Phantom Limb Sensation (RPLS) will be measured by using the modification of Visual and Movement Imagination Score. Phantom pain measured by VAS. Qualitative study used the sensory mapping of telescoping degree, in depth questioner also for pre-amputation experience.
Subjects were allocated in two groups, group using prosthetic (group P) and the other group that do not use prosthetic (group NP). Based on gender, men dominate in each group, NP and P. The distributions based on gender are homogenous (chi --- square test, p 0,445). Distribution based on age in each group, NP and P are homogenous (p = 0,909). It shows that both workers and military personnel dominate the whole sample. Worker dominate the NP group 12 (66,7%) and military personnel dominate the P group 15 (78,9%). Within six months after amputation, it shows that the use of continuing definite prosthetic will accelerate telescoping process, referred phantom limb sensation and lower phantom pain intensity significantly (p < 0,0001). At the end of six months observation with Pearson correlation there is a positive, strong correlation between an increase in telescoping degree (PS) and an increase in the score of referred phantom limb sensation (RPLS) (r = 0,999, p < 0,0001). Linear regression with Rsq (r2) = 0,8440 means that 84% variation in the increase of telescoping degree is related with the increase of referred phantom limb sensation six months after limb traumatic amputation. This shows that an increase in telescoping degree will be followed with an increase score in RPLS, this is a consequence of neuroplasticity process. By Anova repeated measurement there is a significant difference in the increase of electrical sigryil isometric muscle stump contraction in each group (p < 0,0001). Pearson correlation at the end of the observation (six month after traumatic limb amputation) shows a positive correlation with average relation between increase in telescoping degree (PS) and an increase in electrical stump muscle isometric contraction (EA) (r = 0,444 , p = 0,00 1). Linear regression with Rsq [r2) = 0,1974 which means that 19 % variation of an increase in electrical signal of isometric muscle stump contraction (EA) is related with an increase in telescoping degree (PS) after six months. In both groups (NP and P) there is a significance difference in the decrease of phantom pain intensity within six month from phase 1 through phase 3. Between group NP and P the difference in lower phantom pain intensity, decrease significantly on the second and third evaluation (p < 0,0001). With Pearson correlation at the end of six month observation shows a significance negative correlation with strong relation between the increase in telescoping degree and the decrease in phantom pain intensity (PP) (r = 0,676 , p < 0,0001). There is a negative correlation with strong relation (r = 0,693 , p < 0,0001) between the increase in referred phantom limb sensation (RPLS) and the decrease in phantom pain intensity (PP). Linear regression with Rsq (r2) = 0,4572 which means that 45 % variation in the decrease of phantom pain intensity (PP) is related with the increase in telescoping degree (PS) after six months observation. All this show a strong relationship between lower phantom pain intensity and increase in telescoping process within six months after amputation. There is also a significance difference decrease in phantom pain intensity (PP) within six months in group NP (p = 0,02). The decrease in phantom pain intensity (p < 0,05) within six months in group P. By using independent t test there is a significance difference in both group (p < 0,0001) in the distribution of pre-amputation pain experience (PNPA }) and the incidence of phantom pain (PP1) with score above 0 (zero). The mean score of PP1 are 6,16 (SD 1,96) in group NP and 5,26 (SD 1,47) in group P The same occur on those without pre-amputation pain experience (PNPA -) and no phantom pain incidence or the score of PP1 = O. There is a significance negative correlation between the decrease in cortisol level and the increase in telescoping grade (r = - 0,331, p =0,019). There is a significant positive correlation between decrease in cortisol level and decrease in phantom pain intensity (r = 0,390 , p = 0,005). There is a significance negative correlation level between the decrease in cortisol level and increase in referred phantom limb sensation (r= - 0,377 , p = 0,007). With simple quadratic regression, with Rsq (r) = 0,1456, which means that 14% difference of variation in telescoping degree is correlated with the fluctuation in cortisol level within six months, or can be predicted by cortisol fluctuation. Linear regression Rsq (?) = 0,1520, it means that 15% variation in the decrease of phantom pain intensity are correlated to the decrease in cortisol level within six months. Simple quadratic regression with Rsq (r2) = 0,1998, mean 19 % variation of referred phantom limb sensation is related with the fluctuation of cortisol level within six months.
The changes in the somatotopics map of post traumatic limb amputee subjects are the consequences of neuroplasticity rearrangement in the somatosensory cortical area. Changing characteristics, telescoping process, referred phantom limb sensation and phantom pain differ significantly between group NP and P. The changing pattern of phantom phenomenon is also influenced by three important substrates such as substance P, serotonin and cortisol that also influenced the neuroplasticity process, memory and phantom pain mechanism. Pre amputation pain experience will lead to the occurrence of phantom pain. A loss of a body part (limb) does not mean that the representations on brain surface are also loss. The body image are never erased or loss (Neuromatrix Theory of Melzack), exspecially those part which has the biggest area and the most dense representation in the homunculus. There is an engram that states that the body is our selves, those perception will never be erased (Neuromatrix Theory). The use of functional prosthetic continually that cause some effect on stump muscle condition, will hasten the characteristics of phantom phenomenon that is a consequence of central neuroplasticity proces, which is an increase in telescoping degree (PS), increase in referred phantom limb perception score (RPLS) and decrease in phantom pain intensity (PP), which also show a relation with neurohumoral fluctuation in circulation in which is a decrease in cortisol and substance P levels , and an increase in serotonin levels. The changing characteristic is accelerated by the use of definite functional prosthetics. There is a significant correlation between physical behavior and neurochemistry. Apart from daily use, the use of prosthetics is very important to lead the acceleration in the changing pattern of phantom phenomenon.

 File Digital: 1

Shelf
 Fenomenas fantom-Full text (D 590).pdf :: Unduh

LOGIN required

 Metadata

No. Panggil : D590
Entri utama-Nama orang :
Entri tambahan-Nama orang :
Entri tambahan-Nama badan :
Subjek :
Penerbitan : [Place of publication not identified]: [Publisher not identified], 2004
Program Studi :
Bahasa : ind
Sumber Pengatalogan :
Tipe Konten : text
Tipe Media : unmediated ; computer
Tipe Carrier : volume ; online resource
Deskripsi Fisik : xxix, 275 pages : illustration ; 29 cm + appendix
Naskah Ringkas :
Lembaga Pemilik : Universitas Indonesia
Lokasi : Perpustakaan UI, Lantai 3
  • Ketersediaan
  • Ulasan
No. Panggil No. Barkod Ketersediaan
D590 07-17-717074956 TERSEDIA
Ulasan:
Tidak ada ulasan pada koleksi ini: 92414