Makalah ini menguji proses penyesuaian ekonomis bagaimana para peladang berpindah mungkin mengadopsi sistem rotasi beralahan sebagai sarana untuk meningkatkan produktifitas pertanian secara alamiah atau menetapkan metode budi daya permanen yang lebih intensif sebagai respons terhadap peningkatan upah riil karena perkembangan sistem ekonomi pasar di daerah pedesaan. Survai lapangan dilakkukan pada periode Juli-Desember 1997 mengambil lokasi di Kabupaten Bungo Tebo, Propinsi Jambi. Metode analisis yang digunakan adalah pendekatan standar rente lahan (laud-rent capture approach) yang didukung oleh simulasi kuatitatif dengan matriks analisis kebijakan (PAM) terhadap beberapa skenarto kebijakan ekonomi yang mungkin ditempuh Pemerintah.Hasil analisis kuantitatif menunjukkan bahwa sistim perlandangan berpindah dengan periode bera (fallow period) yang panjang, yaitu Iebih dari sepuluh tahun secara ekonomis dan ekologis lebih menguntungkan dibandingkan dengan sistem perladangan bero normal (jangka panjang dan menengah), bahkan dengan sistem pertanian menetap sekalipun. Akan tetapi, persoalannya berkembang menjadi masih mungkinkah sistem bera jangkn panjang itu diterapkan mengingat lahan pertanian telah menjadi demikian terbatas karena beberapa faktor ekonomi dan kelembagaan? Periode bera normal lebih banyak merupakan strategi untuk mengamankan hak dan kepemilikan terhadap lahan pertanian (property rights on land) sebelum memulai sistem perkebunan karet lokal dan kayu manis.Oleh karena itu, fokus kebijakan harualah didukung dan dilengkapi dengan pengkajian yang mendalam dan perluasan kesempatan berusaha di pedesaan dari luar sektor perlanian (rural non-farm activities). Sektor industri pedesaan, peningkatan sarana dan prasarana pembangunan seperti jaringan jalan, fasilitas pendidlkan dan kesehatan adalah beberapa komponen kunci dalam menggerakkan dan mengintegrasikan program pemukiman kembali para perambah hutan dengan sektor lain dalam ekonomi. |