Sekitar 1,5 juts hingga 2 juta orang di dunia diperkirakan memiliki akuarium air laut. Perdagangan yang memasok kegemaran ini dengan hewan laut hidup merupakan industri global yang bernilai sekitar USS 200-300 juta per tahun, dan beroperasi di negara-negara tropis. Koral hidup yang merupakan salah satu mata dagangan daiam industri ini menunjukkan pertumbuhan ekspor sebesar 12-30 persen di seluruh dunia dari tahun 1990 hingga tahun 1999. Kebijakan kuota ditetapkan pads mata dagangan koral hidup dibuat untuk memastikan ketersediaan, dan pembatasan pemanfaatan harus ditentukan pada level berkelanjutan sesuai dengan korelasi antara populasi dan ketersediaannya di alam.Biota koral adalah hewan laut dari filum Cnidaria, yang terdiri dari polip-polip kecil serupa anemone yang membentuk koloni. Janis koral ini termasuk ordo Scleractinia yang dikenal juga sebagai stony coral dan dapat membentuk kerangka yang terhuat dari kalsium karbonat atau kerangka kapur yang mendasari terbentuknya terurnbu karang. Kemampuan memperbarui daur hidup hewan koral yang memakan waktu jauh Iebih lama dibandingkan hewan lain menyebabkan pemanfaatan yang berlebihan dapat menyebabkan kepunahan biota tersebut. Atas dasar tersebut CITES (the Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora) memasukkan koral ke dalam Appendix II, yaitu jenis-jenis biota yang masih dapat dimanfaatkan secara terbatas agar tidak punah.Penetapan kebijakan kuota bagi koral hidup membnkan kewenangan bagi Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam, Departemen Kehutanan untuk menentukan besamya kuota bagi pemanfaatan biota tersebut. Kuota yang ditentukan berdasarkan rekomendasi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia tersebut dibagikan kepada pengusaha dan eksportir untuk dimanfaatkan dalam kegiatan perdagangan koral hidup.Pemanfaatan biota koral di Indonesia diatur dalam Keputusan Menteri Kehutanan Republik Indonesia Nomor 4471Kpts-1112003 tentang Tata Usaha Pengambilan atau Penangkapan dan Peredaran Tumbuhan dan Salwa Liar. Peredaran atau perdagangan biota karat harus dilengkapi dengan dokumen-dokumen resmi yang wajib menyertai setiap pengiriman biota, balk di dalam negeri maupun di luar negeri, berupa Surat angkut Tumbuhan dan Saliva Liar (SATS-LN dan SATS-DN).Tujuh genus yang paling banyak diperdagangkan terdiri dari Trachyphyllia, Euphyllia, Goniopora, Acropora, Plerogyra, Caualaphyllia, yang meliputi 56% perdagangan koral hidup antara tahun 1988 hingga 2002. Berdasarkan data dari laporan CITES tahun 1997-2001 (Wabnitz, et. al., 2003), Amerika Serikat mengimpor 73%, sedangkan Uni Eropa mengimpor 14% sementara Jepang menempati urutan ketiga dengan 7%.Selama tiga tahun berturut-turut, yaitu tahun 2003 hingga 2005, Ditjen PHKA menetapkan kuota sebanyak rata-rata 809.200 buah per tahun, untuk sekitar 52 spesies yang dapat dimanfaatkan. Daerah pemanfaatan biota ini tersebar di 14 daerah di seluruh Indonesia. Dan data selama tiga tahun, realisasi ekspor terhadap kuota menunjukkan angka di atas 95%. Pemenuhan permintaan terhadap biota koral untuk ekspor yang dapat terealisasi ini menunjukkan bahwa sebagian besar permintaan dapat dipenuhi. Realisasi ekspor terhadap kuota yang tidak mencapai 100% dapat disebabkan oleh pencatatan realisasi yang didasarkan kepada jumlah spesies yang tereantum dalam Surat Angina Tumbuhan dan Satwa Liar Luar Negeri (SATS-LN).Menghadapi lingkungan industri perdagangan biota koral untuk ekspor ini, perlu dibuat suatu analisa tentang faktor-faktor internal dan ekstemal yang terdapat dalam industri. Untuk menganalisa faktor-faktor tersebut digunakan analisis SWOT yang membahas mengenai kekuatan, kelemahan, ancaman dan peluang yang terdapat dalam industri. Selanjutnya analisis ini digunakan untuk menentukan strategi yang paling tepat untuk digunakan dalam industri. Analisis faktor-faktor strategis baik internal maupun ekstemal dilakukan untuk mernbuat formulasi magi penentuan strategi industri. Penentuan strategi ini dibuat dengan menggunakan analisis Matriks TOWS berdasarkan analisis faktor-faktor internal dan ekstemal yang telah dilakukan sebelumnya.Dengan memanfaatkan kekuatan yang dimiliki untuk memenuhi peluang yang ada pada industri, serta pengembangan teknologi di bidang budidaya, maka diharapkan Indonesia tetap dapat memenuhi permintaan pasar ekspor tanpa harus mengorbankan kelangsungan daur hidup biota koral dan kelestarian habitat biota koral. Approximately 1.5 to 2 million people keeps a seawater aquarium. The trade supplying this hobby with living marine creatures is a global industry worth USS 200-300 million per year, operating in tropical countries and regions. Living coral as one of the trade item has a 12-30% trade growth during 1990-1999 periods. Quota policy implied on living coral as a trade item is made to ensure the availability of the resource and regulated exploration is set on a sustainable level, according to the correlation between the coral population and its availability in nature.Coral is a marine animal from Cnidarian phylum, consisted of small polyps similar to anemones that form a colony. This kind of coral is the Scleractinian order which also known as the stony coral and has an ability to form a calcium carbonate skeleton which is the base of coral reef formation_ Coral reefs need much longer time to renew their life cycle, therefore an over exploitation will lead to extinction. Based on that, CITES (the Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora) cited coral in Appendix II, which lists species that are not necessarily now threatened with extinction but that may become so unless trade is closely controlled.The quota policy on living coral gives the authority to Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alain, Departemen Kehutanan to determine the quota. The quota is based on recommendation given by Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, to be distributed to exporters and companies.Coral exploration in Indonesia is regulated by the Minister of Forestry Regulation no. 447IKpts-1112003. The trade an traffic of living coral must be accompanied by legal documents on each of the shipments, within the region of Indonesia or outside Indonesia (export).The seven most traded generas are Trachyphyllia, Eupl~ylliu, Gonioporu, Acropora, Plerogyra, Catalaphyllia, consisting 56% of the world's living coral trade between 1998 and 2002, Based on data from CITES reports on 1997-2001 (Wabnilz, et al, 2003), the United States imported 73% of the total trade on coral, while European Union and Japan imported 14% and 7% respectively.During the three years period of 2003-2005, Ditjen PI-IKA determined an average quota of 809,200 pieces per year, for approximately 52 species. The three years' data shows that above 95% of the quota are realized through export. This shows that most of the demand for living coral is fulfilled. The realization does not reach 100%, as some possibilities might occur. Record keeping which is based on CITES export Permit (SATS-LN) is one of them.Facing the coral trading and export industry, an analysis of external and internal factors in the industry is made. SWOT analysis is used to analyze those factors: strength, weakness, opportunity and threat in the industry. This analysis will be used to determine the most appropriate strategy to be used in the industry. Internal and external strategic factors analysis is used to formulate the strategy. The strategy itself is formulated by using the TOWS Matrix based on the internal and external factors analysis.Using the strength in the industry to met the opportunity in the industry, and using the technology in mariculture, Indonesia will be able to fulfill the market demand without sacrificing the sustainability and the habitat of coral reef. |