Hubungan antara Timur dan Barat, khususnya Islam dan Barat banyak mengalami pasang dan surut. Terkadang kedua kutub tersebut mampu menjalin komunikasi yang harmonis, namun acapkali suasana hubungan tersebut diwarnai ketegangan. Dan, salah satu puncak ketegangan tersebut adalah peristiwa pengeboman bunuh diri dengan menggunakan pesawat terbang terhadap gedung WTC di New York. Bagi Amerika Serikat yang selama ini diposisikan sebagai kiblat Barat itu, serbuan tersebut benar-benar telah mempermalukan sekaligus meruntuhkan kedigdayaan AS. Dengan mengabaikan isu demokrasi seperti HAM serta supremasi hukum, Amerika Serikat langsung melakukan invasi militer ke Afghanistan karena dianggap menjadi sarang para teroris yang telah menyerbu gedung WTC. Setelah itu, Amerika Serikat dibawah kendali Presiden AS Goerge W.Bush juga melakukan tindakan serupa di Irak. Meski tuduhan bahwa pemerintahan Saddam Husain telah menyimipan senjata pemusnah massal serta berkongsi dengan para teroris, khususnya para aktifis AL-Qaidah itu tidak terbukti, namun AS terlanjur mengambilkan keputusan untuk melakukan tindakan unilateral yang menyebabkan ribuan nyawa warga sipil berjatuhan. Tempo dulu, konflik antara Barat dan Timur juga telah terjadi yakni dalam Perang Salib yang berlangsung lebih dari 200 tahun. Akibat konflik tersebut, ribuan nyawa dari kedua belah pihak telah menjadi korban. Salah satu kerugian terbesar yang diderita oleh umat Islam adalah runtuhnya peradaban dan berpindahnya niiai-nilai tersebut ke Barat. Namun, dibalik sejarah konflik yang cukup panjang tersebut, sebetulnya ada satu hal yang patut dicatat bahwa antara Barat dan Timur dalam konteks teologis merupakan realitas yang unik karena keduanya yakni Islam dan Kristen sama-sama tergolong sebagai agama samawi.Indonesia, sebagai salah satu negara yang berpenduduk mayoritas muslim juga tak lepas dari sejarah panjang dan konflik tersebut. Meski tidak mempunyai pengalaman langsung terhadap Perang Salib, namun nilai-nilai historis dari peristiwa itu juga tumbuh di Indonesia bersama dengan perkembangan Islam itu sendiri. Oleh karena itu, acapkali reaksi sebagian umat Islam di Indonesia terkesan cukup keras dalam merespon setiap kejadian maupun kebijakan pihak Barat yang dinilai lebih banyak didasari oleh sikap diskriminatif. SaIah satunya adalah proses stigmatisasi yang dilakukan secara sistemik pihak Barat terhadap Islam sehingga membuat posisi Islam terpojok karena melihat Islam sebagai sebuah ancaman seperti yang digambarkan Samuel P. Huntington. Diantara contoh dari proses stigmatisasi tersebut adalah berbagai kebijakan baik politik maupun yuridis dari Amerika Serikat dan beberapa negara Barat lainnya pasca pertiswa 11 September 2001 yang cenderung memojokkan Islam. Terlebih lagi, tuduhan bahwa pelaku dari pengeboman WTC tersebut adalah aktifis muslim juga masih menimbulkan tanda tanya besar, namun AS langsung mengambil kebijakan untuk menyerbu Afghanistan dan Irak. Padahal, kedua negara tersebut mayoritas berpenduduk muslim sehingga menimbulkan berbagai kecurigaan dan tafsiran. Kebijakan AS tersebut merupakan salah satu puncak dari proses sdgmatisasi yang mereka Iakukan terhadap Islam melalui obyek kewilayahan (Timur tengah).Sikap Amerika Serikat dan sekutunya itu telah menyulut reaksi keras dari berbagai kalangan, khususnya umat Islam, tak terkecuali juga umat Islam di Indonesia. Sesuai dengan terra darn tesis ini, maka fokus utama yang disorot dalam tulisan ini adalah reaksi serta berbagai kemungkinan yang menyebabkan munculnya reaksi tersebut. Bahkan, pada awal serangan Amerika Serikat ke Afghanistan, beberapa aktifis muslim juga melakukan pendaftaran bagi relawan yang berkenan untuk menjadi pejuang bagi pembebasan Afghanistan dari cengkraman Amerika Serikat dan Inggris yang diklaim sebagai new colonialis.Selain itu, ada juga reaksi lebih lunak yang dilakukan oleh beberapa organisasi Islam, seperti NU dan Muhammadiyah. Namun, agak berbeda dengan ormas Islam lainnya, NU dan Muhammadiyah mewujudkan sikapnya itu dalam bentuk imbauan dan seruan agar Amerika Serikat tidak melakukan invasi. Seruan serupa juga disampaikan masyarakat Internasional, tak terkecuali juga masyarakat non muslin yang peduli terhadap nasib dan derita rakyat sipil di Afghanistan maupun Irak. Namun, berbagai seruan maupun reaksi tersebu tidak mampu mengubah kebijakan AS.Akibat dari kebijakan AS yang cenderung diskriminatif tersebut, secara tdak langsung telah membawa implikasi terhadap umat Islam di Indonesia. Salah satu bentuknya adalah sikap kritis, sensitif dan cenderung reaktif terhadap berbagai kebijakan Barat yang dianggap telah melecehkan Islam. Dalam konteks ini, mereka acapakali dikategorikan sebagai kelompok Islam radikal karena cenderung memilih garis perjuangan yang konfrontatif. Diantara tema-tema perjuangan yang mereka sebarkan adalah penegakan syariat Islam yang diyakini dapat mengakhiri krisis multidimensional itu. |