Program pembangunan terus mengalami evaluasi dari yang semula top down kini perlahan mulai dijalankan dengan sistem bottom-up yang mengutamakan partisipasi masyarakat lokal dan kolaborasi multistakeholder. Namun, meskipun sudah mengusung sistem pembangunan berbasis komunitas, dalam praktiknya suara masyarakat desa sendiri masih kerap kali tertutupi oleh aktor dari luar (outsider) atau bahkan elite desa sendiri. Makalah ini mengeksplorasi dinamika relasi yang terjadi antara mahasiswa dengan multistakeholder yang terlibat dalam program Desa Cemara, sebuah program pembangunan desa rancangan Badan Pembangunan Nasional (Bappenas) Indonesia yang berusaha mengadaptasi pendekatan partisipatif (community development). Program dilaksanakan di beberapa desa di Jawa Barat, Dalam pelaksanaannya program ini melibatkan sejumlah individu dan lembaga yang berbeda. Masing- masing berangkat dengan kombinasi kepentingan, agenda, sumber daya, dan basis kekuasaan yang agak berbeda. Perbedaan latar belakang aktor yang terlibat rupanya menimbulkan sejumlah persoalan yang menjadi kendala dan tantangan yang mengiringi proses pemberdayaan. Penulis merefleksikan berbagai persoalan yang dihadapi mahasiswa menjadi tiga tahap yaitu pada proses pembekalan (pre-departure), persiapan keberangkatan, serta tahap di lapangan. Metode yang digunakan dalam penulisan makalah ini adalah autoetnografi dan refleksi diri dengan menggunakan kerangka teoretis antropologi, khususnya antropologi terapan. Berdasarkan refleksi dari tahap-tahap yang telah disebutkan di atas dapat disimpulkan bahwa partisipasi masyarakat desa masih terbatas. Persoalan dan pertentangan di lingkup internal antara pihak perencana program membuat kolaborasi tidak berjalan dengan baik. Alhasil, tujuan memberdayakan masyarakat justru tidak tercapai secara optimal. Perencana program perlu meningkatkan komunikasi dan koordinasi yang bersifat terbuka untuk menyatukan perspektif. Dengan demikian, kesenjangan aspirasi dapat diminimalisir atau bahkan dihindari dan tujuan dari program pemberdayaan untuk menciptakan self-reliance masyarakat dapat terwujud. Development programs continue to undergo evaluation, from what was originally top down to now slowly being implemented with a bottom-up that prioritizes local community participation and multi-stakeholder collaboration. However, even though they have adopted a community- based development system, in practice the voices of the village community themselves are often hidden by outsiders or even the village elite themselves. This paper explores the dynamics of relations that occur between students and multi-stakeholders involved in the program of “Desa Cemara”, a village development program designed by the Ministry of National Development Planning (Bappenas) Indonesia which tries to adapt a participatory approach (community development). The program was held in several villages in West Java, Indonesia. In its implementation, this program involves a number of different individuals and institutions. Each departed with a slightly different combination of interests, agendas, resources and power bases. The differences in the backgrounds of the actors involved apparently raise a number of problems which become obstacles and challenges that accompany the empowerment process. The author reflects all the problems she faced into three stages: pre-departure process; preparation for departure; as well as the process of collecting data and implementing interventions in the village. Based on the reflection of the stages mentioned above, it can be concluded that village community participation is still limited. Problems and conflicts in the internal sphere between the program planners made the collaboration not work well. As a result, the goal of empowering the community is not achieved optimally. Program planners need to improve open communication and coordination to unify perspectives. Thus, the aspiration gap can be minimized or even avoided and the aim of the empowerment program to create self- reliance can be realized. |