Inovasi dan adopsi teknologi telah memberikan banyak manfaat dalam meraih efektivitas dan efisiensi ekonomi. Di sisi lain, pelanggaran terhadap persaingan usaha yang sehat kian muncul pada struktur pasar, termasuk pasar digital yang bercirikan multi-sided market. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat belum mengatur secara spesifik mengenai hal-hal terkait potensi persaingan usaha tidak sehat pada platform digital. Padahal, inovasi bisnis di era digital memiliki perbedaan yang signifikan dengan era konvensional sehingga perlakuan terhadap pelanggaran persaingan usaha berbasis digital tidak dapat disamakan dengan pelanggaran yang sifatnya konvensional. Komisi Pengawas Persaingan Usaha harus dapat bertindak secara tegas dan tepat sasaran dalam menegakkan hukum persaingan usaha di era ekonomi digital. Oleh karena itu, sudah selayaknya dilakukan reformasi terhadap Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999. Hal yang menjadi urgensi adalah melakukan perluasan definisi pelaku usaha, penentuan yurisdiksi Komisi Pengawas Persaingan Usaha yang ekstrateritorial, serta pengadaptasian norma dengan kemajuan teknologi. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 sudah seharusnya mempertimbangkan kepentingan pelaku usaha. Jika peninjauan ulang tidak segera dilakukan, tantangan yang ada akan semakin melucuti kesehatan iklim usaha Indonesia. Dengan menggunakan metode penelitian yuridis normatif, tulisan ini akan meneliti sejauh mana Undang- Undang Nomor 5 Tahun 1999 dapat menjawab permasalahan yang ada serta relevan dengan situasi dan kondisi yang berlangsung. Kemudian, melalui pendekatan perundang- undangan dan kasus di berbagai negara, khususnya Australia dan Taiwan, tulisan ini akan menganalisis bagaimana sebaiknya pengaturan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 demi menciptakan persaingan usaha yang sehat di era ekonomi digital. Innovations and adoptions of technology have provided many benefits in achieving economic effectiveness and efficiencies. On the other hand, violations of fair business competition are increasingly appearing in market structures, including the digital market. Law Number 5 of 1999 concerning the Prohibition of Monopolistic Practices and Unfair Business Competition has not specifically regulated matters related to potential unfair business competition on digital platforms. While in fact, business innovation in the digital era has significant differences from the conventional era so treatments to digital-based business competition violations cannot be equated with conventional ones. The Business Competition Supervisory Commission must be able to act decisively and precisely in enforcing competition law in the digital economy era. Therefore, it is appropriate to carry out reforms to Law Number 5 of 1999. The urgency is to expand the definition of business actors, determine the extraterritorial jurisdiction of the Business Competition Supervisory Commission, and adapt norms to technological advances. Law Number 5 of 1999 should consider the interests of business actors. If the review is not carried out immediately, the challenges will further disarm the health of Indonesia’s business climate. By using normative juridical research methods, this paper will examine the extent to which Law Number 5 of 1999 can answer existing problems and is relevant to the current situation and conditions. Then, through the statute and case approach in various countries, specifically Australia and Taiwan, this paper will analyze how it is better to regulate Law Number 5 of 1999 to create fair business competition in the digital economy era. |