Utang merupakan salah satu opsi untuk Perseroan yang ingin mengembangkan usahanya, tetapi memiliki keterbatasan dana. Meskipun, terkadang utang itu tidak dapat dilunasi oleh debitornya. Sehingga, memaksa kreditor menempuh upaya hukum, di antaranya adalah gugatan wanprestasi, gugatan perbuatan melawan hukum, permohonan pernyataan pailit, dan permohonan penundaan kewajiban pembayaran utang (PKPU) yang masing-masing memiliki tujuan dan akibat hukum yang berbeda. Menjadi masalah ketika para kreditor menghendaki untuk memberikan kesempatan bagi debitor untuk melunasi utangnya serta menlanjutkan usahanya, tetapi Pengadilan justru menolak dengan alasan nilai tagihan utang terlalu kecil. Hal tersebut ditemui pada kasus Putusan No. 446/Pdt.Sus-PKPU/2021/PN Niaga Jkt Pst. Berdasarkan analisis hukum yang diuraikan, Majelis Hakim menyatakan bahwa seluruh syarat PKPU dalam Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 (UUK-PKPU) telah terpenuhi. Namun, Majelis Hakim menolak permohonan tersebut dengan alasan UUK-PKPU tidak mengatur jumlah minimum tagihan, tetapi terdapat Perma No. 4 Tahun 2019 yang mengatur mengenai tata cara gugatan sederhana. Sehingga, oleh karena nilai tagihan pada kasus ini di bawah Rp500.000.000,00, Majelis Hakim menolak permohonan PKPU. Atas putusan tersebut, terdapat dissenting opinion yang menyatakan pemberian PKPU Sementara beralasan hukum untuk dikabulkan. Oleh karena itu, penulis membahas fenomena ini dengan tujuan untuk memberikan pengetahuan kepada masyarakat mengenai upaya hukum yang tepat berdasarkan tujuan yang ingin dicapai. Selain itu, pembahasan ini menjadi suatu hal yang memiliki urgensi karena dapat menjadi preseden atas kasus serupa. Dalam menganalisis kasus tersebut, penulis menyusun penelitian yang menerapkan metode yuridis normatif dengan pendekatan kualitatif, di mana penulis menganalisis kedudukan Perma No. 4 Tahun 2019 terhadap UUK-PKPU dan analisis penolakan PKPU yang ditinjau dari Asas Kelangsungan Usaha. Hasil dari penilitian ini adalah Perma No. 4 Tahun 2019 bukanlah peraturan pelengkap dan tidak relevan terhadap permohonan PKPU. Selain itu, pemberian PKPU merupakan implementasi dari Asas Kelangsungan Usaha yang mana dapat memberikan kesempatan bagi debitor untuk melanjutkan usahanya, serta melunasi utang-utangnya. Debt is an option for companies that want to expand their business, but have limited funds. Although, sometimes the debt cannot be repaid by the debtor. Thus, forces creditors to take legal action, including lawsuits for default, lawsuits against the law, requests for bankruptcy statements, and requests for suspension of payment (PKPU), each of which has a different purpose and legal consequences. It becomes a problem when the creditors want to allow the debtor to pay off his debts and continue his business, but the Court refuses because the value of the debt invoice is too small. This was found in the case of Decision No. 446/Pdt.Sus-PKPU/2021/PN Niaga Jkt Pst. Based on the legal analysis described, the Panel of Judges stated that all PKPU requirements in Law no. 37 of 2004 (UUK-PKPU), have been fulfilled. However, the Panel of Judges rejected the request because UUK-PKPU does not regulate the minimum amount of bills, but there is Perma No. 4 of 2019 which regulates the procedures for simple lawsuits. So, because the value of the invoice, in this case, was below IDR 500,000,000.00, the Panel of Judges rejected the PKPU request. Regarding this decision, there was a dissenting opinion that stated that the temporary PKPU had legal reasons to be granted. Therefore, the author discusses this phenomenon to provide information to the public regarding appropriate legal remedies based on the objectives to be achieved. In addition, this discussion becomes a matter of urgency because it can set a precedent for similar cases. In analyzing the case, the authors compiled a study using normative juridical methods with a qualitative approach, in which the authors analyzed the position of Perma No. 4 of 2019 against UUK-PKPU and an analysis of PKPU rejection in terms of the Going Concern Principle. The result of this research is Perma No. 4 of 2019 is not a complementary regulation and is irrelevant to the PKPU application. In addition, PKPU is an implementation of the Going Concern Principle which can provide opportunities for debtors to continue their business and pay off their debts. |