Wayang Topeng Malangan merupakan sebuah seni pertunjukan khas Malang. Seni sendratari yang berlatar cerita Panji ini sempat menjamur di kalangan masyarakat Malang sebelum tahun 1960-an. Hingga saat ini, seni ini terus menurun dari segi kuantitas dan hanya menyisakan setidaknya kurang dari lima padepokan yang bertujuan mereservasi budaya ini, salah satunya Padepokan Asmorobangun. Dengan latar belakang tersebut, penulis ingin mengetahui bagaimana cara pewarisan dan pengelolaan Wayang Topeng Malangan di Padepokan Asmorobangun sehingga dapat bertahan dan tetap aktif di era modern ini. Pertama, penulis menemukan bahwa untuk pewarisan seni ini, Padepokan Asmorobangun yang dipimpin oleh generasi kelima maestro Wayang Topeng Malangan, Pak Handoyo, mengaitkan memori kolektif ke dalam usaha pewarisan yang bisa dikategorikan menjadi tiga: pewarisan melalui cerita, pewarisan melalui keterampilan, dan pewarisan melalui spiritual. Berbagai aktivitas yang melibatkan padepokan dan pihak eksternal dilakukan dengan tetap membawa konteks memori kolektif yang ada. Sehingga, Cerita Panji, pertunjukan seni, dan laku spiritual masih bisa ditemukan dalam aktivitas padepokan. Kedua, pengelolaan yang dilakukan Pak Handoyo di Padepokan Asmorobangun pada masa generasi kelima adalah dengan melihat seni menjadi dua aspek, yaitu pengelolaan wayang topeng malangan sebagai industri budaya dan pengelolaan wayang topeng malangan sebagai aset budaya. Dengan demikian, ada cara- cara yang sakral dan cara-cara yang bersifat inovatif dilakukan guna mempertahankan eksistensi Wayang Topeng Malangan dan bisa bergerak menjangkau kalangan masyarakat luas. Wayang Topeng Malangan is a typical performing art of Malang. This art set in the story of Panji had spreaded away among the people of Malang before the 1960s. Until now, this art continues to decline in terms of quantity and only leaves at least less than five hermitages that aim to preserve this culture, one of which is the Padepokan Asmorobangun. With this background, the author wants to know how to preserve and manage Wayang Topeng Malangan at Padepokan Asmorobangun so that it can survive and remain active in this modern era. First, the writer finds that for the inheritance of this art, Padepokan Asmorobangun which is led by the fifth generation of Wayang Topeng Malangan maestro, Pak Handoyo, links collective memory to the inheritance effort which can be categorized into three: inheritance through stories, inheritance through skills, and inheritance through spiritual. Various activities involving hermitages and external parties are carried out while still carrying the existing cultural memory context. Thus, Panji Stories, art performances, and spiritual practices can still be found in hermitage activities. Second, the management carried out by Pak Handoyo at Padepokan Asmorobangun during the fifth generation was by looking at art into two aspects, namely the management of Wayang Topeng Malangan as a cultural industry and the management of Wayang Topeng Malangan as a cultural asset. Thus, there are sacred and innovative ways to maintain the existence of Wayang Topeng Malangan and to reach out to the wider community. |