:: UI - Skripsi Membership :: Kembali

UI - Skripsi Membership :: Kembali

Analisis Perbandingan Kasus Persekongkolan Tender dalam Paket Pengadaan Infrastruktur di Indonesia dan Singapura (Studi Kasus Putusan KPPU Nomor 25/KPPU-I/2020 dan Putusan CCCS Case Number 500/7003/16) = Comparative Analysis of Bid Rigging Cases in Infrastructure Procurement Packages in Indonesia and Singapore (Case Study of KPPU Decision Number 25/KPPU-I/2020 and CCCS Case Number 500/7003/16)

Alessandra Patricia Wijaya; Ditha Wiradiputra, supervisor; Aritonang, Parulian Paidi, examiner; Henny Marlyna, examiner (Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023)

 Abstrak

Dalam mengikuti proses pengadaan baik untuk sektor publik maupun privat, setiap pelaku usaha dengan tegas tidak diperkenankan untuk melakukan kegiatan-kegiatan yang dapat menimbulkan praktik persaingan usaha tidak sehat. Salah satu dari bentuk kegiatan tersebut adalah persekongkolan tender. Larangan persekongkolan tender di Indonesia telah dengan tegas diatur dalam Pasal 22 UU No. 5 Tahun 1999, tetapi masih banyak pelaku usaha yang mencari celah untuk melakukan persekongkolan tender dengan harapan dapat memenangkan paket tender dan meningkatkan keuntungan. Selain di Indonesia, praktik persekongkolan tender juga kerap terjadi di negara lain, salah satunya adalah Singapura. Isu yang diangkat dalam hal ini adalah praktik persekongkolan tender yang dilakukan dalam paket pengadaan infrastruktur di Indonesia dan Singapura sebagai negara pembanding. Skripsi ini menganalisis terkait pengaturan persekongkolan tender di Indonesia dan Singapura, serta perbandingan antara 2 (dua) putusan dari kedua negara tersebut, yaitu Putusan KPPU Nomor 25/KPPU-I/2020 dan Putusan CCCS Case Number 500/7003/16. Metode penelitian yang digunakan adalah yuridis-normatif, yang menekankan pada penggunaan norma hukum secara tertulis. Dengan membandingkan pengaturan serta implementasi di kedua negara tersebut, ditemukan bahwa terdapat kewenangan CCCS yang tidak dimiliki oleh KPPU sebagai otoritas pengawas persaingan usaha, yaitu kewenangan untuk menggeledah dan menyita. Padahal wewenang tersebut dapat memudahkan KPPU untuk mendapatkan direct evidence ataupun bukti yang lebih kuat untuk membuktikan adanya kasus persekongkolan tender. Lebih lanjut, berbeda dengan Indonesia yang belum mengenal leniency program, Singapura telah menerapkan leniency program dalam kasus persekongkolan tender dengan cukup efektif. Leniency program telah memudahkan CCCS untuk mengungkapkan praktik persekongkolan tender dalam berbagai kasus karena adanya keuntungan yang dapat diperoleh pelaku usaha yang dapat bekerja sama dengan CCCS untuk memberikan informasi yang dapat menjadi bukti yang kuat dalam kasus tersebut.

When participating in the procurement process for both the public and private sectors, every business actor is strictly not allowed to carry out activities that could lead to unfair business competition practices. One form of such activity is bid rigging. The prohibition of bid rigging in Indonesia has been strictly regulated in Article 22 of Law No. 5 of 1999, but there are still many business actors who are looking for loopholes to commit bid rigging in the hope of winning the tender package and increasing profits. Apart from Indonesia, the practice of bid rigging also often occurs in other countries, one of which is Singapore. The issue raised in this case is the practice of bid rigging carried out in infrastructure procurement packages in Indonesia and Singapore as comparator countries. This thesis analyzes bid rigging arrangements in Indonesia and Singapore and compares 2 (two) decisions from the respective countries, namely KPPU Decision Number 25/KPPU-I/2020 and CCCS Case Number 500/7003/16. The research method used is juridical-normative, which emphasizes the use of written legal norms. By comparing the regulations and implementation in the two countries, it was found that there is CCCS authority that is not possessed by KPPU as the business competition supervisory authority, namely the authority to search and seize. Even though this authority can make it easier for KPPU to obtain direct evidence or stronger evidence to prove the existence of a tender conspiracy case. Furthermore, unlike Indonesia, which is not yet familiar with the leniency program, Singapore has effectively implemented a leniency program in tender conspiracy cases. The leniency program has made it easier for CCCS to reveal bid rigging practices in various cases because there are advantages for business actors who can cooperate with CCCS to provide information that can become strong evidence in such cases.

 File Digital: 1

Shelf
 S-Alessandra Patricia Wijaya.pdf :: Unduh

LOGIN required

 Metadata

No. Panggil : S-pdf
Entri utama-Nama orang :
Entri tambahan-Nama orang :
Entri tambahan-Nama badan :
Subjek :
Penerbitan : Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
Program Studi :
Bahasa : ind
Sumber Pengatalogan : LibUI ind rda
Tipe Konten : text
Tipe Media : computer
Tipe Carrier : online resource
Deskripsi Fisik : xiv, 89 pages : illustration + appendix
Naskah Ringkas :
Lembaga Pemilik : Universitas Indonesia
Lokasi : Perpustakaan UI
  • Ketersediaan
  • Ulasan
No. Panggil No. Barkod Ketersediaan
S-pdf 14-23-67235198 TERSEDIA
Ulasan:
Tidak ada ulasan pada koleksi ini: 9999920521773