Sejauh saya melihat tenun ikat hanya dianggap sebatas sebuah simbol mati yang tidak memiliki kekuatan pada konteks kehidupan, seolah-olah corak motif tenun ikat memang berjalan sebagaimana mestinya. Lebih daripada itu, tenun ikat di Desa Nggela, kecamatan Wolojita, Kabupaten Ende justru menunjukkan sisi dinamika yang berusaha mempertahankan keragaman tenun di masa kini. Melalui kacamata antropologi seni, terdapat peran agensi yang masing-masing memiliki kekuatan sekaligus mengalami dinamika untuk menjaga keberlangsungan ragam tenun di Desa Nggela, Kecamatan Wolojita, Kabupaten Ende - Lio Selatan pada masa kini. Tulisan ini akan mengulik bagaimana para penenun, material, objek tenun, dan penikmat berusaha membangun dan mengakomodasi setiap peran untuk menentukan sebuah keputusan keberlangsungan ragam tenun saat ini. As far as I can see, the ikat weaving is only considered limited as a symbol of stagnation ithout any power in the context of life, as if the ikat weaving patterns simply exist as they should. However, the ikat weaving in Nggela Village, Wolojita District, Ende Regency, actually demonstrates a dynamic aspect that strives to preserve the diversity of weaving in the present time. Through the lens of art anthropology, there is an agency role that possesses power while also experiencing dynamics to sustain the variety of weaving in Nggela Village, Wolojita District, Ende Regency- Lio Selatan today. This article will delve into how the weavers, materials, weaving objects, and appreciators strive to build and accommodate each role in determining the decision for the sustainability of weaving varieties at present. |